Ketika pertama kali tahu, bahwa kedua orangtuaku mendaftarkan aku untuk melanjutkan sekolah SMA di sebuah asrama, aku hanya bisa diam. Mau apalagi, mereka orangtuaku, mereka pasti tau yang terbaik untuk aku. Tapi ketika aku tahu pada akhirnya, alasan kedua orangtuaku menginginkan aku masuk ke asrama, tak lain hanya untuk membentuk pribadi ku jauh lebih baik lagi, aku amat sangat bersyukur. Terlebih ketika 3 tahun terlewati begitu indah, aku malah yang menginginkan tidak pergi dari asrama.
Menjadi anak asrama, ternyata punya cerita tersendiri yang begitu mahal ketika harus dibandingkan dengan cerita versi teman-temanku yang sekolah di ibukota. Asrama ku terletak di sebuah kota kecil di daerah Semarang, Jawa Tengah. Di kota kecil yang bersuhu cukup dingin ini, jauh dari kebisingan ibu kota. Bahkan setiap malam ketika tidak ada kegiatan, mungkin kita hanya bisa mendengar suara jangkrik yang bersahut-sahutan.
Hampir sama seperti di seluruh sekolah, pasti akan ada Masa Orientasi Siswa (MOS) yang pasti akan di lewati oleh beberapa murid baru. Masa orientasi adalah suatu proses dimana para siswa baru diharapkan bisa menyesuaikan dan mengenal lingkungan sekolah. Dan kegiatan MOS sendiri biasanya dijadikan ajang untuk melatih ketahanan mental, disiplin dan mempererat tali persaudaraan. Dan ketika masuk ke sekolah ber-asrama ini, itu berarti aku harus menjalani dua kali proses orientasi siswa baru. Pertama, orientasi sekolah dan yang kedua, orientasi asrama.
Hari pertama siswa baru datang ke sekolah, diawali dengan registrasi dan orangtua masing-masing akan mengantar kami ke dalam kamar asrama yang sudah di tentukan. Lalu kami di kumpulkan bersama dengan orangtua dan siswa baru lainnya untuk menerima pengarahan dan penjelasan mengenai beberapa aturan sekolah. Lalu di sesi berikutnya, orangtua diminta meninggalkan kami anak-anaknya, yang sudah dipercayakan kepada pihak asrama. Dan, untuk yang membawa handphone, kami diperbolehkan untuk menelpon selama 10 menit, sebelum handphone dititipkan pada pihak asrama. Karena peraturan di asrama, memperbolehkan pemakaian handphone hanya satu jam setiap harinya. Namun untuk siswa baru, handphone akan di tahan selama satu bulan untuk menunjang usaha kami beradaptasi dengan lingkungan asrama. Tibalah saatnya, para orantua diminta untuk keluar dari pagar pembatas asrama dan pagar nya pun dikunci. Ya, kami dan para orangtua masing-masing terpisahkan pagar teralis besi. Rasanya seperti di dalam penjara. Aku melihat beberapa anak baru (sepertiku) di sekeliling ku, ada yang duduk menangis dan tangannya menutupi muka. Ada pula yang hanya duduk diam dengan pandangan lurus ke depan, ada juga yang saling berpelukan dengan teman baru nya, dan menangis bersama. Aku cuma bisa diam melihat mereka, bingung ingin melakukan apa.
Ketika aku menoleh ke arah pagar teralis besi di ujung lorong, tempat perbatasan orangtua boleh melihat kami, tampak beberapa orangtua juga menangis dengan tangan mereka terjulur ke arah kami. Seolah-olah kami tidak akan bertemu lagi. Loh, padahal kami ini anak-anaknya berada di sini untuk menuntut ilmu. Tidak lebih. Dan, bukankah mereka menyetujui juga anak-anak nya masuk ke dalam asrama?
Salah seorang teman baru menepuk pundakku. Aku menoleh, sekilas kulihat dia begitu cantik. Dengan rambut pendek sebahu, dan lesung pipi nya. Namun, mata nya tampak memerah dan basah. Sepertinya habis menangis.
"kamu tidak sedih ya, berpisah dengan orangtua?"
"aku bukan nya tidak sedih, tapi kan kita mau sekolah disini. Kita tiga tahun loh nanti tinggal disini, masa mau nangis terus-terusan?"Â Jawabku tersenyum.
Ku lihat dia tersenyum perlahan, dan memelukku.
"Namaku Sissy.."
Tangisan karena awal baru yang belum pernah kita tahu apa yang akan kita alami esok hari. Tapi siapa yang tahu, bahwa hari-hari esok nya ternyata lebih indah dari yang kita bayangkan. Bahkan, kita hampir lupa, bahwa kita pernah menangis untuk memulainya. Hingga, pada akhirnya kita menangis bersama lagi. Menangis karena tahu, bahwa tiga tahun telah berlalu begitu cepat dengan banyak kisah yang tak mungkin bisa kita ulangi lagi.