Dua tahun berjalan bukan tanpa tujuan, Dana Desa telah mengubah banyak "mimpi" warga menjadi  kenyataan. Pertumbuhan ekonomi desa yang dulunya hanya tumbuh 10% naik menjadi 60%, Desa sekarang bukan hanya sebagai penonton, tetapi juga pemain.
"Bukan hanya bicara Uang, UU Desa memberi banyak kewenangan"  Aspek kewenangan tersebut terdapat dalam dua pilar yang disebut Asas Rekognisi dan Asas Subsidiaritas, hal ini disampaikan oleh Prof. Ahmad Erani Yustika (Dirjen Pembangunan Kawasan Pedesaan Kemetrian Desa, PDT dan Transmigrasi) dalam agenda Diskusi Publik " Pengembangan Otonomi Desa" yang diselenggarakan oleh Pasca Sarjana Universitas Widyagama  Malang (30/9/17).
Asas rekognisi adalah asas yang terkait dengan hak asal usul atas kehadiran desa. Asas ini memberi pengakuan dan penghormatan kepada desa terhadap identitas desa, adat istiadat yang berlaku, kebiasaan pengelolaan desa, sistem pranata sosial dan kearifan lokal yang berkembang dan tumbuh di desa. Oleh karena itu desa sekarang menjadi otonom, dan tidak lagi hidup dalam bayang-bayang partonase politik negara (Hans Anthlov, 2002). Asas rekognisi tak bisa dipisahkan dengan Asas Subsidiaritas yang memberi kewenangan kepada desa untuk mengatur, mengelola, dan memanajemani permasalahan didesa secara lokal. Dengan dua asas ini satu desa dapat menentukan arah, kebijakan, dan anggaran sendiri. Dengan dua asas ini Desa menjadi sebuah Entitas yang dapat mengatur dirinya sendiri untuk merajut Kemandirian.
Kewenangan desa sebagaimana diatur dalam UU Desa No 6 Tahun 2014 diantaranya Kewenangan berdasarkan hak asal usul dan Kewenangan lokal berskala desa. Kedua kewenangan ini memberikan ruang bagi Pemerintah Desa untuk terlibat dalam banyak hal diantaranya pengelolaan tanah kas desa, pembinaan lembaga dan hukum adat, pengelolaan pasar desa, pembuatan jalan desa, dan berbagai kewenangan lainnya.Â
Oleh karena itu desa bukan lagi sekedar kepanjangatangan dari negara dalam mengatur pembangunan, bukan lagi sebagai katalisator projek, tetapi desa mampu menentukan arah pembangunannya sesuai dengan potensi yang dimiliki desa. Baik potensi sumber daya manusianya maupun sumber daya alamnya.Â
Selain kewenangan diatas, Erani menawarkan Konsep Tri Matra yang bertujuan untuk mempepat akses masyarakat terhadap kesehatan dan pendidikan dengan meningkatkan kapasitas masyarakat. Konsep Tri Matra yang pertama adalah Jaring Komunitas Wira Desa (Jamu Desa) yang mengutamakan penguatan daya dan ekspansi kapabilitas masyarakat desa.Â
Sementara konsep yang kedua adalah Lumbung Ekonomi Desa (Bumi Desa) yang bertujuan mengoptimalisasikan sumber daya desa untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, kedualatan pangan dan ketahanan energi. Dan terakhir konsep Lingkar Budaya Indonesia, yaitu konsep untuk memastikan bahwa masyarakat terlihat dalam pembangunan desa yang selaras dengan budaya lokal. Dengan 3 konsep ini diharapkan pembanguna desa tidak parsial tetapi komprehensif dengan menyentuh segala aspek baik ekonomi, sosial maupun budaya.
Hal ini menjadi penanda bahwa aparatur desa mulai paham dan mengerti bagaimana mengelola dan menggunakan dana desa dengan baik. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kapasitas aparatur diantaranya bekerjasama dengan Perguruan Tinggi baik Negeri maupun Swasta, maupun bekerjasama dengan Asosiasi Profesi seperti Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, berbagai capaian dana desa selama dua tahun juga disampaikan oleh Erani, diantaranya: 1). Maraknya kegiatan Musdes dan keterlibatan warga dalam perencanaan sampai eksekusi pembangunan, 2). Transparansi anggaran menjadi keniscayaan baru sebagai bagian dari akuntabilitas penyelanggara pemerintah desa, 3). Keswadayaan dan gotong royong terlihat kokok karena seluruh program harus dijalankan secara swakelola,tidak boleh diberikan kepada pihak ketiga, 4). Ongkos pembangunan menjadi amat murah karena dikerjakan oleh warga desa dengan semangat keguyuban tanpa harus mengorbankan kualitas, dan terakhir 5). Munculnya aneka upaya memperkuat kapasitas warga dan pemberdayaan lestari dengan berbasis budaya dan pengetahuan lokal.
Sebagai penutup Diskusi Erani menyampaikan Indikator untuk mengukur kemandirian desa adalah Indeks Desa Membangun (IDM). Indeks yang dikembangkan oleh Kementrian Desa, PDT dan Transmigrasi pada pertengahan 2015 diharapkan dapat mengukur keberhasilan Dana Desa untuk meningkatkan kemandirian. "Dana Desa yang digelontorkan oleh Pemerintah RI cukup besar oleh karena itu harus terukur" demikian katanya. IDM dibentuk dari Indeks ketahanan sosial, Indeks ketahanan ekonomi, dan Indeks Ketahanan Ekologi Desa.Â
Hasil IDM pada tahun 2015 menunjukkan bahwa 173 Desa (0,23%) desa dengan status mandiri, 3.610 desa (4,83%) desa dengan status maju, 22.916 (30,66%) desa dengan status berkembang, 33.948 (45,41%) desa dengan status tertinggal, dan terakhir 14.107 (18,87%) desa dengan status sangat tertinggal. Hasil ini naik secara signifikan di tahun 2016, dimana Desa Mandiri bertambah 846 Desa, Desa Maju bertambah 8 367 Desa, Desa Berkembang bertambah 9.548 Desa, Desa Tertinggal berkurang 13.631 Desa, dan Desa sangat tertinggal berkurang 5.120 Desa. Bisa di garis bawahi "Dana Desa Sangat Bermanfaat Untuk Meningkatkan Kemandirian Desa". Â