Memahami semangat berotonomi desa dalam bingkai governance di hembuskan dalam Undang-Undang Desa No 6 Tahun 2014 mengharuskan penelusuran konteks dan latar belakang kesejarahannya yang tidak dapat dilepaskan dengan konsep otonomi daerah secara umum. Dari penulusuran latar belakang historis tampak bahwa otonomi bukan saja mengalami pasang surut namun mengalami berbagai persoalan yang berbeda antar daerah. Oleh karena itu “Jangan Menatap Masa Depan Desa dengan Sikap dan Pandangan Terlalu ”. Baik yang terlalu berlebihan memandang desa sebagai masa lalu “potongan surga yang hilang” sehingga harus dipulihkan kembali, atau sebaliknya, secara berlebihan memandang tak ada yang berharga dari warisan masa depan desa yang relevan untuk menyongsong kehidupan “serba baru” dimasa depan. Hal ini dijelaskan Oleh Dr. Faturahman, SH.MH. (Dosen FH Universitas Widyagama Malang yang juga pakar hukum tata negara) dalam Diskusi Publik bertema “ Ekonomi Politik Pembangunan Desa” pada tanggal 24 September 2016 yang diselenggarakan oleh Pascasarjana Universitas Widyagama Malang.
Dr. Fatkhurahman Sedang Memberi Materi (Koleksi Pribadi)
Secara umum Otonomi Desa di bagi dalam empat fase yaitu: 1. Fase Otonomi Desa Pada Masa Kolonial, 2. Fase Otonomi Desa Pada Masa Kemerdekaan, 3. Fase Pada Otonomi Desa Pada MasaOrde Baru, 4. Fase Pada Otonomi Desa Pada Masa Pasca Orde Baru. Fase Otonomi Desa di Masa Kolonial memberikan hak untuk menyelenggarakan pemrintah sendiri kepada kesatuan masyarakat hukum adat dengan sebutan Inlandsche Gemeente yang terdiri dari Swaparaja dan Desa. Secara umum pengaturan desa pada masa ini telah mengandung semangat otonomi desa. Namun tidak berbanding lurus dengan keberadaan desa (kondisi sosial-politisnya) yang dalam perdebatan akademis berada di tengah pusaran tegangan desa sebagai sebuah interaksi rakyat secara alamiah atau bikinan penguasa. Fase selanjutnya dalam dinamika pengelolaan desa adalah ketika memasuki era kemerdekaan. Kondisi NKRI sejak awal memberi pengakuan dan penghormatan yang besar bagi eksistensi desa, namun belum secara tegas mengakui otonomi desa sebagai wilayah administratof dan politik untuk mengatur dirinya sendiri. Sementara pada rezim Orde baru, kedudukan desa di seragamkan, dengan mengindahkan keberagaman keadaan desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintah agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasi pembangunan dan menyelenggarakan administrasi desa yang makin meluas dan efektif. Kata diseragamkan dapat dibaca sebagai sebuah semangat campur tangan pemerintah pusat terhadap desa. Implikasi yang muncul adalah desa tidak lagi diimajinasikan memiliki keistimewaan dan originalitas yang beragam melainkan diperlakukan secara seragam. Setelah tumbangnya rezim orde baru pemerintah memasuki masa transisi. Muncul sebuah gelombang kerinduan yang menghendaki desa kembali menjadi bentuk asli mereka dengan berbagai hak dan kewenangan yang di miliki. Setelah beberapa waktu kemudian muncul harapan baru dengan lahirnya UU Otonomi Daerah No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. UU tersebut direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 dan terakhir direvisi menjadi UU No 6 Tahun 2014 tentang
Peserta Antusias Mengikuti Diskusi Publik (Koleksi Pribadi)
Dalam UU Desa No 6 Tahun 2014, selain mengakui hukum adat juga memperkenalkan lembaga baru yang disebut Musyawarah Desa yang merupakan forum permusyawaratan yang di ikuti oleh BPD, Pemerintah Desa, Unsur Masyarakat desa untuk membicarakan hal-hal yang startegis. Perencanaan desa diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat desa melalui Musrenbang Desa, yang akan menetapkan prioritas desa, program, kegiatan dan kebutuhan pembangunan desa yang didanai oleh APBDesa, swadaya masyarakat, APBD Kabupaten. Pembangunan desa dilaksanakan dengan semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal dan SDA desa. Kebersamaan dan kohesivitas akan lebih mudah direalisasikan jika di tegakkan prinsip transparansi. Masyarakat desa berhak mendapatkan informasi dan melakukan pemantauan mengenai rencana dan pelaksanaan pembangunan desa. Oleh karena itu perlu dikembangkan sistem informasi yang dapat diakses oleh masyarakat desa dan semua pemangku
Moderator Dr. Ana Sopanah, sedang memadu acara (Koleksi Pribadi)
Dari berbagai fase perkembangan tentang otonomi desa tersebut, baru UU No 6 Tahun 2014 ini lah yang mampu menempatkan desa menjadi struktur pemerintahan yang konkrit untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Terlepas dari masih banyaknya kelemahan dan kendala dalam penerapan UU Desa, kita harus optimis bahwa UU tersebut kedepan akan memberikan jaminan kepada masyarakat agar tercipta kehidupan yang lebih sejahtera dan adil makmur dengan melibatkan semua unsur pembangunan. Malang, 25 September 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya