Mohon tunggu...
Ana Sopanah
Ana Sopanah Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Widyagama Malang

Saya adalah Dosen FE Akuntansi di Universitas Widyagama Malang dan Aktif di beberapa organisasi Profesi Moto: Yakin Usaha Sampai

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menembus Gunung Bromo (4): Melewati Lautan Pasir yang Indah Menawan

22 Juli 2016   12:40 Diperbarui: 22 Juli 2016   12:48 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di Padang Savana dekat Lautan Pasir (koleksi Pribadi)

Perjalanan terakhir saya (ke 4) menembus Gunung Bromo melewati jalur Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo pada tanggal 31 Januari 2010. Pada saat itu, Udara begitu dingin ketika saya melangkah memasuki Desa Ngadisari, yang merupakan pintu gerbang menuju kawasan wisata Bromo-Tengger-Semeru. Namun kehangatan warga Tengger seolah mengusir hawa dingin yang mencapai 10 derajat Celcius menjelang pagi. Secangkir kopi yang disuguhkan dan keramahan warga sekitar memberikan kesan tersendiri bagi saya. Desa Ngadisari merupakan desa terakhir sebelum turun ke lautan pasir yang menjadi lokasi beberapa gunung seperti Gunung Bromo.

Seperti perjalanan menembus Gunung Bromo sebelumnya, sayapun menemui petinggi untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan saya. Saat itu, saya di terima sangat baik oleh Pak Supoyo selaku Petinggi Desa Ngadisari. Setelah berbincang-bincang tentang pembangunan di Desa Ngadisari. Dalam penjelasannya Pak Poyo (panggilan bapak Supoyo) menyampaikan bahwa Rembug Desa Ngadisari telah dilakukan pada akhir Desember sekaligus pertanggungjawaban Kepala Desa. Pada saat itu, disampaikan seluruh kegiatan yang telah dilakukan selama setahun, masyarakat Suku Tengger hampir hadir semua untuk menyampaikan usulan untuk tahun berikutnya. Pada saat itu, masyarakat Suku Tengger juga menerima sturk pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Berdasarkan informasi dari Pak Poyo selama ini masyarakat Suku Tengger 100 (seratus) persen tertib membayar PBB dan tepat pada

Mengelilingi Lautan Pasir Menggunakan Jeep (Koleksi Pribadi)
Mengelilingi Lautan Pasir Menggunakan Jeep (Koleksi Pribadi)
Dari empat lereng gunung yang saya lewati, semuanya memberi kesan bahwa masyarakat Suku Tengger sangat ramah dan terbuka dengan pendatang baru. Dalam perjalanan menunju Ngadisari saya menjumpai seorang nenek tua yang sedang menggendong kayu bakar dari hutan. Saya menyapa nenek tersebut dengan senyuman, dan Nenek tua tua tersebut memperkenalkan diri dengan nama “Nek Siyem”. Setiap harinya Nek Siyem mencari kayu di hutan dan dijual untuk membeli makanan buat keperluan kesehariannya. Dia hidup sebatang kara, tetapi tidak menceritakan secara detail dimana keluarganya.

Masyarakat Suku Tengger terkenal dengan karakternya, keluhuran budi pekerti dan sikapnya yang sangat sadar hukum. Di Suku Tengger sangat jarang terjadi tindakan pencurian, pembunuhan atau tindakan kriminal lainnya, kehidupan masyarakat Suku Tengger sangat harmonis. Masyarakat Suku Tengger kebanyakan hidup dari kegiatan bercocok tanam. Meskipun banyak masyarakat Suku Tengger berpendidikan tinggi dan melek teknologi, tetapi umumnya mereka lebih suka kembali ke desa dan menjalani kehidupan desa yang bersahaja. Filosofi hidup masyarakat Suku Tengger yaitu catur guru bekti, yaitu taat pada Tuhan, taat pada orang tua, taat pada pasinaon (guru) formal dan nonformal, dan taat pada pemerintah.

Di Desa Ngadisari khususnya yang dipimpin oleh Pak Supoyo, terdapat kearifan lokal tersendiri yang diterapkan oleh beliau untuk memajukan desanya, namun tetap melestarikan budaya luhur. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain adalah: adanya penghargaan bagi warga Ngadisari yang berhasil sekolah hingga menjadi Sarjana S1, hingga mereka diberikan penghargaan dengan cara pelaksanaan Upacara Mayu Ilmu Sarjana, hal ini dilakukan untuk memotivasi penduduk agar rajin menuntun ilmu. Kedua, pembangunan Seruni Point Yes, dengan rencana pembangunan toilet dan fasilitas lain. Seruni Point Yes adalah tempat alternatif untuk melihat puncak Bromo, agar kawasan bibir Bromo tetap lestari.

Karena sejak dulu mobil Jeep dan kuda digunakan banyak wisatawan menuju bibir Bromo sehingga bibir Bromo mengalami penipisan. Hal lain yang dilakukan adalah pelengkapan musium di Bromo dengan alat seismograf agar pengunjung dapat melihat secara nyata kinerja alat tersebut dan keadaan gunung Bromo. Ketiga, larangan tidak boleh menikah sebelum lulus SMA hal ini dilakukan agar kaum perempuan tidak dirugikan dan agar remaja-remaja terpenuhi pendidikannya. Hal ini juga diharapkan meminimalisir pernikahan dini yang beresiko kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kemiskinan, penyakit kandungan pada wanita,

Di Padang Savana dekat Lautan Pasir (koleksi Pribadi)
Di Padang Savana dekat Lautan Pasir (koleksi Pribadi)
Masyarakat Suku Tengger amat percaya dan menghormati dukun di wilayah mereka dibandingkan pejabat administratif karena dukun sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Suku Tengger. Masyarakat Suku Tengger mengangkat masyarakat lain dari luar masyarakat Suku Tengger sebagai warga kehormatan dan tidak semuanya bisa menjadi warga kehormatan di masyarakat Suku Tengger. Masyarakat muslim Suku Tengger biasanya tinggal di desa-desa yang agak bawah sedangkan masyarakat yang beragama Hindu tinggal di desa-desa yang ada di atasnya. Seperti orang Jawa lainnya, masyarakat Suku Tengger menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral yaitu garis keturunan pihak ayah dan ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak.

Pada umumnya masyarakat Suku Tengger mempunyai pendirian yang cukup bermoral atas perkawinan. Poligami dan perceraian boleh dikatakan tidak pernah terjadi, karena pada saat upacara perkawinan diucapkan janji perkawinan yaitu Sri Kawin Rali Ringgit Arta Perak Utang, yang artinya hutang tanggung jawab sampai mati tidak boleh ditinggalkan. Perkawinan dibawah umur juga jarang terjadi. Sebelum acara perkawinan biasanya telah dimintakan nasihat kepada dukun mengenai kapan sebaiknya hari perkawinan itu dilaksanakan. Dukun akan memberikan saran (menetapkan) hari yang baik dan tepat, papan tempat pelaksanaan perkawinan, dan sebagainya. Setelah hari untuk upacara perkawinan ditentukan, maka diawali selamatan kecil (dengan sajian bubur merah dan bubur putih).

Masyarakat Suku Tengger mempunyai salam yaitu Hong Ulun Basuki Langgeng, yang harus dijawab dengan Langgeng Basuki.Hong berarti sebutan untuk Tuhan, Ulun berarti kita, Basuki berarti selamat, dan Langgeng berarti kekal. Jadi Hong Ulun Basuki Langgeng berarti semoga kita dalam keadaan selamat atas karunia Tuhan Yang Maha Esa.Salam ini dipakai dalam setiap pertemuan, tidak peduli agama masyarakat Suku Tengger yang ada di pertemuan tersebut apakah Hindu, Islam, Katolik, atau yang lainnya. Masyarakat Suku Tengger mempunyai ciri khas memakai sarung karena dingin, sehinga menjadi tradisi. Masyarakat Suku Tengger mempunyai pakaian kebesaran untuk laki-laki yaitu kepala diikat (udeng), pakai celana dan rompi hitam, jarik dibebet. Sedang perempuan memakai kebaya hitam, jarik, selendang kuning dan sanggul. Bagi masyarakat Suku Tengger warna hitam mempuyai arti

Di Lautan Pasir Pun Bisa Berkuda (Koleksi Pribadi)
Di Lautan Pasir Pun Bisa Berkuda (Koleksi Pribadi)
Cerita di atas telah memberikan gambaran perjalanan panjang menembus Gunung Bromo yang diawali dari Desa Ngadiwono di Kabupaten Pasuruan (Menembus Bromo1), dilanjutkan Desa Ngadas di Kabupaten Malang (Menembus Bromo), kemudian di Desa Ranupani di Kabupaten Lumajang (Menembus Bromo3), dan terakhir di Desa Ngadisari Kabupaten Probolinggo (Menembus Bromo4). Perjalanan menembus Gunung Bromo melalui empat lereng tersebut memberikan kesan bahwa masyarakat Suku Tengger sangat ramah, terbuka, memiliki adat istiadat dan berbagai macam upacara adat yang berbeda dengan masyarakat suku lainnya yang sampai saat ini masih terpelihara dan dilaksanakan sesuai dengan ajaran Petinggi dan Dukun di Suku Tengger.

Berdasarkan perjalanan panjang menembus Gunung Bromo dan pengalaman-pengalaman yang didapat selama di lapangan, akhirnya penulis memutuskan untuk memilih Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura di Kabupaten Probolinggo sebagai situs penelitian untuk Disertasi saya. Berbagai pertimbangan tersebut di antaranya: Pertama, Kabupaten Probolinggo merupakan satu-satunya Kabupaten di Jawa Timur yang memiliki Perda Transparansi dan Partisipasi dalam Perencanaan Pembangunan di antara ketiga Kabupaten lainnya yang memiliki Suku Tengger.  Kedua, Masyarakat Suku Tengger di Kabupaten Probolinggo masih mempertahankan nilai lokalitas di antaranya ritual adat, posisi dukun masih cukup signifikan atas keterlibatannya dalam proses pembangunan, dan nuansa mistik/supranatural  masih sangat kental. Ketiga, Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura adalah tempat yang dipilih untuk melakukan ritual adat karena paling dekat dengan Gunung Bromo. Keempat, kemudahan akses menuju lokasi penelitian. Dan Terakhir, Kelima, hubungan baik antara peneliti dengan key informan memudahkan untuk memperoleh data penelitian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun