Mohon tunggu...
Nur Ana Sejati
Nur Ana Sejati Mohon Tunggu... pegawai negeri -

PNS, Blogger, Ibu tiga anak, mahasiswa tinggal di Melbourn, tertarik pada masalah kinerja pemerintah daerah, pengelolaan, keuangan daerah, sistem pengendalian intern pemerintah, dan bermimpi menjelajah kota-kota dunia... silakan mampir juga di blog pribadi www.anasejati.wordpress.com atau www.warungkopipemda.com bagi pemerhati masalah pemerintahan daerah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Krisis Customer Service Dinas Sosial Australia

5 Februari 2014   11:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:08 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13915763071050249700

Sudah lima belas menit lebih saya memegang gagang telfon itu. Hanya musik klasik yang mengalun menambah bosan dan lapar berpadu dengan kantuk. Selembar kertas di hadapan dengan huruf  berderet ukuran font sembilan selesai saya baca tuntas-tas. Tak juga ada yang menjawab telfon. Saya coba sapukan pandangan ke sekeliling.  Aha...lumayan.  Sedikit observasi pelayanan publik mengobati rasa jenuh dan jengkel.

Sekitar dua meter dari tempat duduk saya ada empat orang mengalami nasib yang sama. Memegang telfon, menengok kekanan ke kiri dan ke bawah, terkadang menatap pesawat telfon sembari berharap akan segera ada suara dari seberang. Beberapa meter di samping kiri, teman saya ragu apakah upaya menelfonnya kali ini gagal sebagaimana sebelumnya. Beberapa saat kemudian terlihat seorang yang mencoba menyabarkan penelfon yang hampir putus asa dengan mengatakan ‘Relax...relax...enjoy the music’

Entah kali yang keberapa saya menelfon customer service yang menangani Child Care Benefit (CCB). Awalnya saya selalu putus asa. Setelah sepuluh menit biasanya saya tutup. Saya fikir karena begitu sibuk mereka tidak akan mengangkatnya. Sebelum menelfon saya coba dulu bertemu staf di instansi dinas sosialnya Australia (centrelink) wilayah sekitar tempat tinggal saya. Namun, jawabannya pun hampir selalu sama. Saya diminta langsung menelfon ke pusat informasinya. Ia pun tak lupa mengatakan bahwa perlu kesabaran karena lama menunggu telfon.

Suatu ketika, karena tidak ada pilihan lain, saya coba terus menunggu. Seperti biasa begitu saya tekan nomor yang ditunjuk muncullah suara mesin yang meminta saya menyebutkan customer number. Herannya, setiap kali saya sebutkan dijawab kembali ‘please tell me your customer reference number’. Hhhh…penghinaan pronounciation saya nih kayaknya. Untuk ketiga kalinya saya menyerah dan memilih menjawab ‘I don’t have one’ sebagaimana saran mesin penjawab jika saya tidak punya.

Begitulah, setelah itu saya ditanya maksud dan tujuan saya menelfon. Tak lupa sang mesin pun beriklan bahwa saat ini instansi terkait telah menyediakan layanan online ataupun akses via mobilephone. Di katakan, why don’t you visit our website. Hmmmm. Memang sih, saya pernah mencoba masuk ke situs instansi tersebut. Entahlah mungkin mindset orang negara berkembang yang merasa kurang mantap klo tidak langsung berbicara dengan penyedia jasa. Ah..sebenarnya bukan itu juga alasannya. Tapi karena kebingungan dengan banyaknya pilihan nge-klick contact informasi…hihihihihi.

Mesin itu juga mengatakan masalah highly demand customer service sehingga saya diperkirakan harus menunggu jawaban setelah 20 menit. Rupanya benar, telfon saya diangkat. Hhhh…sejak itu setiap kali menelfon saya berusaha bersabar-sabar ria. Untuk menelfon dan mendapatkan jawaban setidaknya saya harus menyisihkan satu jam, 25 menitnya dialokasikan untuk menunggu. Sisanya juga tetap menunggu tapi menunggu karena petugas menjawab telefon sembari mencari dan membuka data base saya.

Bagi penerima beasiswa dari pemerintah Australia,  mendatangi instansi ini adalah hal yang tak bisa dihindarkan. Bahkan harus. Jika tidak, kami harus membayar mahal biaya penitipan anak. Pemerintah Australia memang membuat kebijakan memberikan subsidi berupa Child Care Benefits (CCB) bagi setiap warga negara atau siapa pun yang memiliki visa tertentu. Tentu saja dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Misalnya, jumlah penghasilan per tahun yang di bawah jumlah tertentu.

Instansi yang saya datangi ini tidak hanya menangani masalah (CCB). Tapi, banyak hal. Department of Human Services (DHS) boleh dibilang memang mirip departemen sosial kita. Kali ini saya tidak hendak membahas masalah jenis layanan apa saja yang diberikan instansi ini. Mungkin di lain kesempatan. Yang jelas di departemen inilah warga negara mengurus tunjangan-tunjangan (financial support) bagi bagi pengangguran, pensiunan, warga asli, baby bonus,  migrant,  pengungsi, penyandang disability, pencari kerja, lansia, dan lain-lain.

Kalau dari sisi cakupan layanan anda bisa bayangkan besarnya. Grafik di bawah ini menunjukkan bahwa anggaran untuk social security dan welfare mencapai $138,1 billion, lebih dari dua kali anggaran untuk kesehatan dan empat kalinya anggaran pendidikan. Sebaliknya, Kalau dilihat dari sisi penerimaan negara pendapatan terbesar diperoleh dari pajak penghasilan pribadi. Lagi-lagi maaf saya belum akan membahas masalah APBN Australia. Kali ini saya hanya ingin menggambarkan kaitan besarnya anggaran untuk social security dan welfare dengan pelayanan publiknya.

http://www.canstar.com.au/income-tax/where-does-tax-go/

Jadi, dengan anggaran sekitar 35% dari total belanja wajar kalau departemen ini begitu sibuk. Entah berapa warga yang mendatangi kantor pemerintah yang biasa saya datangi dengan ruang tunggu yang sangat luas, ber-AC, ber-WIFI, dilengkapi dengan berderet sofa, sekitar 10 desktop dan 12 pesawat telepon itu. Selama saya ke kantor tersebut, entah pagi atau sore, selalu ramai. Tentu tidak riuh sebagaimana kantor kecamatan di negara kita karena fasilitas yang disediakan membuat setiap yang dating ASRI (asyik sendiri-sendiri) dengan gadgetnya.

Kondisi ini mungkin agak kontradiktif dengan tulisan saya sebelumnya tentang pelayanan pemda yang sepi. Pada dasarnya departemen ini sama halnya dengan pemda yang saya ceritakan. Layanan untuk memudahkan interaksi dengan pemerintah disediakan secara on-line baik melalui internet ataupun via hp. Lalu, kenapa di departemen ini selalu didatangi banyak orang ya. Sampai saat ini saya belum menemukan jawabannya secara pasti. Tapi, logika terbalik bisa kita gunakan. Kalau saja kantor ini tidak menyediakan layanan on-line mungkin ruang tunggu berubah menjadi pasar. Proporsi belanja yang dialokasikan untuk social security dan welfare yang tinggi tentu juga seiring dengan tingginya cakupan jumlah masyarakat yang harus di layani. Jadi wajar saja kalau customer service yang saya hubungi via telfon baru menjawab setelah menunggu 20 menit. Bayangkan, bisa jadi beratus atau beribu orang menelfon pada saat yang sama.

Satu lagi pertanyaan. Mengapa pada saat yang sama dan pada nomor telfon yang sama untuk seluruh Australia? Tak lain dan tak bukan karena layanan ini sudah tersentralisasi termasuk database. Bahkan, data saya tujuh tahun yang lalu pun masih tersimpan rapi.

Tulisan ini hanyalah sekedar memberikan gambaran bagaimana layanan publik di negara maju. Dalam beberapa hal bagi kita yang sempat membaca visi reformasi birokrasi ‘mewujudkan pemerintahan kelas dunia’ mungkin sedikit mengeryitkan dahi. Seperti apakah pemerintahan kelas dunia itu?

Secara ringkas, pelayanan publik yang selama ini saya terima tidaklah sehebat yang kita bayangkan. Memang benar, kalau masalah pungli dijamin negeri ini bebas. Kepastian biaya pelayanan bisa dibuktikan. Kemudahan, boleh jadi. Setidaknya dalam beberapa layanan kita tidak harus mendatangi kantor pemerintah. Cukup dari rumah bisa kita selesaikan. Kepastian waktu…hmmm bisa jadi juga ya. Yang jelas mereka punya standar pelayanan waktu penyelesaian suatu dokumen. Untuk mengurus CCB misalnya maksimal 7 minggu.

Karakteristik pelayanan publik di Australia adalah pemanfaatan sistem informasi secara maksimal. E-government sudah pada tahap pemanfaatan aplikasi yang memungkinkan pelayanan secara online. Hal ini juga ditandai dengan pemeliharaan database yang akurat dan tersentralisasi.

Meski demikian, pelayanan publik di negeri belum sempurna. Upaya perbaikan terus dilakukan. Department of Human Resources, dimana centrelink ini bernaung memang menerima banyak komplain. Seperti yang saya katakan di atas, wajar saja barangkali karena departement ini mengelola dana yang sangat besar yang sebanding dengan jumlah warga negara yang harus dilayani.

Berita yang dilansir The Morning Sydney Herald, 17 Oktober 2013, menyebutkan bahwa centrelink memang menghadapi krisis customer services. Data dari commonwealth ombudsman office menyatakan bahwa komplain tahun 2012-2013 mencapai 5093 yang merupakan jumlah tertinggi dibandingkan komplain terhadap instansi pemerintah lainnya. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 6133. Menurut staff departemen terkait, tingginya komplain ini disebabkan welfare sistem yang semakin kompleks dan begitu banyaknya jenis layanan yang harus diberikan oleh centrelink. Namun, tentu saja kondisi ini tak bisa terus dijadikan apologi atas layanan customer service yang kurang memuaskan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun