Mohon tunggu...
Nur Ana Sejati
Nur Ana Sejati Mohon Tunggu... pegawai negeri -

PNS, Blogger, Ibu tiga anak, mahasiswa tinggal di Melbourn, tertarik pada masalah kinerja pemerintah daerah, pengelolaan, keuangan daerah, sistem pengendalian intern pemerintah, dan bermimpi menjelajah kota-kota dunia... silakan mampir juga di blog pribadi www.anasejati.wordpress.com atau www.warungkopipemda.com bagi pemerhati masalah pemerintahan daerah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Australia Skateboard Menjadi Alat Transportasi

23 Maret 2014   20:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:35 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah mengapa sepatu itu begitu membius saya sejak pertama kali melihatnya. Saya selalu dibuat terpukau. Bahkan, saya selalu menyempatkan diri berhenti sejenak dan menatap gerak gerik sang pemakainya hingga kini. Saat itu usia saya baru sekitar 5 atau 6 tahun. Di desa saya hanya beberapa anak yang memilikinya. Terutama, hanya kalangan berada lah yang mampu membeli sepatu tersebut. Saya sendiri hampir setiap hari merengek. Sayangnya, setiap kali itu pula ibu tak pernah menanggapi.

Sepatu roda memang barang yang cukup mewah di tahun 1980an. Karena tak kunjung dibelikan, untuk memenuhi hasrat bersepatu roda saya pun selalu menyempatkan diri bermain ke rumah orang terkaya di desa saya. Kebetulan keluarga saya mengenal baik. Saya pun berteman baik dengan semua anaknya. Tak hanya saya. Anak-anak lain pun banyak yang kesana berharap mendapat kesempatan bersepatu roda barang beberapa menit.

Meski ukuran sepatu roda tersebut terlalu besar untuk kaki saya yang mungil, saya tidak bisa menyembunyikan kegembitaan saat memakainya. Tak semudah yang saya kira. Beberapa kali saya terjatuh dan 'nggeblak' karena kehilangan keseimbangan. Tapi, itu tak membuat kapok. Saat itulah justru say merasa beruntung karrna mendapat kesempatan mencoba. Terkadang saya harus kembali pulang tanpa mencoba karena kalah antrian rengan anak2 yang lebih besar.

Sejak saat itu sepatu roda sering menghiasi mimpi2 saya. Namun saya harus menyimpan mimpi itu hingga usia saya sepuluh tahun. Saat kelas empat SD barulah orang tua membelikan saya sepatu roda. Sayang seribu sayang jalan depan rumah saya belum diaspal alias masih berupa jalan tanah. Jadilah, teras dan ruang tamu sebagai arena bermain. Sesekali saya ke sebuah sekolah tak jauh dari rumah. Setidaknya saya bisa mendapatkan jalur yang lebih panjang. Beberapa kali terbersit fikiran untuk bermain dijalan raya seusai subuh. Jelas, orang tua menolak keras karena dijalan tersebut melaju bus-bus besar. Satu kali saya pernah melanggarnya. Hmmm...enak juga ternyata bersepatu roda dijalan raya, begitu fikiran anak-anak sy kala itu. Duh, kalau saat ini saya ingat hhh...sereeem.

Niat untuk menulis sepatu roda muncul seminggu yang lalu saat moomba festival diadakan di kota ini. Moomba festival adalah perayaan yang diadakan setiap labor day atau hari buruh. Kemeriahannya melebihi Australian day. Tak tanggung-tanggung, event ini digelar selama tiga hari. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah kompetisi scooter, bmx dan skateboard di arena yang dinamakan skateboard park.

Meski bukan sepatu roda, bagi saya ketiga benda tersebut sama saja. Sama-sama memikat. Tapi maaf, kali ini saya tidak hendak bercerita event moomba karena saya datang bukan di saat kompetisi diadakan. Setidaknya melihat skateboard park-nya sufah cukup melegakan.

Kalau boleh jujur di usia saya yang hampir menginjak 40 ini ingin menjajal skateboard. Infrastruktur kota membuat skateboard tak hanya berfungsi sebag alat bermain. Tapi, menjadi alat transportasi. Memang, saya tidak pernah menjumpai skateboarder yang usianya 40an. Mungkin 35 an ke bawah. Jadi, terlalu lebai kalau saya berskateboard-an. Yang jelas saya sering mendapati pemuda-pemudi menggelinding dijalanan dengan skateboardnya. Atau, menjinjingnya di atas tram dan kereta.

Infrastruktur kota dengan pedestrian walk di setiap ruas jalan memungkinkan para pe-skateboar, pe-sepatu roda, pe-scooter, pe-stroler untuk menyusuri kota dengan nyaman. Meski setiap hari menyusuri jalanan di kota ini, saya selalu dibuat terkagum2 bagaimana sang pendahulu dan pemerintah membangun dan menata negeri ini. Sempat terbrsit fiikiran nakal, dulu sewaktu negeri ini sedang membangun pendahulu kita sedang apa ya.. Ups...segera saya halau, jangan sampai kelak anak cucu saya jg bertanya: dulu bunda ngapain saja?

Desain pedestrian walk yang relatif rata dengan jalan keluar rumah atau bangunan membuat pe-skateboard, pe-sroller dan pe-scooter meluncur tampa halangan berarti. Alhasil skateboard dan scooter bisa menjadi alat transportasi yang nyaman. Dan hari ini saya se-lift dengan pe-skateboard di kampus. Hari ini pula saya mendapati wanita muda sedang menggelinding diatas rollerblade di jalan utama.

Tentu hal ini sangat kontras dengan tata ruang dan tata bangunan di negeri kita. Ups..mungkin tak seharusnya saya membandingkan. Yang jelas biasanya saya tidak pernah mendapati ibu2 yang mendorong stroler di jalanan, atau bahkan trotoar sekalipun di negara kita. Konstruksi trotoar yang tidak rata dengan jalan keluar rumah/ataubangunann tentu menjadi kendala tersendiri. Paling banter stroler banyak didapati di mall saat ibu2 berbelanja bersama bayi dan batitanya. Selebihnya di jalanan kompleks atau malah di dalam rumah.

Pemerintah pada dasarnya sudah menununjukkan komitmen untuk memberikan ruang publik dan sarana prasarana jalan yang nyaman. Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan mengamanatkan pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menyediakan fasilitas jalan. Pasal 45 menyatakan tentang Penyediaan fasilitas pendukung jalan dan angkutan berupa trotoar, jalur sepeda, tempat penyeberangan, halte dan fasilitas khusus bag penyandang cacat dan manula.

Ketentuan ini juga diiringi dengan aturan tentang tata ruang dan tata bangunan yaitu undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menata, mengawasi dan melakukan pengendalian tata ruang wilayah.

Atas dasar itu pula pemerintah daerah diharuskan untuk menyusun rencana tata ruang wilayah yang diantaranya mencakup strategi penataan ruang wilayah, rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya, arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten, dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.

Selain aturan tersebut mendagri juga sudah mengeluarkan Permendagri nomor 32 tahun 2010 tentang pemberian izin mendirikan bangunan. Bagi pemerintah daerah penerbitan IMB adalah salah satu sumber pendaptan unggulan. Alhasil, dalam rencana strategis pun pendapatan dari IMB diberikan target untuk di capai. Untuk pemerintah kota dengan tingkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tentu pendapatan dari sumber ini cukup menggiurkan. Tentu saja, pertumbuhan ekonomi seiring dengan peningkatan income masyarakat yang pada akhirnya mendorong masyarakat untuk membangun rumah atau sekedar merenovasi.

Sayangnya, dalam banyak hal IMB yang sedianya berfungsi untuk mengendalikan, mengawasi dan menertibkan bangunan belum berfungsi sebagaimana mestinya. Kenaikan jumlah pemohon IMB tidak secara otomatis berkorelasi terhadap penataan ruang dan bangunan yang baik. Cobalah anda ketikan pelanggaran IMB di google. Anda akan mendapati berbagai kasus. Ironi.

Jadi, mengharapkan bisa bersepatu roda, berskateboard, ber-stroller, berjalan kaki dengan nyaman di negeri sendiri sepertinya masih perlu waktu yang panjang. Dalam hal ini saya kembali teringat pernyataan mantan walikota bogota, Enrique Penalosa, yang menyatakan bahwa 'the way we design city wil determine how people live and how happy they are'.

Atau, andai saja para kepala daerah memahami bahwa untuk mengukur keberhasilan negara bekembang adalah ketika semua anak-anak mendapat akses fasilitas olah raga, perpustakaan, taman, sekolah dan pengasuhan. Dengan sumber daya yang terbatas tentulah alat ukur berupa pendapatan perkapita kurang relevan sebagaimana pemahaman Penalosa bahwa:

If we in the Third World measure our success or failure as a society in terms of income, we would have to classify ourselves as losers until the end of time, declares Peñalosa. So with our limited resources, we have to invent other ways to measure success. This might mean that all kids have access to sports facilities, libraries, parks, schools, nurseries.

Terbukti, dalam lingkup pemda Jokowi, Tri Rismaharini, Nurdin Abdullah dan Ridwan Kamil langsung melejit karena kiprahnya mengelola ruang-ruang publik.

Lalu, apa yang bisa kita perbuat?

Jika anda bekerja sebagai PNS di Bappeda, atau di instansi terkait penataan ruang atau pekerjaan umum, anda bisa ‘memaksa’ agar menetapkan indikator kinerja penataan ruang dalam dokumen RPJMD, Renstra, dan Rencana Tahunan. Jika tidak, anda bisa ‘membisikkan’ kepada mereka baik secara formal maupun informal. Persentase bangunan yang melanggar sempadan jalan yang ditertibkan;  jumlah bangunan yang melanggar sempadan jalan; persentase jalan dengan trotoar adalah indikator yang bisa digunakan untuk menilai kinerja penataan tata ruang dan bangunan. Yakinlah, jika ini bisa dimasukkan dalam dokumen tersebut, setiap tahun dalam penyusunan laporan akuntabitas kinerja pemerintah (LAKIP), kepala SKPD bahkan kepala daerah sekalipun akan kelimpungan jika target tidak tercapai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun