Minggu lalu saya mendapat kunjungan dari tamu istimewa. Dia adalah sahabat sekaligus teman sekamar saya saat masih di Jurangmangu tahun 1994. Dalam banyak hal kami mempunyai banyak kesamaan. Khususnya soal hobby. Kami berdua senang njajah deso milangkori, alias blusukan ke tempat-tempat baru. Dari seluruh pengalaman jalan-jalan, hal yang paling kami sukai adalah ketika kami tersesat.
Bukannya panik dan marah-marah, kami malah cekikikan mentertawakan kekonyolan kami. Bagi kami, tersesat adalah bagian paling indah dari sebuah cerita perjalanan.
Lebih sering kami melakukan perjalanan tanpa rencana. Suatu ketika ia menyempatkan diri ke kampung halaman saya saat liburan. Kami pun sepakat untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di sekitar kota saya. Tak ada alamat dan rute yang jelas kami pegang. Modalnya, bertanya. Termasuk ketika kami akhirnya memutuskan untuk mencari alamat teman saya di Jogja usai mengunjungi Borobudur. Dengan alamat yang bagi saya tidak terlalu jelas, karena tidak ada nama jalan dan nomor rumah, kami pun nekat mencarinya. Secarik kertas alamat teman itulah yang menjadi senjata kami. Entah berapa orang sudah kami tanyakan arah menuju desa di alamat tersebut. Yang jelas akhirnya kami pun menemukannya setelah berjalan cukup jauh dengan melewati persawahan.
Kali ini, tentu saya tidak ingin mengulang kejadian yang sama. Saya berharap kunjungan teman saya ini bisa menjadi cerita perjalanan wisata kota. Bukan lagi kisah ketersesatan. Bukannya sudah kapok. Hanya saja sahabat saya hanya punya waktu empat hari di kota ini. Sayang, kalau waktunya disia-siakan untuk mencari alamat. Alhasil, saya pun memaksimalkan informasi wisata kota dan peta semaksimal mungkin. Tetap saja, empat hari tak bisa menjangkau indahnya seluruh kota Melbourne dan sekitarnya.
Kalau dulu kami cekikikan karena ‘keblasuk-blasuk’, saat ini kami mentertawakan kekonyolan kami lainnya. Sebelum sahabat saya sampai ke kota ini, saya berharap ia membawa kamera yang bagus. Sejak pertama menginjak kota ini saya sangat terpesona dengan arsitektur bangunan-bangunan di sini. Juga, taman-taman kota dan tempat wisatanya. Jadi, alangkah indahnya kalau tempat-tempat ini diabadikan dengan kamera yang bagus pula. Saya sendiri hingga saat ini belum punya. Modalnya ya kamera hp. Karena memang obyeknya bagus, jepretan ala kamera hp-pun cukup layak untuk dijempoli.
Syukurlah, ternyata sahabat saya ini memang telah menyiapkan segalanya dengan baik. Termasuk kamera. Belum lama pula ia memilikinya. Ia berharap dengan kamera seperti itu akan mendukung hobby menulisnya. Hmmm...mantaplah. Sayang seribu sayang, karena kesibukan kerja dan kesibukan sebagai ibu rumah tangga ia belum sempat mengutak atik kamera. Harapan mendapat  hasil jepretan ala fotografer profesional pupuslah sudah.
Menyesal memang, tapi lagi-lagi kami justru mentertawakan kekonyolan kami. Kamera Ok, obyek ok, SDM-nya yang bermasalah. Hihihihi...
Biarlah...justru dari kejadian tersebut membuat kami memahami sepaham-pahamnya arti pengembangan sumber daya manusia. Bahkan kata sahabat saya ini, sebenarnya yang paling penting dari fotografi bukan pada kamera tapi kemampuan kita menangkap angle yang tepat. Dengan kamera yang tak perlu canggih pun asal bisa mendapat angle dan mengetahui teknik foto hasilnya bisa bagus. Begitu katanya.
Cerita ini juga mengingatkan saya pada buku yang baru saya pinjam dari perpustakaan kampus. Judulnya Strategy Maps yang ditulis oleh  Robert S Kaplan dan David P. Norton. Buku ini adalah buku lanjutan dari best sellernya The Balanced Scorecard. Buku ini memang fenomenal karena mampu mengubah wajah sistem pengukuran kinerja sektor privat dan kini pun diadopsi di sektor publik termasuk instansi pemerintah kita.
Balanced-Scorecard adalah bagian dari strategi manajemen kinerja. Saya sendiri sebenarnya sempat mendalaminya saat di tingkat IV tahun 2000. Sejak pertama mengenalnya memang langsung membuat jatuh cinta. Konsepnya sebenarnya sederhana saja. Di masa lalu, pengukuran kinerja hanya mengandalkan data-data keuangan. Aspek akuntansinya sangat kental. Analisisnya kinerjanya pun lebih banyak didasarkan pada analisis laporan keuangan. Di sisi lain, banyak hal yang tidak bisa ‘di akuntansikan’. Misalnya, bagaimana mencatat ikan yang ada di laut sebagai aset pemerintah, atau bagaimana pengelola klub sepak bola mencatat David Backham sebagai aset. Dalam beberapa hal memang laporan keuangan sedikit banyak membantu memotret secara keseluruhan organisasi. Pemda kaya atau miskin bisa jadi bisa dilihat dari besarnya PAD. Klub hebat bisa tercermin dari laba yang dihasilkan.
Namun, mengandalkan laporan keuangan tentu tidak akan membuat pembaca memahami beda pemda dengan pelayanan publik bagus atau tidak, klub yang punya masa depan atau yang akan tumbang.