Mohon tunggu...
Durriyyatun Nawiroh
Durriyyatun Nawiroh Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

sepi dalam ramai, ramai dalam sepi, dan sewajarnya;

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Aku Peniru, Kau Kutiru

23 Desember 2013   22:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

No: 335 [caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="aku, ibuku, guru-guruku dan teman-temanku"][/caption]

***

cinta kita

adalah cinta dalam diam

aku tak pernah memujimu

seperti kau tak pernah memujiku

“aku sayang” (nyaris) tak pernah saling kita ucapkan

“aku rindu” bukan hal lazim antara kau dan aku

hanya airmata yang mengalir

ketika rindu padamu bergulir

sampai lelap mata menghentikannya

dan aku tetap kan diam

-

di esok harinya

aku kan tertawa

ketika tiba-tiba kau menghubungiku

tanpa kuminta

***

Ibu, aku tumbuh dari suapan-suapan kecil bapak dengan nasi dan lauk yang kau masak. Aku berangkat sekolah setelah dimandikan dan dipakaikannya seragam yang kau cuci dan setrika sendiri. Bapak juga yang selalu mengantarku sementara kau melanjutkan urusan rumah. Dan di malam hari, dongeng dan cerita-ceritanya di masa muda yang mengantarku lelap hingga menikmati mimpi. Tapi tetap saja, ketika aku bangun terlalu pagi, tak ada bapak yang kudapati terjaga. Yang ada adalah kau, sedang khusyuk dalam sholat atau tadarusmu. Kemudian, di saat seperti itu kau kan menyapa, “cah ayu, udah bangun? sini ikut mengaji”, katamu dengan senyum. Lantas aku mendekatimu walau sekadar untuk kembali tidur di pangkumu.

Pernah di suatu fajar yang teramat sepi aku terbangun. Tak kudapati kau di sampingku. Seperi biasa aku bangkit untuk mencarimu. Di ruang tamu, tempat biasa Al-Quran kau baca, aku tak melihatmu. Aku melanjut langkah menuju ruang belakang, ruang makan. Benar saja, di meja segelas teh dan sekerat roti sudah tersaji. “Ibu mau puasa?”, tanyaku. “ya, kamu mau puasa juga?” dengan suara serak sisa tidur sebelumnya kau menjawab. “mau”, jawabku dengan semangat. “tapi ibu belum masak nasi. Sahurnya dengan roti ini dibagi dua ga pa-pa?”, tanyamu dan aku mengangguk sekenanya. Secuil roti kau makan dan sisanya kau berikan untukku. Betapa fajar itu menjadi salah satu fajar yang romantis bersamamu, Bu…

Keromantisan tentu tak hanya itu. Sekali waktu aku pulang sekolah, mendekatimu, duduk di sampingmu lantas menangis sejadi-jadinya. Katamu sambil terheran, “kenapa, cah ayu? bilang sama Ibu”. Aku menjawab sambil terisak-isak, takut ramahmu berubah bentak, “antingku diambil orang”. Tak sampai detik berikutnya kau membawaku dalam pelukmu, “ora po-po, Ndok… ora po-po anting ilang. Sing penting anakku ra ilang diculik uwong”, hamdalah kau ucap berulang. Sambil tersedu kau elus kepalaku.

Pernah aku iri pada kawan-kawan yang hari lahirnya dipestakan. Sedang aku, paling-paling dan itupun tak rutin, hanya kau buatkan bubur kacang hijau atau mutiara. Dua, tiga mangkuk kau bagi ke tetangga. Sudah, itu saja. Kado? Seingatku tak pernah ada. Tapi setelah terbiasa, aku rasa memasak bubur di hari lahirku atau kakak-adik adalah caramu menunjukkan keromantisan. Bukan makanan mahal, tapi itulah yang kami suka. Atau dengan sengaja kau mengolah ketan hitam atau beberapa lonjor tempe dari pasar. Dan itu yang sering kami pamerkan pada teman-teman, “Ibuku pandai membuat tape dan kering tempe”.

Di kali lain ketika kau tanyakan, “mau makan apa nanti siang?”, lalu kujawab “oseng kangkung dan mendoan”. Lanjutmu dengan santainya sambil mengeluarkan beberapa lembar uang, “yasudah sana ke warung beli kangkung juga tempenya. Kemudian masaklah, nanti Ibu ikut makan”. Dan ketika aku tak mau, jawabmu sambil melucu “yasudah, nanti siang makan nasi putih saja”. Dan itu tak pernah benar-benar terjadi. Kau mengalah, berbelanja. Selanjutnya, aku membuntutimu. Dan kita akan tertawa berdua.

***

adakah hatimu selembut kapas?

ataukah hatimu sekuat baja?

dalam hari yang terkadang berat

pernah aku merasa tersayat

melihatmu pilu menangis tersedu

di sudut pintu

aku mendekatimu

“tak apa”, katamu

aku diam, mengharap tangismu turut teredam

-

pernah pula kau mengeluh

keluh yang tak membuatmu rapuh

keluh yang membawamu semakin tangguh

membangkitkan tekad “aku harus kuat, sepertimu”

***

Banyak kalimat nasehat yang kau sampaikan pada orang-orang, dan kemudian aku menyerapnya sebagai nasehat untukku, Bu… Seperti saat hari perpisahanku di Madrasah Ibtidaiyah, ketika Pak Kepala memintamu memberi sambutan sepatah dua patah kata karena aku, anakmu, telah menjadi peraih NEM tertinggi kala itu. Aku ingat yang kau sampaikan, “untuk menjadi pintar tak cukup dengan belajar. taatlah juga pada orangtua”, kurang lebih itu pesanmu untuk semua yang hadir siang itu. Aku tersanjung, merasa seakan setiap orang mengiyakan dalam hatinya bahwa akulah contoh anak yang taat bagimu.

Atau ketika kau bercerita kepada seseorang tentang bagaimana aku bisa menjadi anak yang betah jauh darimu, padahal Bandung-Boyolali bukan jarak yang dekat. Katamu saat itu, “ikhlaskan anak belajar. kalau kita tak rela anak juga tak akan rela. akhirnya anak hanya akan terbayang-bayang pulang sebagai akibat kita yang juga mengharap-harapnya datang”. Sempat terpikir saat itu, tidakkah ada rasa rindu dalam hatimu pada anakmu ini? Tapi aku buru-buru menepisnya. Kalau tak ada rindu, tak mungkin aku menjadi saksi terucapnya kalimat itu olehmu. Di suatu siang, di kampung halamanmu, tempat aku menimba ilmu.

Hanya sedikit kalimat yang benar-benar kau tujukan padaku sebagai nasehat. Di antaranya, “asal dia muslim” ketika aku bertanya tentang orang macam apa yang akan Ibu setujui tuk jadi suamiku nanti. Tentu dengan kalimat lanjutan “dan kau harus mampu jadi wanita mandiri, tak semua hal kau gantungkan pada suami”. Akan kupegang, Bu. Dan semoga ada waktu yang cukup sampai restu akhirnya kau berikan padaku dan dia –yang belum ku tahu sosoknya-.

Sebenarnya aku yakin sangat sulit untuk menjadi anak yang benar-benar taat. Masa kuliah yang sudah “kelewat batas” jadi satu bukti. Belum lagi hal-hal lain di mana aku masih saja lupa kewajibanku sebagai hamba, beribadah kepada-NYA. Padahal yang sering kau dengungkan adalah tentang shalat sunat, puasa sunat. Ibu, maaf… yang wajib pun masih sering terlewat.

Dan tentang kerelaanku jauh darimu, itupun hanya separuh hati. Tak perlu kiranya kusebut tentang mengapa hanya separuh hati. Biarkan ketidakrelaanku yang separuh tadi sebagai latihanku menempa diri. Menjadi manusia seperti yang kau pesankan, wanita mandiri, yang tangguh sepertimu.

***

katamu berulang:

aku tak mau

kamu, kakak-adikmu,

menjadi manusia yang suka menyombongkan diri

apalah guna kalian pintar

bila angkuh dipelihara

-

bersyukurlah,

sekecil apapun nikmat yang kau rasa

berterimakasihlah, kepada siapapun ia yang berjasa

guru-gurumu…

teman-temanmu…

***

Sebagai guru yang telah cukup lama mengabdikan diri, memang pantas jika kau paham nikmatnya memberi. Sore itu dari ceritamu aku tau, semata izin yang bapak berikan untukmu mengajar bukanlah bekerja mencari uang, tapi memberi. Berbagi ilmu yang kau miliki. Kau sanggupi dan itu terbukti. Dulu, sebelum aku paham alasanmu menjadi guru, aku merasa “sebal”. Hanya untuk beberapa lembar rupiah kau berpayah-payah. Berdagang tentu lebih jelas untungnya.

Tak hanya dalam hal ini aku “menggerutu”. Di suatu pagi suatu hari, tiba-tiba kau membawa masuk sepasang suami istri, berpakaian kusam. Saat itu bapak buru-buru masuk kamar mengambil beberapa lembar pakaian dan aku kau minta membungkus beberapa rantang beras. Jujur, kala itu dalam hatiku bertanya “siapa sii mereka?”, sebal dibuatnya. Kutuang beras dalam kresek dengan terpaksa, tak banyak bertanya sebab kulihat Ibu dan bapak asyik dengan mereka. Baru setelah itu, seakan kau bisa membaca pikiranku, katamu “Alhamdulillah… bisa ngasih walau ga seberapa”. Katamu dengan senyum dan aku diam dengan sebal yang masih tersisa.

Dan banyak cerita lain di mana aku melihat kau tak segan keluarkan uang atau sedikit makanan untuk orang yang bahkan tak kau kenal. Seperti di suatu hari kau ajak sekelompok pengamen masuk rumah bukan untuk bernyanyi. Mereka kau persilakan duduk. Dan aku kau buru-buru untuk menyajikan tiga gelas cendol sisa oleh-oleh dari iparku. Dan setauku, mereka, ketiga pengamen itu belum juga bernyanyi sebelumnya di depan rumah kita. Ah, entah. Sebab apa yang membuatmu mengajak mereka menikmati cendol Elizabeth yang katanya terenak se-Bandung Raya. Tapi di hari itu tak seperti hari di mana kau bawa sepasang suami-istri berbaju kusam. Kali ini aku merasakan nikmatnya. Menjadi saksi tiga pemuda meneguk cendol dengan gembira.

Selanjutnya, sampai kini aku masih berusaha untuk membantu tanpa mengharap ini-itu. Meski masih sering aku menggerutu ketika lelah tak berbayar upah. Duh, Ibu… beritahu aku caramu ringan dalam berderma…

***

Tuhan,

tak setiap hari aku memanjat doa

tapi Kau adalah saksi

ketika di dalam sepi aku mengingat dirinya

dan aku masih menjadi yang gengsi

tuk mengaku rindu padanya

-

Tuhan,

Engkau Sang Maha Penjaga

jagalah Ia, lahir batinnya

panjangkan usia

sampai pada masa

anak  (dari) putra-putrinya menjadi dewasa

Amin

***

_____________________________________________________________

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu. Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun