Mohon tunggu...
Durriyyatun Nawiroh
Durriyyatun Nawiroh Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

sepi dalam ramai, ramai dalam sepi, dan sewajarnya;

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tiga Senandung di Malam Sabtu

10 Mei 2013   23:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:46 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13682032941783684440

(1)

Pernah aku mendoa, doa yang kuulang lagi dan lagi:

“Jika rasaku ini terarah pada seorang yang bukan untukku dirinya ditakdirkan; kumohon, Tuhan... jangan Kau tambahkan... Namun tambahkanlah, jika memang untuknya diriku Engkau takdirkan”

Rasa itu oleh kebanyakan orang disebut cinta, dan aku lebih memilih kata rindu sebagai wakilnya. Sebagaimana sering kuumumkan;

“Telah banyak kutulis sajak tentang rindu. Bukan sebab ku mencinta rindu, namun sebab ku merindu cinta. Dan, bagiku cinta adalah kamu. Ya, aku merindumu.”

(2)

Mungkin dulu, sebelum beberapa bulan lalu, kalimat-kalimat di atas tak lebih dari keisengan seorang Aku merangkai kata. Tak benar-benar jelas pada siapa kalimat-kalimat itu ia tujukan. Hatinya terbagi bukan pada dua tiga orang; lebih dari itu.

Satu per satu pupus, terhapus. Entah menghilang atau memang dihilangkan dari bayangan. Pada akhirnya hanya satu nama tersisa. Dan itu namamu.

Aku mencintaimu... emh, bukan... mungkin Aku mencintaimu.

Ah!!!

“Bagi seorang Aku, cinta dan kagum adalah sesuatu yang masih kabur. Benarkah yang dirasanya adalah cinta atau kagum semata?

Yang ia tahu -setidaknya saat ini-, cinta adalah ketika hati merasa sakit memikirkan yang menurutnya ia cinta. Sakit yang benar-benar ia nikmati. Meski sesekali, air mata mengalir begitu saja dan tiba-tiba ditutupnya dengan tawa atau tersenyum pada wajahnya di cermin. Mengharap temu pada yang ia ingin.”

[caption id="attachment_242753" align="aligncenter" width="499" caption="hati ini seperti malam, memeluk matahari dengan selimut raksasa: memeluk namamu dengan secarik cinta."][/caption]

(3)

Rasa yang (mungkin) bernama cinta ini mungkin bukan rasa yang seharusnya kutumbuhkan. Ya, bisa jadi ini adalah rasa yang salah alamat. Tapi jika itu benar adanya, maka satu-satunya orang yang bersalah adalah diriku sendiri. Aku membiarkan rasa itu tumbuh. Bukan sekadar tumbuh, sebab rasa-rasanya si rasa telah juga mengakar kuat. Akarnya mencengkeram jauh ke dasar hati. Sakit sekali.

Tapi jika adalah suatu kebaikan, alangkah baiknya dirimu yang telah membawaku pada kebaikan ini. Sebab, mengutip perkataan seorang teman:

“Aku mencintaimu bukan karena adanya kamu, tapi bagaimana aku ketika bersamamu”

***

Hanya untukmu, yang menjadikan Sabtuku istimewa. Lagi dan lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun