Kadang kita tidak sadar bahwa kita memang tidak sadar. Tak Salah jika Freud (1910) mengungkap bahwa manusia lebih banyak didorong oleh meskin ketidaksadaran. Karena itu, saya berusaha mengenali diri saya.
Tepatlah juga kiranya jika Socrates dengan adagiumnya gnōthi seauton (kenali diri). Sesekali saya (melihat) sendiri (mungkin bukan saya yang sebenarnya). Ketika saya menduduki posisi tertentu di tempat tertentu dengan kuasa tertentu tentunya.
Saya mengatakan pada orang-orang yang saya kuasai, "Cara nulis, cara ngerjakan, cara kerja, bukan begitu. Paham ndak dengan aturan mainnya. Mengerjakan sesuatu yang bagus. Yang idealis?" Tentu saja juga, ludah saya sampai muncrat-muncrat dan bau busuk. Padahal, jujur 100 saya ndak paham apa-apa. Nol besar. Tong kosong nyaring bunyinya. Lholak-lholok (bahasa Jawanya).
"Maaf, Bapak/Ibu, jika kerja saya kurang bagus," kata orang yang saya marahi. Saya lebih senang dan bangga kalau orang itu nyembah-nyembah pada saya.
Entah mengapa dan mengapa entah, saya kok suka lihat orang-orang yang bisa saya temukan kesalahannya. Asyik gitu. Apalagi kalau orang yang saya marahi, saya umpati, atau saya ludahi, malu-malu dan merah padam. Karena kerjanya gak becus, Rasanya puas. Padahal, saya juga lebih gak becus. Entah penyakit apa itu?
Itulah tipikal idealisme outsider. Ya, idealisme untuk orang lain. Orang lain disuruh, diperintah, diminta, didorong untuk mengerjakan sesuatu yang idealis, intinya tanpa celah sedikitpun. Orang tipe ini sangat membanggakan dirinya, menunjukkan kuasanya pada orang lain (memang dia berkuasa), seolah dia tanpa celah sedikitpun. Padahal, jika diminta mengerjakan sesuatu, tentunya kesulitan.
Simak saja teman Anda, Saudara Anda, atau siapa saja yang bertipikal model begitu, model yang suka mencari kesalahan orang lain. Silakan cek karyanya, silakan cek hasil kerjanya, silakan cek hasil kepemimpinannya. Adakah? Mengapa? karena kerjanya hanya "mengumpati" hasil kerja orang lain. Dia sibuk untuk itu dan tak sempat bekerja. Inilah gejala awal lunatik (gila), mulai suka mencari kesalahan orang lain, tapi lupa dengan kesalahan sendiri yang menggunung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H