Menjadi Caleg dengan harapan menjadi anggota parlemen, merupakan jalan pintas untuk mengangkat " harkat dan martabat", Entah caranya... begitu pula kalo terpilih, halal haram yang penting "harkat dan martabat" naik. Hampir di semua sudut jalan, rakyat disuguhi dengan berbagai jargon politik yang bombastis.....Siap Mengabdi Untuk Rakyat, Suara Rakyat Adalah Suara Partai..... ( meskipun rakyat tau bahwa, al quraan di embatnya pula), sebuah penghinaan terhadap rakyat. Dan masih banyak lagi kalimat suci yang tertulis di baliho para caleg yang sangat berbeda dengan perilakunya.
Daya tarik menjadi pejabat parlemen memang melebihi batas etika dan norma agama, Untuk "menjadi" apapun yang harus dilakukan, belum lagi kalo sudah menjadi akan semakin menjadi-jadi. Bukan berarti anggota palemen adalah barang haram, justru teramat mulia untuk sebuah pengabdian. Karena kemuliaanyalah maka dibutuhkan pribadi yang mulia pula untuk menjadi bagian penting dari proses penyelenggaraan bernegara. Kemuliaan itu tentu bisa di ukur, pengetahuan yang cukup untuk melaksanakan tugas-tugas parlemen, jejak langkah yang tak pernah terkotori oleh isyu-isyu moral, termasuk prilaku korup, serta pikiran yang jernih untuk melaksanakan tugas, kata Pramudya Ananta Toer " adillah mulai dari pikiran".
Berkaca dari pengalam yang berulang-ulang soal pemilihan umum, masyarakat di suguhi dengan berbagai macam perilaku tak terpuji dari para politisi, alih-alih untuk menjadikan pemilu sebagai pendidikan yang baik untuk membangun demokrasi yang lebih berkualitas, yang terjadi justru pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokratis. Bagaimana mungkin bangunan demokrasi bisa kokoh kalo suara rakyat di perjual belikan, aturan formal soal pemilihan umum di labrak begitu saja, kalo punya hubungan dengan penguasa lokal maka pemaksaan terhadap pemilih begitu terasa. Menjadi naif rasanya mempercayakan nasib orang banyak kepada anggota parlemen.
Pada akhirnya, pemilu yang akan di selenggarakan menjadi sia-sia saja, hanyalah untuk memenuhi hasrat berkuasa para elite, lalu kemudian para elit mengumpulkan rente sebanyak-banyaknya. Menjadi sia-sia bagi rakyat kebanyakan karena sudah tiga kali dilaksanakan secara langsung tetap saja banjir menjadi persoalan yang utama bagi rakyat di musim penghujan, tetap saja rakyat kewalahan membeli kebutuhan pokoknya, tetap saja rakyat meninggal karena sakit yang di deritanya tak kunjung di obati, lalu bagaimana respon para elit politik melihat itu, lihatlah bagaimana pusat pengembangan olahraga di rampok secara berjamaah, justru terjadi pada saat olah raga nasional hancur lebur, bagaimana impor daging yang di kuasai oleh kartel tertentu di tengah rakyat memimpikan makan daging yang lezat sekalipun itu di waktu idul adha. Bagaimana Migas di atur sedemikian rupa dengan melibatkan banyak pihak agar uang setoran masuk kekantong para elit. Lihatla para elit yang gemar menyimpan uang dollar di tengah keterpurukan rupiah,...dan masih banyak lagi
Jadi? Sekali lagi "PEMILU HANYALAH UNTUK MEREKA PARA BANDIT".......!!!!!!!!!!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H