"Ibuuuu koq masaknya ini aja?!?"
"Apa sih yang ini aja?" Sahut Ibu dari arah toko depan rumah
"Sayur semuaaa, aku bikin telur ceplok aja ya Buuu?"
"Nggak," Ibu tergopoh-gopoh masuk ke belakang menghampiri anaknya yang rewel
"Kamu itu, udah SMP masih aja rewel. Apanya yang sayur semua? Itu di lodeh kan ada tahunya, trus itu kalau mau kering-keringnya kan ada kerupuk... Sama itu tempe kecap enaakk. Kemarin dan tadi pagi kan baru makan telur, masa telur lagi? Bisulan ntar kamu..."
"Ah, bilang aja Ibu pelit. Ibu..uu.. Ibu kan tahu aku ga suka sayuurr."
"Itu bukan sayur nak..." Jelas Ibu habis kesabaran "Tempe dan tahu itu sama proteinnya dengan daging...."
"Ah, ya udah, aku makannya ntar aja di rumah Nia. Biasa kalo kesana kan diajak makan sekalian."
"Gina." Tegur Ibu agak keras. Tapi Gina sudah beranjak meninggalkan meja makan masuk ke kamar. Ibu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Gina yang meninggalkan meja tanpa menutup kembali makanannya. Ibu tak punya waktu untuk berdebat lagi. Ia harus segera kembali menjaga tokonya, tentu tak lupa ibu menutup kembali makanan di meja makan.
20menit kemudian Gina keluar ke toko sudah berganti pakaian dan membawa tas selempangnya.
"Aku pergi dulu Bu." Pamit Gina sambil langsung keluar tanpa melihat ke arah Ibunya.
"Ya." Hanya itu sahutan yang sempat diberikan Ibu tanpa sempat bertanya jam berapa Gina akan pulang.
"Enaaak... Thanx ya Ni." Puji Gina.
"Hahaha iya, sama-sama... Habis, aku senang coba masakan baru tapi bingung siapa yang suruh habisin... Hehehe."
"Hampir selalu enak koq Ni.. Apalagi drumstick hari ini..." Jawab Gina jujur.
"Ya udah, ayo buat pe-er..." Ajak Nia.
"Habis buat pe-er kita jalan yuk..." Ajak Gina sambil beranjak menuju kamar Nia.
"Oke... eh, ga bisa deng, aku kan ada les piano hari ini..."
"Yaahh..." Sesal Gina
"Hahaha lusa deh... lusa aku kosong..."
"Ya deh... Cuma sebenernya lagi males pulang cepet nih..." Adu Gina
"Lho, kenapa? Ngambek sama siapaa hayo....?"
"Ah, ngga usah dibahas. Ayo, mulai aja bikin pe-ernya." Nia cuma bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala dengan kelakuan temannya. Dia sudah tahu, Gina kurang bisa akrab dengan keluarga. Apalagi tadi Gina bilang males pulang cepat, berarti masalahnya dengan orang rumah...
"Ibu." Sapa Gina sepulangnya ke rumah.
"Dari mana kamu?" Sentak Ibu.
"Rumah Nia." Jawab Gina agak keder.
"Terus?"
"Ga ada, Gina di rumah Nia aja."
"Tadi Ibu telpon, Nia bilang kamu pulang dari jam 6 tadi."
"Kenapa Ibu telpon Nia? Gina kan bawa handphone..."
"Nah, itu, Ibu juga mau tanya, kenapa Ibu telpon hp kamu ga diangkat?"
"Eh? Gina ga berasa," Cepat-cepat Gina merogoh tasnya dan melihat layar hp-nya. Benar, ada misscall dari Ibu 3x. "Maaf Bu, Gina gak tau..."
"Masa bisa gak tau?" Cecar Ibu.
"Iya Bu, Gina silent soalnya..."
"Ngapain punya hp kalau gak bisa dihubungi? Mending balikin hp-nya ke Ibu." Potong ibu galak.
"Nggak gitu Bu... Soalnya tadi Gina kan di jalan... ya Gina silent biar aman..."
"Nah, terus, kemana kamu? Masa dari rumah Nia kesini sampe 2jam?"
"Gina... jalan kaki terus mampir sebentar ke toko buku... Lagipula gak 2jam ah Bu, ini baru ½ 8....."
"Emp, pinter ya, tadi bilang ga kemana-mana, sekarang bilang mampir toko buku. Masih bisa bilang sekarang belum 2 jam. Waktu di toko buku kenapa ga telpon Ibu balik? Kalau di-silent juga kan masih getar..."
"Ibu." Gantian Gina yang memotong dengan kesal. "Aku bener-bener ga berasa Bu... Dan INI memang belum jam 8 kan?! Lagipula ku sudah minta maaf..." Suara Gina makin meninggi. Ibu langsung terdiam sambil membelalak. Shock.
Gina memanfaatkan situasi ini untuk langsung masuk ke kamar.
"Ayah." Sapa Gina melihat ayahnya di kamar. Ya, kamar Gina memang hanya bisa dimasuki dari kamar orang tuanya, karena kamar Gina hanya ruang yang terbentuk dari sekat tripleks di dalam kamar orangtuanya. Yang dimaksud kamar orangtuanya pun sebenarnya ½ ruangan di sisi kanan rumah yang difungsikan juga untuk ruang tv
"Baru pulang?" Sapa balik Ayah.
"Ya, Ayah."
"Sudah makan?"
"Sudah, Ayah?"
"Sudah..." dan ayahnya pun kembali menekuni koran hari itu. Begitulah ayah Gina, pendiam dan tahunya semua beres. Pokoknya tiap hari pergi kerja sebagai buruh pabrik, pagi jam 6 sudah harus berangkat dan malam jam 7 baru sampai rumah, akhir bulan bawa gaji, anak-anak bisa sekolah, titik.
"Kakak," Sambut adiknya di kamar mereka.
"Hmp." Balas Gina
BRAK suara pintu dibuka kasar. Tiba-tiba Ibu muncul di kamar.
"Sudah makan belum?" Tanya Ibu ketus.
"Sudah."
"Kalau sudah harusnya kamu bukan ke kamar. Ke meja makan sana. Makanannya masukkan ke kulkas. Jadi anak koq gak pengertian." Selesai mengeluarkan perintah dan unek-uneknya ibu langsung berbalik dan pergi ke belakang. Gina hanya sempat menaruh tasnya lalu segera mengikuti Ibu. Sebenarnya Gina juga merasa bersalah karena lupa tak menelpon untuk bilang tidak akan makan malam di rumah, tapi Gina lebih marah karena Ibu tak percaya padanya, juga karena Ibu berteriak-teriak saat bertanya padanya.
"Ibu selalu begitu," Adu Gina pada Nia di kelas saat jam kosong. "Teriak-teriak kalau bicara, gak mau dengar pendapat anak-anaknya. Adik masih mending, dia pintar dan pendiam seperti ayah, jadi ibu tak banyak memarahinya. Tapi aku? Selalu saja ada yang gak bener, cuma karena aku kakak, bukan berarti aku bisa semua kan? Tapi Ibu selalu bilang, kamu itu sudah SMP... kamu itu kakak.... harusnya begini... harusnya begitu... Harusnya pengertian... Harusnya, harusnya, harusnya, AAAAHHHH"
"Yah... memang bukan salahmu kalau tidak dengar hp... tapi ibumu juga benar... dia pasti kuatir kamu ga bisa dihubungi... Dia berteriak karena lelah dan stres... Kamu juga gitu kan? Hehehe" Hibur Nia
"He? Gitu ya?"
"Eh, ga berasa ya? Hehehe tadi aja kamu cerita sambil teriak-teriak gitu.... hehehe"
"Aah, Nia... Iya deh.... tadi itu kebawa emosi Ni...."
"Lah itu makanya... Kamu aja sama ibumu bisa es-mos-si gitu, apalagi ibumu, lebih banyak pikiran kan? Itu karena dia banyak berharap ma kamu..."
"Nah, itu Ni, kenapa dia selalu mengharap aku bisa seperti ibu ketika seumurnya? Aku ini aku... Aku ngerasa Ibu ga gitu sama adikku..."
"Ya... mungkin karena itu ‘adik'... hehehe udah lah... pokoknya kalau Ibumu gitu lagi, dengerin aja kata-katanya... bukan nada bicaranya... kalau memang baik, ya berarti baik... hehehe"
"Huu... Ya deh Ni... Aku coba lakuin ntar..." Janji Gina.
"Ibu." Sapa Gina sepulang sekolah
"Hmp." Hanya itu balasan Ibu. Gina tak peduli. Malah bersyukur gak dicereweti karena kebetulan ada pembeli di toko. Ketika sampai di meja makan, Gina mengeluh lagi dalam hati. "Ah ibuuuu koq masaknya gini lagiiii." Tapi mau protes, Gina tak enak hati juga. Gina duduk lemas di meja makan, memandangi oseng kacang panjang, kerupuk sedari kemarin, dan orak arik wortel sawi putih. Akhirnya Gina mengambil sedikit nasi dan makan dengan lauk kerupuk. Uang jajannya 2 hari kemarin sudah dipakainya untuk beli bakso makan malam kemarin, hari ini uangnya belum cukup untuk membeli apapun yang bisa mengenyangkan, dan Gina merasa tak enak hati juga kalau tiap ke rumah Nia belum makan... Apalagi kemarin Ibu baru marah, yah hari ini Gina coba berbaik-baiklah...
Selesai makan, Gina tak lupa membereskan meja, baru masuk ke kamar. Adiknya masih terlelap dalam tidur siangnya. Baru saja hendak merebahkan tubuh, terdengar Ibu berteriak memanggilnya.
"Apa Bu?" Sahut Gina sesampainya di depan toko.
"Jaga sebentar, Ibu baru sadar persediaan ember yang sedang sudah habis, juga sapu lidi dan korek api. Ibu mau membelinya sekarang."
"Ya, Bu." Gina pun duduk di toko. Ibu sudah berangkat. Gina bosan tapi tak bisa apa-apa. Begitulah toko kelontong kecil. Jarang ramainya... Terpikir oleh Gina untuk lari ke kamar mengambil hp-nya, tapi Gina khawatir ketahuan Ibu dan agak malas juga... Tiba-tiba ada yang datang.
"Neng, ada sisir?"
"Ada Bu, mau yang mana? Besar atau kecil? Rapat atau jarang? Plastik atau kayu?" Tawar Gina
"Yang itu Neng, Yang plastik besar." Gina mengambilkannya.
"Ini 5000 Bu."
"Yang itu berapa?"
"Eng... berapa ya?" Gina mencari-cari label harga di kotak sisir yang satu itu tapi tak dapat menemukannya.
"Eng... gak ada harganya Bu... maaf..."
"Yah, Eneng, saya lebih suka yang itu... bentuknya jari-jari modelnya panjang... Kalo yang 5000 ini model pegangannya sulit..."
"Eng... kayanya sama deh Bu." Putus Gina.
"Bener nih Neng?"
"Iya lah Bu. Sama aja, ntar kalo ternyata salah ya, gampang besok-besok kalo Ibu mampir lagi..."
"Ya udah Neng, saya udah butuh sih...
Ketika Ibu pulang Gina segera membantu Ibu menata barang-barang yang baru dibeli ke tempatnya.
"Bu, tadi ada yang beli sisir yang itu..." Tunjuk Gina.
"Oh."
"Disitu gak ada harganya Bu, Gina samain aja sama yang itu..."
"Eh? Jadi berapa?"
"5000."
"EH?" Suara Ibu mulai meninggi. "Yang itu? Yang plastik besar panjang itu?"
"I, iya Bu"
"Gina... yang itu kan 6500 Ginaaaa"
"Eng, Gina udah bilang koq Bu, kalau salah besok-besok kalau dia dateng lagi baru dibahas lagi...."
"Mana bisa begitu... Kalau lebih murah, kita bisa kasih dia kembalian, lha ini lebih mahal masa dia mau tambah?!?" Dada Ibu naik turun cepat. "Emang siapa yang beli?"
"Eng, Gina juga gak tau Bu, cuma Gina pernah lihat dia beli bedak disini juga... Kalau gak salah pembantu blok depan situ Bu..."
"Haduuuhhh... Kamu itu suruh jaga adaaa aja."
"Ya, Ibu juga... gak ada harganya disitu Bu..."
"Ya kalau gak tau mendingan gak jadi jual... Hhhh, lagipula, kamu kan bisa lihat modalnya di catatan pembelian Ibu... Kamu aja yang males...."
Gina jadi kesal. Dengan muka ditekuk Gina segera lari ke kamar. Antara merasa kesal sekaligus menyesal karena tidak coba melihat ke catatan pembelian dulu, padahal saat itu toko sepi. Gina jadi merasa dirinya benar anak yang tak berguna. Tak bisa melakukan sesuatu dengan benar. Tak bisa membahagiakan Ibu. Gina jadi minder. Gina menangis pelan di tempat tidurnya.
"Kakak?" Adik Gina terbangun, tapi Gina tak menjawab atau menoleh, dia berusaha menahan tangisnya dan berpura-pura tidur. Untung adiknya tak memeriksa, melainkan langsung bangun keluar kamar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H