Mohon tunggu...
jandri pattinama
jandri pattinama Mohon Tunggu... -

muda, beda dan berbahaya...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kami Meracuni Bule Itu

14 Mei 2011   21:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:41 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tiba di Manado pada tanggal 10 November 1999. Saat itu saya berusia 10 tahun 10 bulan. kami sekeluarga harus meninggalkan Ternate karena konflik yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Perasaan senang karena tiba di tempat yang baru memenuhi diri saya. Saya tinggal di rumah saudara di daerah Bumi Beringin. Di sekitar perumahan pejabat yang sangat rindang karena banyak pohon besar, aspalnya mulus dan bebas angkot. Bumi Beringin pun menjadi lokasi bermain yang sangat ideal dan menyenangkan. di sore hari jalan raya berubah menjadi lapangan bola, meskipun permainan harus terhenti beberapa saat jika mobil pejabat lewat.  Di bumi Beringin pertama kalinya saya menyandang gelar "pengungsi" dan teman-teman memanggil saya dengan sebutan "Ternate".

Sekitar satu bulan kemudian ayah mendaftarkan kami sekeluarga di lokasi pengungsian yang dulunya merupakan lokasi Diklat BP7  di daerah Pakowa yang belakangan dikenal dengan nama eks Diklat BP7 atau Diklat saja. Ayah, Ibu dan ketiga adik saya pindah ke Diklat, sementara saya karena alasan jarak yang lebih dekat ke sekolah, tetap tinggal di Bumi Beringin. Waktu itu saya bersekolah di SD Katolik XIV Santo Paulus di Jl. 17 Agustus. Biasanya saya datang ke Diklat pada akhir pekan untuk bermain bersama teman-teman senasib. Di Diklat juga saya bisa bertemu teman-teman dari SD yang lama di Ternate. Saya merasa sangat senang seakan tinggal di dua dunia yang berbeda. Bumi beringin untuk teman baru, Diklat untuk teman lama.

Selepas Tahun baru saya akhirnya masuk juga ke Diklat agar saya bisa lebih diawasi Ibu karena sedang dalam persiapan Ebtanas. Saya pun menjadi pengungsi sepenuhnya karena telah tinggal di Diklat.

ada dua hal yang paling berkesan saat tinggal di Diklat, Pertama adalah sumbangan dan bantuan yang tak pernah berhenti (terima kasih kepada para pemberi sumbangan, Tuhan memberkati kalian ). Yang kedua adalah begitu banyak orang asing yang datang mengunjungi kami, mulai dari pendeta, penginjil, dokter, wartawan,penyanyi gereja, mahasiswa hingga aktivis kemanusiaan yang mengajari kami bernyanyi lagu bahasa Inggris sambil menggambari wajah kami dengan cat air. Mungkin cat air di wajah membuat kami lebih ceria. Kami semua sangat senang dan bersemangat jika ada "bule" yang datang, karena mereka membawa kegembiraan dan tentu saja makanan ringan buatan negara mereka yang sedap rasanya. Di Diklat saya mengenal oganisasi-organisasi kemanusiaan seperti Dokter Lintas Batas (Medecins Sans Frontieres) dan IRC (International Rescuee Committee)

selain bule ada juga mahasiswa Teologia dari Filipina. Mereka muda dan cantik-cantik. Sayang saya masih kecil saat itu. Cewek-cewek Filipina ini mengajak kami berdoa bersama. Salah satu dari mereka bertanya "do you read your bible everiday?"

"yes, yes, yes" itu saja yang bisa kami jawab, dan mereka pun tersenyum.

Biasanya orang asing datang pagi hari dan pulang pada sore hari dan baru akan kembali keesokan harinya. Itu pun jika dia punya urusan dan harus berlama lama dengan para pengungsi. Ada juga tipe "datang dan pergi" seperti gadis-gadis  Teologia Filipina, mereka hanya datang pada malam hari, mendoakan kami dan setelah itu pergi.

Pada suatu ketika sekitar tahun 2001 teman saya datang ke barak kami dan memberi tahu bahwa ada bule yang datang, seumuran dengan kita.

"dia pe nama Li"

Li, nama bule macam apa itu? apakah dia ada keturunan cina? saya pun keluar dan bertemu dengan "Li"

"Li" adalah anak bule kedua yang datang ke Diklat, sebelumnya ada anak bernama Jonathan yang berasal dari Amerika Serikat. Jonathan termasuk tipe "datang dan pergi". Berbeda dengan jonathan yang malu-malu, "Li" bisa digolongkan aktif bahkan hiperaktif, terutama saat menjahili anak-anak pengungsi. Jika "Li" menjahili kami, biasanya akan dibalas dengan hadiah jari tengah. Isyarat jari tengah diajarkan oleh para pemuda yang sudah lebih paham budaya "keren" orang bule.

"Li" tinggal di Diklat bersama Ibu dan saudara-saudaranya dari Australia. Mereka berbaur dengan pengungsi lainnya. Ibunya Ester adalah seorang Dokter atau Perawat (saya sudah lupa) yang merawat dan mengobati orang-orang sakit di Diklat. Mereka 5 bersaudara, yang tertua bernama Wendy, kemudian Andrew, "Li" dan dua adik perempuan (kalau tidak salah bernama Maryam dan Emy). Setelah beberapa hari bergaul baru saya tahu kalau namanya Leigh dan bukan "Li". Saya membaca namanya dari kaos merah lusuh bermerek ECKO yang sering dipakainya. Di bagian belakang kaos terdapat pesan-pesan dan tandatangan dari kawan-kawanya di Australia. semacam ucapan perpisahan sebelum Leigh berkunjung ke Indonesia.

Kelima bersaudara terpecah pergaulannya di Diklat sesuai usia dan jenis kelamin masing-masing. Wendy bahkan sempat berpacaran dengan salah satu pemuda Diklat (yang tentu saja menghebohkan seisi Diklat).  Karena Leigh seumuran dengan saya maka Leigh tak punya pilihan lain selain mengikuti petualangan kami.

Saat itu kami hanya punya tiga agenda utama dalam hidup. Yang pertama pergi ke sekolah, kedua pergi beribadah dan yang terakhir adalah bermain. Seorang anak di Diklat tak akan pernah kehilangan semangat untuk bermain karena ada ratusan anak lain yang selalu ceria, jauh dari anggapan kebanyakan orang bahwa anak pengungsi selalu stres dan tertekan. Leigh mulai ikut permainan standar seperti sepakbola. dia juga bermain Play Station (ya! PS! banyak pengungsi di Diklat yang memiliki PS, saya salah satunya,hehe) Leigh sangat berguna sebagai penerjemah saat bermain game semacam Harvest Moon. saat itu kosakata bahasa inggris saya masih kurang dan saya belum mengenal Game Guide sehingga bimbingan Leigh sangat terasa manfaatnya. Ada satu kejadian lucu saat bermain PS. Waktu itu kami bermain game Tenchu 2 bersama Leigh. Seperti biasa setelah memilih karakter ninja, kita harus memilih senjata yang akan digunakan dalam pertempuran. Leigh menyarankan untuk memilih senjata yang bisa menyebabkan musuh buta untuk sementara, saya tidak setuju karena senjata itu tidak terlalu berguna karena tidak langsung menghabisi musuh. percakapannya kira-kira seperti ini :

"Butanya hanya sementara, Temporary Blind!, Temporary! sementara!"  saya berkata sok tahu..

"Hey! saya tahu temporary itu sementara, kamu yang bule atau saya"

hahaha...Leigh tersinggung dan saya senang!

Setelah memainkan permainan normal yang masih bisa ditemui di negara asalnya, Kami mengajak Leigh untuk ikut dalam permainan anak pengungsi yang lebih menantang. permainan yang sering menyulut perselisihan dengan warga sekitar. "permainan" MENCURI BUAH (jangan ditiru)

Permainan ini biasa kami lakukan setelah jam pulang sekolah. Biasanya kami bergerombol 5 hingga 10 orang. Ada tiga komoditi utama yang menjadi sasaran kami yaitu Mangga, Jambu Biji dan Jamblang. Selain tiga komoditi utama tersebut, tersedia juga buah Kersen (Muntingia Calabura) di samping tempat pengungsian. Kersen adalah pilihan terakhir jika tak ada lagi buah yang bisa "dipanen". Pohon-pohon incaran kami adalah pohon-pohon yang ada di tanah yang terlantar di sekitar diklat, bukan pohon di halaman depan rumah warga. Selain beresiko tinggi karena biasanya ada anjing yang menjaga, mencuri dari pohon yang terawat akan menjatuhkan martabat para pengungsi,hehehe. Jika kami benar-benar ingin buah  dari pohon di halaman rumah orang, kami akan meminta dengan modal tampang memelas. Biasanya 80% pemilik akan luluh dan mengijinkan kami untuk mengambil buah yang kami minta.

Leigh kami ajak menggasak pohon favorit kami yaitu pohon Jamblang yang terletak di Taman Budaya Manado yang sepi. Karena penjaga Taman Budaya jarang patroli, kami bisa memanen buah Jamblang secara rutin (sekali lagi jangan ditiru). Leigh ikut naik ke atas pohon jamblang meskipun tak selincah "monyet-monyet" Diklat. Jamblang biasanya kami nikmati di atas pohon namun kadang sisanya kami bawa pulang sebagai oleh-oleh petualangan.

Leigh dan keluarganya adalah orang-orang asing yang paling lama tinggal di tempat pengungsian. Saya yakin Leigh bisa memahami tabiat kami selama dia tinggal bersama kami. Leigh juga bisa melihat dan mempelajari satu sisi kehidupan Indonesia yang tidak bisa di temukan dari referensi manapun. Banyak peneliti dan wartawan yang datang untuk melakukan kajian terhadap kami di Diklat tapi Leigh akan lebih paham keadaan kami dibanding para peneliti itu karena dia hidup bersama kami. Sebenarnya banyak hal-hal baik yang kami lakukan bersama Leigh, tidak hanya mencuri Jamblang. Leigh pernah ikut Retreat Remaja Pengungsi di Sekolah Alkitab Langowan yang diselenggarakan ABBALOVE Ministry. Hanya saja mencuri Jamblang adalah hal yang paling berkesan bagi saya (Bule naik pohon Jamblang, tak ada yang lebih lucu dari itu). Saya senang karena saya dan teman-teman pengungsi bisa memperkenalkan Indonesia dengan cara kami sendiri, dengan segala keterbatasan dan kekurangan kami saat itu. Saya pun menobatkan Diklat Ex BP7 Manado sebagai Tempat pengungsian "Paling Indonesia"

MERDEKA!

Sebagai bonus saya sertakan link Facebook beberapa orang yang pernah tinggal di Diklat Ex BP7 Manado

1. Leigh Scarborough

http://www.facebook.com/leigh.scarborough

2. Andrew Scarborough

http://www.facebook.com/profile.php?id=564040906

3. Richard Waery

http://www.facebook.com/richarded.waery

4. Adrian Waery

http://www.facebook.com/adrian.couburne

5. Andrians Tengku Ali

http://www.facebook.com/profile.php?id=100002327514225

6. Ville Mafor

http://www.facebook.com/profile.php?id=100000620379278

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun