Mohon tunggu...
Ana Pujiastuti
Ana Pujiastuti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

[sederhana] [semangat] [pemimpi] [pantang menyerah] [and make it happen]

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Rejeki dalam Bentuk yang Berbeda

8 Mei 2014   21:00 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:43 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disuatu waktu teman yang memiliki keterbatasan penglihatan telepon, dan seperti biasa cerita kesana dan kemari. Singkat kata dia baru menyelesaikan tesisnya dan ingin segera wisuda di beberapa bulan kedepan. Selain itu dia juga nyambi kerja onlen, di sebuah web jual beli onlen sebagai pengecek pengunjung dan menawarkan iklan produk kepada mereka [red:visitors]. Dengan keterbatasan penglihatan, ia berjuang dan berusaha semaksimal mungkin apa yang bisa ia lakukan. Tanpa mengeluh dan mengeluh. Berbeda denganku yang hidupnya seringkali mengeluh.

#Sosok temanku ini menginspirasiku dalam menyelesaikan masalah tanpa  keluhan, namun dengan tindakan. Ketenangan yang terpancar dari jiwanya mengajarkanku arti lapang dada, berdamai dengan takdir, tawakal dan tak kenal menyerah. Keterbatasan yang ia alami bukanlah menjadi penghalang baginya untuk menjadi orang yang sukses. Cibiran dan cemooh menempa pribadinya hingga kini menjadi orang yang berprinsip dan mempunyai arah hidup yang bikin orang angkat jempol.

Disudut lain, ada orang yang baik dan perhatian. Dia sepantaran dengan omku tepatnya. Seringkali orang tersebut ngambilin motor kala aku mau pulang sekolah. Bahkan pernah juga sewaktu  pake motor tua, dia nge-slah­ [red:hidupin motor] lalu dikasih ke aku.  Sempat merasa ada yang aneh dengan keadaan ini, lantaran dia sangat baik denganku. Berbeda tatkala perlakuannya dengan teman lain.

#sosok  orang yang sepantaran dengan omku ini mengajarkan aku akan makna gemati atau kasih sayang yang tulus. Dan semakin kesini menyadari, kalau kita gemati dengan orang itu tidak bisa kita tentukan apakah  dengan si anu atau si ini. Namun hati kecil kita dan naluri kitalah yang memilihnya.

Awalnya ga’ sengaja jadi guru les, lantaran dimintain tolong temen untuk menggantikannya. Ya perlahan aku menjalani hingga kini lumayan sudah beberapa “mantan” muridku. Dalam pengajarannyapun aku biasa, bahkan ga’ istimewa. Namun satu hal aku memposisikan diri sebagai temannya. Jadi mereka bebas bertanya apapun diluar pelajaran yang kita pelajari. Malah lebih condong aku sebagai teman sharing-nya.  Tanpa aku memulainya, mereka sudah nerocos dengan unek2 ataupun pertanyaan2 yang ada di benak mereka. Dari masing2 murid beragam karakternya, begitu pula beragam penanganannya. Namun satu hal kesamaan mereka, ketika aku pamit untuk menyudahi les, mereka sedih dan ga’ bisa berkata2. Terlihat dari sorot matanya, ingin nangis namun malu. Kalau boleh meminjam istilah anak muda jaman sekarang, mereka galau. Lantaran ga’ akan ketemu aku lagi. “Ah jangan berlebihan nok sedihnya,  walau kita sudah ga’ belajar bareng kamu bisa ke rumahku ataupun sebaliknya kan”, ujarku. Sempat juga dulu selepas aku pemitan untuk menyudahi les lantaran yang bersangkutan sudah mampu belajar sendiri dan mandiri,  ia  sms memastikan apakah aku sudah sampai ke rumah? seraya sms yang berbungkus nada kekhawatiran.

#respon murid2ku mengajarkanku arti ketulusan. Ketulusan yang berasal dari lubuk hati terdalamnya, ga’ dibuat2 pula. Rasa kehilangan muncul lantaran intensitas yang lumayan sering dalam jangka waktu rata2 1 tahun belakangan ini. Mungkin mereka merasakan akan kehilangan sosok kakak tempatnya sharing. Yang ketika sharing ga’ ada malu ataupun takut, ga’ setakut jika sharing dengan keluarganya.

Teringat akhir 2010 silam, dipertemukan dengan anak kelas 1 SD di barak pengungsian letusan Gunung Merapi. Komunikasi dengan anak tersebut dan keluarganyapun sampai sekarang masih terjalin baik., bahkan sangat baik.  Ketika akhir2 ini sering ada berita tentang Merapi ataupun ketika Merapi mengeluarkan letusan2 kecil hingga setatusnya naik menjadi waspada, hati kecil ini juga merasakan kekhawatiran. Ga’ tenang, seolah ada rasa yang tertinggal disana. Ada keluarga disana. Walau kisah pertemuan dengan keluarga mereka, tidak lebih dari 1 jam di posko anak2 di barak pengungsian. Namun komunikasi dan sambutan hangat bahkan sangat hangat dari keluarganya membuatku sangat dihargai. Pertemuan singkat tersebut ternyata mengena bagi anak kelas 1 SD itu.  Ia adalah Ima. Dalam setiap telepon ataupun sms-nya, ia selalu menanyakan kapan aku bisa main kerumahnya lagi? Katanya ia kangen.

#kala melihat Merapi, hati ini gamang. Ingin rasanya terbang kesana, berjumpa dengan keluarga baru-ku. Keluarga yang sangat baiiiiiiik, yang menunggu kehadiranku. Dulu Ima pernah telepon dan berkata, “kak, besuk kalau Merapi meletus [lagi], berarti aku bisa ketemu kakak ya?”

Sungguh kado yang tak ternilai yang Allah berikan untuk-ku. Orang2 yang asing, yang sejatinya kita tak mengenal secara dalam karakter maupun kebiasaannya, namun  sudah menganggap kita yang bukan siapa2-nya menjadi bagian keluarganya dan menanti kehadiran kita, sungguh nikmat yang tak dapat diungkapkan dengan kata.

Kisah2 diatas sebagai upaya diri untuk menghindar dari rasa kufur yang sangat tipis jaraknya. Sedih dan galau berkepanjangan lantaran terlalu fokus dengan tertutupnya 1 pintu rejeki, namun lupa kalau tanpa disadari Tuhan memberikan berbagai macam pintu2 rejeki terbuka  yang diperuntukkan untuk kita. Salah satunya mendapatkan perlakuan sangat baik dari orang2 yang belum mengenal kita secara utuhnya. Nikmat lain yang kadang tanpa kita sadari ketika kehadiran kita dirindukan dan dinantikan oleh orang lain. Kadang kita merasa apa yang dilakukan untuk orang lain hanyalah biasa, sewajarnya saja. Namun tidak sedikit yang beranggapan apa yang kita lakukan adalah luar biasa baginya. Bermanfaat sekali dalam kehidupannya. Hingga tak dapat dipungkiri kita sudah dianggap menjadi bagian dari keluarga besarnya. Subhanallah..

#semoga bermanfaat

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun