Kedua, seorang tersebut harus berupaya untuk memperlakukan istri-istrinya dengan adil. Dalam artian, setiap istri harus diperlakukan dengan baik dan dipenuhi hak-hak yang timbul karena perkawinan maupun hak-hak lainnya. Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya pada surah An-Nisa ayat 3, sebenarnya asas perkawinan yang dianut oleh agama Islam adalah asas monogami tidak mutlak atau monogami terbuka yang berarti bahwa seseorang -suami- dapat mempunyai lebih dari seorang istri, bila dikehendaki olehnya. Sejalan dengan semangat ini, pemerintah sebagai ulil amri membuat suatu regulasi yang mengatur mengenai alasan, syarat, dan prosedur poligami agar terjaminnya kepastian hukum bagi para pihak yang ada di dalamnya.
Status hukum poligami sendiri adalah mubah. Dalam artian sebagai alternatif untuk beristri hanya sampai empat orang istri.[9] Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 55 ayat (1) KHI yang menyebutkan,
“Beristri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri.”
Dalam pelaksanaannya, seseorang tidak bisa dengan semau hatinya melakukan poligami. Terdapat prosedur yang harus dilaksanakan, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam,
“Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama –bagi yang beragama islam-.”
Dasar pemberian izin tersebut diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (diperkuat dengan Pasal 57 KHI) yang menyebutkan,
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Menurut Zainuddin Ali, alasan yang diatur dalam pasal a quo mengacu pada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan). Dan apabila masalah tersebut menimpa rumah tangga seseorang maka dapat dikatakan bahwa rumah tangga tersebut tidak dapat menciptakan keluarga bahagia (mawadah dan rahmah).