Bagi orang Islam, ketika ia mengkonsumsumsi barang halal maka itu akan lebih menjamin kesehatan daripada memakan barang yang tidak jelas kehalalannya apalagi yang terbukti haram. Keyakinan seperti ini menjadi sebuah keharusan bagi setiap orang yang menyatakan beriman.
Alloh SWT berfirman : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah setan karena setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 168). Tentu ketika Alloh SWT memerintahkan yang demikian, Alloh bermaksud menjaga manusia dari kerusakan yang diakibatkan oleh makanan haram.
Dr. S.Liebig, salah seorang professor ilmu gizi di Inggris menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa memakan daging binatang buas akan menyebabkan seseorang menjadi lebih pemarah dan emosional dari sebelumnya (sumber : Diterjemahkan dari " الإعجاز العلمي في الإسلام والسنة النبوية " karya Muhammad Kamil ‘Abdush Shomad, oleh www.alsofwah.or.id/). Dalam Islam binatang buas diharamkan untuk dimakan.
Begitu pula tentang babi, babi mengandung cacing pita (Taenia solium) yang sangat berbahaya dan juga Lemak babi dengan kolesterol paling tinggi dibandingkan dengan lemak hewan lainnya.
Sangat jelas dan meyakinkan bahwa ketetapan Alloh tentang halal dan haram pasti berkaitan dengan kemaslahatan manusia, baik dari sisi kesehatan maupun yang lain. Sehingga sangatlah penting adanya kepastian tentang kehalalan makanan.
Saat ini sedang dirumuskan RUU jaminan produk halal yang akan mengatur regulasi tentang status kehalalan makanan dan obat-obatan serta implikasi hukumnya. Tentu hal ini harus didukung oleh seluruh masyarakat agar mereka mendapatkan jaminan yang benar tentang kehalalan sebuah produk.
Namun sangat disayangkan beberapa pihak terkesan menghalangi proses penetapan RUU Jaminan Produk Halal ini menjadi UU. Bahkan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mencoba mempertantangkan antara aturan agama dan kesehatan dengan menyatakan “Halal Haram Urusan Agama, Obat-Obatan Urusan Nyawa Manusia” (sumber : republika). Seolah olah menyimpulkan bahwa produk haram lebih menjamin kesehatan.
Majalah TEMPO bahkan melakukan fitnah yang keji dengan menyatakan bahwa MUI menerima 820 Milyar dari Dewan Sertifikat Makanan Halal Eropa atau Halal Food Council of Europe (HFCE) untuk menggiring opini publik bahwa MUI menjadikan sertifikat halal hanya sebagai sarana mendapatkan uang. Namun bantahan dari HFCE dan penjelasan dari MUI membuktikan bahwa TEMPO hanya mengarang berita.
Memang RUU Jaminan Produk Halal bukan hanya tentang halal dan haram saja, implikasi dari pelaksanaan RUU ini pasti akan berpengaruh kepada keuntungan melimpah perusahaan-perusahaan besar yang selama ini menghasilkan produk haram. Maka sangat pantas kalau berkembang asumsi ada upaya untuk menghalangi penetapan RUU Jaminan Produk Halal dengan upaya loby ke pemangku kebijakan serta fitnah di media. Jika ini benar maka masyarakat harus mampu menyuarakan dukungan agar RUU ini bisa segera disahkan.
Oleh : M Anantiyo Widodo, SE (Mantan Komisaris Kelompok Studi Ekonomi Islam Universitas Diponegoro)lihat profil www.anantiyowidodo.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H