TOD atau pembangunan berorientasi transit berarti mengintegrasikan desain ruang kota untuk menyatukan orang, kegiatan, bangunan, dan ruang publik melalui konektifitas yang mudah dengan berjalan kaki dan bersepeda serta dekat dengan pelayanan angkutan umum yang sangat baik ke seluruh kota. Hal tersebut berarti memberi akses untuk peluang dan sumber daya lokal dan kota menggunakan moda mobilitas yang paling efisien dan sehat dengan biaya dan dampak lingkungan paling minimal dan berketahanan tinggi terhadap kejadian yang mengganggu. TOD yang inklusif merupakan dasar yang dibutuhkan untuk keberlanjutan jangka panjang, keadilan, kesejahteraan yang merata, dan keamanan di kota.
Dengan beberapa pengecualian, TOD yang inklusif bagaimanapun juga bukan merupakan cara kota-kota di dunia untuk dibangun secara cepat. Terlebih lagi, jalan dan pinggiran kota dibangun besar-besaran tanpa henti. Tanah berharga telah diaspal, lingkungan alami terganggu, dan segragasi sosial dan isolasi diperburuk dengan adanya jarak yang bisa dilalui. Kota-kota tersedak dalam kemacetan lalu lintas yang mematikan dan emisi knalpot mengubah udara menjadi asap beracun yang menyebabkan perubahan iklim menjadi bencana.
Seiring berjalannya waktu, sebuah kebangkrutan, model pertumbuhan kota yang menyebar menyebabkan kekacauan kota hingga ketidakberlanjutan dan ketidakadilan tersebar dalam bentuk ketergantungan terhadap mobil atau kehilangan akses, pada saat yang sama kota diprediksi akan tumbuh melebihi dua juta penduduk dalam tiga dekade ke depan.
Perubahan global dari ruang kota yang tidak beraturan menjadi TOD yang inklusif penting untuk diwujudkan. Namun, hal tersebut lebih mudah dikonsepkan daripada diterapkan. Berbagai elemen yang komplek dan saling berkaitan harus diselaraskan dan disatukan. Hal itu termasuk infrastruktur, jalan, dan perencanaan dan desain gedung sampai undangundang, reformasi aturan, dan pembiayaan.
Beragam partisipan yang memiliki pandangan dan kepentingan berbeda terlibat: pembuat keputusan dan kebijakan dari berbagai institusi, tenaga profesional dari berbagai bidang, investor dan developer, pemilik atau penyewa di masa depan, warga yang terjebak dalam pola penggunaan mobil sebagai bentuk budaya pinggiran kota, orang-orang dalam kelompok yang menjadi target penggusuran dan pemadatan, serta organisasi kemasyarakatan dan orang-orang bawah. Dalam konteks ini, pergeseran skala besar untuk TOD harus didahului dengan membuat kesepakatan bersama mengenai konsep kerangka kerja untuk kolaborasi tersebut.
Kawasan Setiabudi diharapkan dapat menjadi pilot untuk pembangunan kawasan TOD yang ada di Jakarta. Kawasan tersebut dipilih karena tingkat kepadatan dan kegiatan yang sudah cukup tinggi dengan stasiun MRT Karet dan Halte Transjakarta Karet sebagai titik pusatnya. Dengan delapan prinsip transportasi perkotaan dalam pembangunan kawasan TOD yang diterapkan oleh ITDP, yaitu walk, cycle, connect, transit, mix, densify, compact, shift, diharapkan dapat membentuk kawasan TOD yang inklusif serta mampu menjadi konsep pembangunan kawasan transit yang berkelanjutan dan mampu menekan angka penggunaan kendaraan pribadi di salah satu pusat kota Jakarta tersebut.
Masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menuju suatu kawasan TOD yang berkelanjutan. Untuk itu, perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan lembaga-lembaga terkait agar dapat mewujudkannya. Sehingga nantinya, dapat mengeluarkan suatu panduan yang dapat diadaptasi untuk pembangunan kawasan TOD lainnya di Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H