Sumbangsih teknologi telah banyak membantu kita guna mengakses informasi. Dalam perihal sifat, malah telah bertukar posisi. Kitalah yang kini diburu-buru para penyedia info ini untuk kita perhatikan, terlepas dari seksama atau tidaknya. Maka, tak mengherankan bila kartunis senior Scott Adams dalam bukunya Masa Depan Dilbert telah jauh-jauh hari meramalkan sosok manusia (atau kita) menjadi terkikis adab dan kebijaksanaannya. Induhvidual, demikian Adams memberi istilah pada manusia yang tak lagi bijak [dalam istilah kasar: idiot]. Mengapa? "Supaya orang yang anda sebut induhvidual tidak tersinggung," jelas Adams dengan gaya yang nakal nan jenaka. Berikut contohnya: Anda   : Ananta, anda seorang induhvidual. Ananta : Oh. Terima kasih. Berikutnya, mari kita telaah kaitan jejak antara teknologi dan manusia induhvidual tersebut di awal tulisan ini. Tak hanya melalui media konvensional, seperti koran, televisi dan radio; mari kita buka juga akun layanan yang ditawarkan ranah maya: e-mail, facebook, twitter, dan beberapa lainnya. Informasi yang temasuk bersifat pemberitaan, tawaran ataupun tips melenggang dengan mudahnya untuk mengambil jatah perhatian seiring upaya untuk memolah pemikiran kita. Pengulangan diseminasi informasi yang terus-menerus ini secara perlahan akan menggiring keyakinan kita sesuai harapan penyampai informasi ini. Dilbert Lalu, siapa yang benar? Pertanyaan ini [sebelum kita benar-benar menjadi induhvidual], kemungkinan besar, terbersit dalam benak kita bila dua pihak atau lebih terlibat kisruh, dan dengan tatanan kata-kata yang baik menyuguhkan dalih yang menggugah. Kasus paling anyar ialah gonjaang-ganjing dalam ranah persepakbolaan dalam negeri. Penggolongan kelompok yang terlibat dalam kericuhan merebut 'pengaruh' ini, sejatinya ada dua pihak. Tetapi, menilik seragam yang dikenakan saat menyampaikan argumentasinya, mereka terbelah menjadi tiga. PSSI, LPI dan pemerintah. Sesekali saya menjadi induhvidual yang 'mengunyah' dalih yang dipaparkan ketiga pihak ini. Bila mereka bertiga benar, tentu agak menggelikan bila perdebatan mereka sampai mempertaruhkan nyawa segala. Merujuk pada perumpamaan yang ditulis Muhamad Mufid (Etika dan Filsafat Komunikasi), ketiganya amat mungkin tetap saling mendebat sampai akhir zaman, setelah menelaah kepentingannya yang bergesekan. Berikut petikan kisah dalam buku Mufid tersebut. - Seekor gajah dibawa ke sekelompok orang buta yang belum pernah bertemu [atau tidak mengenal] binatang semacam itu. Yang satu meraba kakinya dan mengatakan bahwa gajah adalah tiang raksasa yang hidup. Yang lain meraba belalainya dan menyebutkan gajah sebagai ular raksasa. Yang lain meraba gadingnya dan menganggap gajah adalah semacam bajak raksasa yang sangat tajam, dan seterusnya. Kemudian mereka bertengkar, masing-masing merasa pendapatnya yang paling benar, dan pendapat orang lain salah. - Dalam penjelasan Mufid, pendapat para orang buta itu tak ada satu pun dapat mencapai kebenaran mutlak. Sebab, yang ditegaskan masing-masing orang buta tersebut adalah sudut pandang yang menggambarkan bentuk seekor gajah menurut perspektif tertentu dan karenanya bukan kebenaran absolut. Adams mungkin benar bahwa kemudahan dari kemajuan teknologi malah kerap menyesatkan hingga membentuk kita jadi induhvidual. Tidak hanya susu formula, yang harus kita pilah, apakah mengandung bakteri atau tidak. Hal serupa juga, dapat disikapi terhadap suguhan informasi yang diberikan pada kita. Sebab ricuh pendapat seperti kasus merebut pengaruh dalam ranah sepakbola ini juga akan berlangsung di perihal lainnya. Ahmadiyah, Valentine, Gayus Tambunan, dan berbagai isu lainnya yang naik redam berdasarkan 'pengarah' media, perlahan-lahan menggoda kita untuk berpendapat, berdebat sebelum memperlihatkan aksi/hasil nyata. Tentu, beberapa dari kita juga ingin mengetahui jalan mencari kebenaran seandainya terjebak dalam adu argumen para orang buta tadi. Jika demikian, kita catat saja sugesti lanjut dari Mufid. - Kata kunci untuk mencapai kebenaran sejati adalah adanya pengetahuan. Dengan pengetahuan, maka terjadi persatuan antara subjek dan objek. Dengan kata lain, pada saat subjek memiliki pengetahuan mengenai objek, maka subjek dapat memasuki diri objek dan terjadilah kontak hubungan. Maka, tampak bahwa dalam cinta terkandung suatu kecenderungan yang dinamis ke arah pengetahuan tentang objek yang semakin jauh, mendalam, serta lengkap. Selanjutnya, jika pengetahuan menyatu dengan kepribadian seseorang, maka orang tersebut cenderung bertingkah laku bijaksana. Namun demikian, mencari kebenaran sejati tentu tidak mudah. -- Catatan: * Scott Adams juga aktif menulis dalam blognya | http://www.dilbert.com/blog/ | Tautan blog resmi: http://www.telaah.info/warta/sebelum-kita-menjadi-induhvidual.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H