Jabat tangan lebih jamak dicerna sebagai hubungan yang karib ataupun sepakat bekerjasama. Simbolnya banyak kita temukan dari citra tangan pria yang mengenakan setelan jas hitam, saling menjabat dengan teguh. Namun, tindak jabat tangan ini bisa juga menyiratkan makna lain. Yang lebih mendalam, dan terkadang menyesatkan. Agar lebih mudah, mari kita kerling satu petikan pengalaman berikut. Pada awal bulan ini (Februari), beberapa rekan sekerja mengernyitkan dahi setelah tangan mereka dijabat salah seorang sahabat. Bila menilik kebiasaan di kantor, menjabat tangan bisa dibelah ke dalam 2 (dua) artian: Selamat Ulang Tahun! atau Saya hendak pergi (atau berhenti). Makna yang pertama, amat muskil diterima karena tidak ada satupun yang dijabat sahabat kami ini tengah merayakan hari lahirnya. Pendapat kami pun dengan mudahnya mengeksekusi pendapat yang terakhir. Hasilnya? sebuah blunder, ternyata keesokan hari sahabat kami ini masih masuk dan bekerja dengan sumringah. Kernyitan dahi kali kedua lalu disusul sejumlah spekulasi. Pertanyaan: "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanpa sengaja juga dialamatkan ke saya. Alih-alih berprasangka lebih jauh, saya ladeni: "Tadi itu, kinesik." Alhasil, bulu alis teman-teman saya pun menyatu. Kinesik? Ya, benar. Kinesik. Proses komunikasi tidak hanya bersinggungan dengan kata-kata. Berdasar pada kesepakatan bersama, beberapa pendekatan komunikasi tanpa kata-kata (nonverbal) juga lazim diterapkan. Jadi, kuncinya ialah kesepakatan bersama agar tidak justru menimbulkan miscommunication atau kesalahpahaman. Contoh yang menarik: banyak dari kita akan menganggap gerak "menggelengkan kepala" berarti tidak setuju, sementara di India Selatan gestur ini malah diartikan iya. Nah, kinesik termasuk dalam kelompok komunikasi nonverbal tersebut di atas. Dinamakan kelompok, karena komunikasi nonverbal ini terdiri atas beberapa jenis. Untuk lebih jelasnya, silakan rujuk tautan paling bawah. Belajar dari kasus Obama. Sisi yang kurang menyenangkan dari seorang kepala negara, seperti halnya, figur masyarakat pada umumnya ialah menjadi santapan para kritikus. Setiap gerak-gerik yang keliru, akan segera dikritisi. Ini pernah dialami oleh Presiden Amerika Serikat, Barack Obama tatkala bertamu ke kediaman Kaisar Jepang Akihito dan Permaisuri Michiko di Tokyo, Jepang. Perisitiwa ini berlangsung pada pertengahan November 2009. Untuk memperhatikan fatalnya kinesik tersebut, perhatikan cuplikan gambar asli dan susulan karikatur yang mengolok-olok blunder Obama* ini
Praduga saya awalnya menilai bahwa Obama salah mencampuradukkan budaya jabat tangan sebagai salam ala Internasional dengan budaya membungku, yang kita ketahui sebagai salam khas ala Jepang. Namun, dengan mengetikkan kata kunci "Obama bow" (=Obama membungkuk) kita dapat menjumpai beberapa potret yang menunjukkan Obama juga menunduk terhadap pejabat negara luar lain, yang bahkan tidak memiliki kebiasaan membungkuk saat memberi salam sambutan nan hormat. Satu blog di dunia maya, malah mendokumentasikannya, yang dapat dirujuk di tautan ini. Kinesik ternyata menggelitik. Tentu, selama kesepakatan bersama terjalin baik, komunikasi yang dituturkan baik secara verbal maupun nonverbal dapat dipahami. Sebaliknya, kesalahpahaman dan kritik pedas dapat menyusul bila tidak barengi kunci kesepakatan tadi. Beruntung bila kinesik atau jenis komunikasi nonverbal yang kita perbuat hanya menggelitik rasa penasaran saja. Kembali pada bincang-bincang kinesik jabat tangan tadi. Saya masih sulit memahami makna tindak menjabat tangan dari gambar di bawah ini; atau, ini memang diniatkan hanya untuk menggelitik saja. Sampaikan saja pendapat para sahabat kalian. Saya harap dengan komunikasi verbal.
Catatan:
* Pihak oposisi mengecam kebiasaan membungkuk Obama menampilkan seolah-olah negara AS memiliki kedudukan yang lebih rendah dibandingkan negara asal pejabat yang tengah berdialog dengan Presiden AS ke-44 tersebut.
Rujukan
Wikipedia Psikologi komunikasi oleh Drs. Riswandi, M.Si.