Mohon tunggu...
Anan Smile Ibn Thalhah
Anan Smile Ibn Thalhah Mohon Tunggu... -

like writting and singing shalawat and many jokes hobbies, has many friends from other countries, and like to share everything usefull for life....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Seperti Hidup Kembali

13 Agustus 2011   08:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:50 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bagaimanakah rasanya ditinggal suami dan tetap memberi makan pada kedua anak nya yang masih kecil kecil? Dan bagaimana pula sekian lama menikah belum juga dikarunia putra?, lalu bagaimana pula saat kamu hidup dan masih hutang nyawa pada orang lain dan belum terlunasi?

---------------------------------------------------------------------------------------

Ini adalah kisahku yang terajut bersandarkan hari, di telisik jelaga dan bersemayam jiwa pada masing masing raga, aku tidak pernah tahu mengapa ketiga kisah pilu ini bersandarpada bahuku yang belum kuat menanggungnya. Dua kakakku adalah wanita, aku nomor tiga cowok sendiri, dua duanya sudah menikah dan bernasib berseberangan, yang pertama bersuamikan pengangguran, dan beranak dua sementara yang kedua, bersuamikan pegawai dan lumayan berada namun sampai tiga tahun ini belum dikarunia putra, sedangkan aku, lulusan Madrasah Diniyyah setahun yang lalu. Baru sembuh dari koma selama lima hari setelah mengalami gegar otak ringan, dan dilunasilah nyawaku dengan tabungan kakak nomor dua yang belum berputra itu, dari sinilah cerita itu mengalir……………

“kalau sudah punya uang, segera bayar ke aku, tabunganku sudah menipis” pesan mbak Amrita dari luar kamarku, segera ia berlalu. Ia biasa berpakaian matching dan anggun. Seharian sudah kata-kata itu tig kali. Aku hanya mengangguk saja, andai ia tahu bahwa bahu patahku belum sembuh total dan kepala bocorku belum juga maksimal masihkah ia terus menerus memojokkan aku dengan nyawaku yang belum lunas ini? Tak tahulah aku. Hari itu aku masih di rumah. Menikmati sakit yang berangsur membaik, lima hari yang lalu pukul sebelas malam, tiba-tiba aku jatuh dari motor dan menabrak anak kecil yang sedang bersepeda, gara-gara dari arah berlawanan lampu depan sebuah mobil panther menyorot tepat di mataku, aku merasa silau, tidak kelihatan apa-apa, bangun bangun aku sudah di rumah sakit selama tiga hari dalam keadaan tidak sadarkan diri. Setelah lima hari di rumah sakit aku diizinkan pulang. Di rumah bertemulah aku dengam kak amrita yang telah melunasi rumah sakit dengan biaya sembilan juta, kepalaku masih pening, jahitan di sana sini, belum bisa tidur miring ke kanan, karena bahu kanan yang masih diperban untuk pemulihan tulang yang patah, awalnya akan dioperasi, namun pihak keluargaku tidak berkenan karerna harus mempersiapkan dua puluh juta untuk biaya operasi itu.

Akhirnya aku diobati dengan cara tradisional yaitu dukun yang ahli patah tulang yang biasa disebut dengan sangkal putung. Bangun dari tidur saat di rumah sakit itu bahuku sudah diperban dan rasanya seperti menggendong ransel yang berat sekali dan aku dilarang untuk terlalu banyak bergerak. Semenjak lima hari itu, kondisiku membaik, kakakku yang berada di probolinggo telpon dan menanyakan keadaan diriku.

“kabarnya kamu barusan kecelakaan, benarkah?” tanya mbak Nila,

“enggak, udah sembuh kok kondisiku membaik udah bisa main-main nih” jawabku, menutupi kegelisahan yang barangkali muncul andai aku mau jujur.

“kondisiku yang malah tidak membaik dik, suamiku sudah pergi dari rumah semenjakseminggu yang lalu dan aku tidak ditinggali uang sepeserpun” curhatnya padaku semakin membuatku semakin iba.

“lho kok sampai setega itu? Bukankah dia lelaki yang harusnya memberi mbak nafkah lahir batin? Apalagi putra sampeyan sudah dua lagi” ujarku balik tanya.

“ya itulah masalahnya, dia semakin menghindari kenyataan yang harusnya dimiliki olehnya sebagai lelaki, lalu apa dayaku dik? Aku sudah tak kuasa menahan semua ini sendirian” ku dengar suara itu semakin parau dan mengiba, ada tangis dalam suara itu.

“tidak mbak kamu tidak sendirian, pulang saja ke madiun, kita masih punya aya yang siap mendengar keluhan kita, kita masih punya saudara-saudara yang siap membantu kesulitanmu” air mataku menetes pelan, aku turut menangisi dukanyayang berkepanjangan, terus terang suaminya adalah pengangguran sukses, sukses kemana-mana, sukses merokok, sukses menganggur, dan tak tahu diri pada dirinya dan tanggung jawabnya sebagai suami, oh Tuhan sampai kapan awan kesedihan ini terus menerus menaungi perjalanan hidupnya yang baru sepenggalahan naik? Yang baru Engkau amanahi dengan dua anak yang lucu-lucu, yang melaksanakan sunnah NabiMu dengan menikah namun kesedihan itu masih abadi. Entahlah Tuhan, hamba masih belum tahu apa mauMu.

“bahkan dua hari ini aku hutang uang ke temanku tidak diberinya aku hutangan namun mereka malah langsung membelikan susu buat si Lucky, aku malu dengan mereka dik, kesedihan ini sudah tak kuasa lagi untuk ku tanggung sendirian, aku ingin pulang, jemputlah aku saat kamu sudah sehat ya?” pintanya.

“ya mbak akku usahakan maksimal seminggu dari sekarang, aku ingin sampeyan punya semagat dalam hidup ini lagi, jangan patahkan semangatmu mbak kita masih punya Tuhan tempat berbagi duka nestapa, tempat segala curahan hati hamba-hambaNya dan jangan lupa banyak-banyak bershalawat pada Rasulullah, semoga dapat meringankan beban itu, amin”

“terima kasih nasehatnya dan waktunya dik, semoga memang ada jalan keluar untuk segala masalah yang aku hadapi selama ini” setelah berpamitan ia menutup gagang teleponnya. Perlahan kutariknapas dalam – dalam ingin sekali berlalu menuju rumah mbak sulung ini dan membawa dirinya dan dua anaknya pulang ke sini di dekat ayahku yang masih peduli dengan segala keluh kesahnya.

Kapan nih punya keponakan baru? Wah sudah lama lho, hampir tiga tahun menikah. Itulah sms yang aku kirimkan pada mbak amrita yang selalu bilang “lunasi hutangmu!” tiap kali ketemu aku itu.

Tiba tiba sms itu tidak dibalasnya namun langsung mendatangi kamarku dan melabrak aku.

“kamu bertanya apa menghina, aku memang belum diberi titipan Allah, kamu malah memojokkanku dengan pertanyaanmu itu, aku sudah menghabiskan dana banyak banyak untuk periksa kesehatankku dan suamiku, dan itupun dipakai olehmu untuk biaya rumah sakit itu, tapi kamu malah begini, kamu tak tahu kesedihan suami istri yang belum juga dititipi putra, kamu juga belum tahu rasanya membanting tulang memeras keringat untuk bisa mencukupi kebutuhan keluarga kita, tapi kamu malah meyakitiku dengankata-katamu itu.” Ia sesenggukan menangis sambil mengacung-acungkan jemarinya padaku, aku diam tak bergeming, mulailah akumenjawabnya dengan lugas.

“aku hanya hutang uang dan aku belum punya waktu untuk menyahurnya sekarang, aku tak menghinamu dengan kata-kataku tadi, aku ingin mendoakanmu semoga dengan kepasrahanmu pada Tuhan membuatmu bisa meyakinkanNya untuk dititipi amanah, namun jika engkau masih emosi dalam segala hal termasuk mengungkit biaya yang telah kamu bayarkan untuk menebus nyawaku itu, termasuk ancaman bagiku, kenapa tidak engkau doakan atas kematianku dari pada aku hidup tapi ancaman dan cacianmu selalu menggangguku tiap malam? Kenapa tidak sekalian engkau relakan aku mati dari pada aku hanya menjadi tanggunganmu sehingga sampai sekarang aku belum bisa melunasinya? Kenapa hidupku ini justru membuatmu tertekan dan tidak bahagia melihatku hidup seperti ini, masih diperban dan jahitan di kepala masih membuat aku pusing? Tidakkah mungkin lebih baik akan kematianku saja saat itu sehingga engkau tidak mengomeli aku tiap hari akan hutangku padamu untuk biaya rumah sakit itu? Aku muak hidup mbak jika kamu masih menyiksaku dengan kata-kata yang semakin menyudutkan aku sehingga aku merasa kehidupanku ini sudah tiada artinya lagi” aku sesenggukan di kamar, kepalaku serasa pecah, ku pijat keras-keras kepalaku yang semakin pusing dan ngilu itu…aku membungkam mulutku dengan bantal dan selimut, rasa tak tertahankan Cuma bisa ditutupi dengan dua benda itu. Mbak amrita berlalu tak peduli. Tak ada jawaban dari pertanyaan balik itu, tak satupun.

Aku baru lulus Madrasah Diniyyah di pondok Pare setahun yang lalu, dan kekosongan aktifitas itu ku nikmati dengan mengajar di pondok Hudatul Muna dua yang sederhana dan penuh dengan kekeluargaan, tepatnya di sebelah selatan aloon-aloon ponorogo yang berjarak setengah kilo meter. Aku tak bergaji tapi aku mempunyai hobby berbagi ilmu bagi pendidikan diniyyah di pondok itu, meskipun begitu kehidupanku tercukupi walau tidak selalu dapat jatah dari rumah, namun kecelakaan itu membuat nasibku semakin berantakan, mulai dari penyembuhan yang masih lama, mbak Nila yang ditinggal suaminya minggat dan punya dua anak kecil, serta mbak amrita yang belum juga diberi momongan namun selalu menyudutkanku dengan hutang yang belum juga aku bayar sampai sekarang. Aku adalah anak laki-laki satu-satunya yang menjadi kebanggaan ayahku, ibu sudah dipanggil yang kuasa lima tahun lalu saat aku masih SMP kelas satu, tiada lagi yang bisa memberiku kasih sayang penuh lagi selain kesepian yang semakin membuatku seperti ini.

“mas, bagaimana kalau sampean adobsi anak mbak Nila yang pertama itu, si Fina, mumpung sudah usia sekolah, lagian mbak Nila akan boyongan ke sini, meninggalkan kontrakan nya yang di Probolinggo itu, dia sudah tidak tahan.”ujarku pada mas Hani, suami mbak Amrita.

“memangnya kenapa dia boyongan, Fina mau apa tidak ikut kita ya?”kata mas Hani.

“adobsi kan tidak gratisan mas, mbak Nila lagi butuh duit untuk membelikan susu buat anak keduanya sementara suaminya minggat tidak jelas kemana dia.”jawabku.

“ya, sih pengen banget punya momongan, tapi belum dikasih sama Tuhan, tunggu dulu nanti ku musyawarah sama mbakmu, moga-moga mau” mas Hani beranjak dari kamarku, dan pulang ke rumahnya yang berjarak 5 km dari rumah sini. Setelah berpamitan ia memberiku amplop yang berisi uang seratus ribu, aku senang.

Hari kesepuluh dari kecelakaan itu keadaan fisikku membaik namun tidak dengan keadaan mentalku, selalu ada saja masalah yang membuatku pusing tidak kepalang. Dan inilah ujianNya yang Dia titipkan padaku, namun aku tetap bersabar dan berharap semoga semua ini akan berakhir dan membawa berkah. Pagi itu aku menghubungi mbak Nila untuk membicarakan massalah adopsi putri pertamanya itu.

“assalamualaikum mbak!” sapaku

“wa’alaikum salam, ada apa dik, tumben nich telpon pagi – pagi?”sapanya dari seberang.

“begini mbak, adik punya solusi bagaimana selama mbak pulang si Fina supaya diasuh ma mbak Amrita, aku bilang gak gratis sich, pake uang berapa juta gitu supaya jadi hiburannya, sekaligus supaya menjadi pancingan Fina supaya diasuh ma mbak Amrita, aku bilang gak gratis sich, pake uang berapa juta gitu supaya jadi hiburannya, sekaligus supaya menjadi pancingan rahimnya segera mengandung putra, kasihan kan, sudah tiga tahun lebih belum juga punya momongan.” Jelasku panjang lebar.

“sekalian ku rembukan saat aku pulang saja, tapi jangan lupa kamu yang datang ke sini menjemputku, momonganku kan tidak satu lagi sekarang” jawabnya. Aku mengiyakan tawarannya. Selepas telpon mbak Nila aku menghubungi mas Hani untuk memberiku saku buat menjemput mbak Nila di rumah kontrakan Probolinggo. Dia sepakat akhirnya meski belum sembuh seratus persen kupaksakan untuk berangkat dalam rangka menjemput mbak Nila.

Pagi pukul tujuh, aku sudah naik bus patas dari terminal selo aji madiun, tujuan utamaku probolinggo, dan harus ganti bus saat sampai di surabaya. Sampai rumah kontrakan itu pukul setengah tiga sore, aku disambut kakakku dengan hangat. Aku disuruh tidur sejam untuk memulihkan tenagaku, pukul empat sore aku dibangunkannya, dan dia sudah bersolek cantik, tak ketinggalan pula si Fina imut banget, dan mengajakku obrolan singkat.

“pak lek, bangun, Fina udah cantik nich..segela mandi kita berangkat ke Madiun main main” kucolek pipinya gemes kuangkat tubuh mungilnya tinggi-tinggi, dia tergelak dan menjerit tanda senang, sementara si Lucky masih terlelap dalam buaian ibunya itu sambil minum susu hangat. Aku bergegas ke kamar mandi, mandi kilat, berwudlu dan sholat jamakta’khir yang niatnya tadi saat aku akan berangkat menuju kemari.pukul setengah lima tepat kami bergegas mencari angkutan kota untuk menuju terminal. Si Fina ku gendong di belakang punggungku, sambil ku angkat tinggi-tinggi untuk menghibur kesedihan orang tuanya yang belum ia pahami. Aku menangis haru dalam senyuman untuk putri imutnya.

“dik Amrita di rumah bapak enggak malam ini?” tanya mbak Nila, saat kami sudah menaiki bus surabaya jurusan ponorogo.

“ya mbak, dia dan suaminya tinggal di rumah saat ini, mas Hani sms tadi kalau dia tidur di rumah bapak. Sekalian menyambut kedatangan kita” ku jawab sebisanya, maklum aku baru saja terlelap saat pertanyaan itu dilontarkan.

“semoga memang menjadi lebih baik bagi Fina, namun sebenarnya aku agak berat pisah dengan Fina lho dik” keluhnya.

“ lebih pilih mana lho mbak antara punya Fina tapi tidak memberi makanan bergizi padanya atau berpisah untuk sementara waktu namun anakmu sehat dan mbak juga punya modal usaha?” tanyaku balik untuk menghilangkan kegelisahan hatinya.

“iya sich, tapi yang namanya juga orang tua, dimana-mana juga seperti itu.” Ucapnya seraya membenahi posisi si lucky yang terlelap dalam pangkuannya.

“anggap saja ini ujian yang diberikan Allah pada kita, mungkin dari masalah ini kita akan mendapatkan hikmahnya di kemudian hari, mbak kan juga ahli jual baju kan? Sekalian buat toko butik di rumah, saya kan juga punya teman pekalongan yang juga produsen batik, wah pasti rame tokonya.”ujarku.

“wah, bener, itu bisa menjadi sumber rejekiku dik, lagian aku tiap hari masih bertemu Fina kan? Tk-nya kan juga di depan rumah Bapak” ada binar gembira di sinar matanya. Ada harapan yang terbangun dari tidurnya. Ada air mata bening menetes di pipinya. Oh mbak Nila, sabarkan hatimu, Tuhan beserta orang-orang yang sabar seperti kita.

Lima jam kita tertidur di bus itu, setelah itu kami naik ojek menuju kampung kesayangan kami, dusun kedondong yang asri. Pukul sebelas malam kami sampai di rumah, aku beranjak menuju kamar mandi untuk berwudlu dan segera ku menuju kamar yang khusus disediakan untuk shalat, aku shalat jamak ta’khir lagi, untungnya mbak Nila tidak sholat, dia lagi dapet katanya. Setelah shalat aku langsung menuju kamar tengah, dimana tempat itu disediakan untuk anak putra, ada mas Hani disana dan sudah terlelap bersama mimpi-mimpinya. Bik Inah, yang barusan membukakan kami pintu menawari kami the hangat di ruang keluarga, ku seruput sedikit dan bergegas menuju tempat tidur. Rasa kantuk sudah menjalar tak terkira.

“Dimas, bangun sudah pukul lima matahari hampir muncul tuh!” suara bapakku, sepulang dari masjid depan rumah, beliau selain sekedar bapakku juga merupakan imam masjid kampung kami, selama puluhan tahun bahkan sebelum beliau menikah dengan ibu. Perawakannya sedang dan penuh wibawa.

“jam berapa kalian datang semalam?” ia tahu aku sudah bangun tidur, dan menyibakkan selimut, mas Hani sudah tidak di sampingku,

“pukul sebelas malam pak, sudah ketemu mbak Nila pak?” tanya ku balik.

“belum, memangdalam rangka apa kok rombongan seperti pindah rumah saja,” ucapnya.

“memang mau pindah rumah kok, lagian di sana gak ada yang menafkahinya hidup, mendingan pulang dan bikin usaha, gitu lebih baik khan Pak?” aku beranjak dari tempat tidur dan kucium tangan ayahku tulus, ayah hanya berdiri diam tak bergeming, ada pertanyaan banyak yang ikut berputar – putar di pikirannya mendengar statemenku tadi. Akubergegas menuju kamar mandi untuk bersih-bersih dan wudlu untuk shalat shubuh.

Atas prakarsa yang telah kurencanakan matang-matang, kita berkumpul di ruang keluarga, di situ ada ayah, mbak rita dan suaminya, mbak Nila dan dua anaknya, bik Inah udah berlalu ke belakang setelah membuatkan kami teh untuk kami.

“begini ayah, mbak Nila punya masalah dengan suaminya, dan suaminya tidak menafkahinya selama sebulan ini, dia banyak hutang pada teman-temannya, makanya dia pengen pulang untuk buka usaha dengan modal dari mbak Rita, sedang mbak rita pengen punya momongan dengan mengadopsi Fina untuk diasuh sampai dia besar dengan uang adopsi yang disepakati, sedangkan yang menjadi masalah Dimas adalah masih mempunyai hutang sembilan juta pada mbak Rita,untuk membayar biaya rumah sakit saat Dimas kecelakaan dua minggu lalu” terangku pada forum terutama pada ayah. Ayah kelihatan kaget luar biasa.

“jadi ini cerita yang belum pernah aku dengar sebelumnya ya? Kenapa tidak ngomong dulu sama bapak, sehingga solusi bisa kita pecahkan?” ayah balik bertanya. Kami hanya saling memandang satu sama lain, dan mbak Nila membuka suara.

“begini, pak, kami tak ingin merepoti bapak, kami ingin membahagiakan bapak bagaimanapun kondisi kami ini, namun akhirnya kami datang kembali dengan membawa beban yang tidak kuasa kami emban sendirian, atas usul Dimas saya mau pulang ke sini, karena di sana saya tidak punya uang untuk sekedar membelikan susu buat Lucky.” Air mata mbak Nila tumpah, sementara itu si Lucky masih lelap dalam gendongannya.

“kami ingin mengadopsi Fina, sampai dia beranjak dewasa dan kami diamanahi Allah seorang momongan, itu kesepakatan kami kemarin dengan dik Rita, dan kami mau bayar berapapun asal kami terhibur dengan mengasuh Fina” mas Hani buka suara, mbak Rita masih diam, masih sewot dengan perlakuanku tiga hari yang lalu.

“lha maunya adopsi Fina berapa juta dibayarkan padamu Nak Nila?” tanya bapak pada mbak Nila.

“maunya sepuluh juta kalau tidak keberatan, itupun dengan satu syarat” jawab mbak Nila spontan.

“apa syaratnya mbak?” tanya mbak Rita penasaran.

“pembayarannya harus kontan dan yang lima juta kubayarkan pada kamu lagi atas nama menyahur hutang Dimas padamu yang sembilan juta itu, sedangkan yang lima juta kubuat modal usaha butik di depan rumah sini” jawab mbak Nila, aku setengah kaget tak percaya, uang adopsi itu ia bayarkan pada mbak Rita lagi untuk menyahur setengah dari hutangku padanya. Masya Allah.

“mbak kok repot-repot membiayai hutangku segala, gak dipakai modal usaha saja mbak?” aku menimpali dan menutupi keterkejutanku pada statemennya tadi.

“tidak usah banyak – banyak untuk membuka usaha, lagian yang punya batik dari pekalongan kan juga teman kamu waktu di pondok dulu.”jawab mbak Nila, aku mengangguk pasti.

“bagaimana nak Rita? Sanggup apa tidak dengan biaya segitu tadi, lima juta dibayarkan pada mbakmu, lima juta buatmu lagi untuk pembayaran hutang Dimas?” tanya ayah pada mbak Rita.

“ya, pak, kami masih punya uang segitu dan untungnya hari ini kami sudah mengambilnya dari ATM semalam sepulang kerja” jawab mbak Rita, ia masih datar memandangiku, tak ada benci dan sayang, namun aku berusaha membuatnya menyapaku walau sekedar dalam pandangan mata sekalipun. Ia mengeluarkan dompet dari tasnya yang ia pangku sejak tadi dan menghitung uang seratusan sebanyak lima puluh lembar dan diberikan pada mbak Nila, mbak Nila terlihat lega, ia bernapas dalam-dalam semenjak menerima uang itu.

“jangan repot-repot membelikan baju si Fina, baju dari Probolinggo ku bawa semua,nanti ajak saja dia ke kolam renang dan jalan-jalan ke kota, lama-lama dia betah tinggal dengan kamu” pesan mbak Nila. Aku merasa masih memiliki tanggungan empat juta pada mbak Rita, aku gelisah, dengan apa aku membayarnya. Namun tiba-tiba mbak Rita bicara padaku.

“Dimas, maafkan kata-kata kasarku beberapa hari yang lalu, aku khilaf, dan kalut, namun setelah melihat betapa tulusnya mbak Nila memberikan uangnya padamu untuk membayar hutangmu padaku, aku turut malu untuk tidak berbuat sama padamu, hutangmu lunas, yang kurang empat juta aku bebaskan.” Ada air mata di sudut matanya. Aku menghambur di pelukannya. Tak kuasa aku menahan tangisku ini sendirian, ayah turut menangis, mbak Nila apalagi.

“terima kasih mbak, Dimas akan menjaga kekeluargaan ini, maaf pula jawaban kurang sopan adikmu ini,”ku peluk erat mbak Rita, mbak Nila, mas Hani, apalagi ayahku yang turut senang melihat anak-anaknya tumbuh dewasa dan berbahagia. Setelah itu ayah mengajak kami berdoa bersama, kami mengamini dengan khusyuk. Tak terasa, hati kami bergetar, ada damai di sana. Doa tulus itu pula kami haturkan buat ibu kami tercinta yang telah melahirkan kami bertiga dan mengasuh kami hingga beranjak dewasa seperti sekarang.

Akhirnya, dengan modal lima juta itu mbak Nila membuka toko batik Pekalongan yang pembayarannya melalui rekening dan barang dipaket melalui jasa pos, toko itu laris dan membuat mbak Nila bahagia walau tidak ada mas Heri di sisinya, sedangkan mbak Rita juga begitu, tiap pagi mengantarkan Fina sekolah di TK dekat rumah dan selalu mampir ke toko kakaknya itu dan kadang-kadang ia turut membawa batik itu ke tempat ia bekerja dan menjualkannya ke teman-teman sekantornya, sementara aku, seminggu sekali pulan ke rumah untuk memberi motivasi dan semangat untuk keluargaku, dan tinggal di rumah dari bambu ukuran tiga kali tiga meter di pondok itu, sambil menunggu datangnya rejeki dari Allah untuk bisa melanjutkan kuliah ke luar negeri. Itu harapanku satu-satunya.Karena gaji pensiun milik ayah sudah habis untuk menyahur biaya membangun rumah dan membayar biaya perawatan ibu sebelum meninggal di rumah sakit Karang Menjangan. Itulah keluarga kami, kami merasa seperti hidup kembali. Walau ibu tidak lagi berada di sisi kami untuk selamanya, namun doa kami selalu menyertainya tiap ba’dal maktubah. Inilah hikmah dari berbagai masalah yang menimpa kami, mendekatkan kami kembali setelah sekian lama dirundung berbagai masalah yang selalu mendatangkan air mata, dan kini diganti oleh Allah dengan kebahagiaan yang tiada terkira. Abadikan kebahagiaan ini ya Allah. Amin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun