Dalam dinamika kenegaraan yang terus bergulir, Rocky Gerung merupakan sosok yang familiar bagi masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan. Kemampuan beretorika secara terstruktur, menguasai berbagai diskursus Ilmu pengetahuan, mengecoh lawan debatnya, serta kampanye akal sehat yang digaungkan membuat dirinya dijuluki sebagai "Presiden akal sehat".
Secara teoritis telah diketahui bersama, bagi negara yang menganut sistem demokrasi, termasuk Indonesia. Kehadiran oposisi berguna untuk mengontrol dan menjaga keseimbangan (check and balances) pada penyelenggaraan negara, agar menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Terlepas dari pro/kontra, Rocky Gerung merupakan sosok oposisi idealis yang sangat konsisten menyikapi dinamika kenegaraan dengan kritikan-kritikan tajam. Meskipun, beberapa kali dilaporkan atas pencemaran nama baik, karena dianggap menghina pejabat publik tertentu. Hal tersebut tak membuatnya gentar, kritikan demi kritikan terus dilontarkannya.
Dapat ditemukan dalam berbagai sumber, Rocky Gerung pernah berkuliah di Universitas Indonesia (UI) dengan jurusan Ilmu Politik dan Ilmu sosial pada tahun 1979, lalu pindah ke jurusan Filsafat dan lulus pada tahun 1986. Meskipun hanya bergelar sarjana, Rocky Gerung menjadi dosen dan sempat terhenti karena hadirnya kebijakan bahwa seorang dosen minimal bergelar sebagai magister. Selain menjadi akademisi, Setara Institute dan fellow pada Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) berdiri karena ide yang dipeloporinya.
Untuk sampai pada capaian pengetahuan seperti Rocky Gerung, hal utama yang perlu dijadikan prinsip mendasar ialah konsistensi dan pengetahuan sejatinya tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Sebagaimana pernah dikatakan oleh Karl Marx, "ketidaktahuan tidak akan menyelamatkan siapapun".
Mahasiswa secara umum telah dikenal sebagai insan yang menghendaki perubahan sosial (agent of change) dengan kemampuan intelekualitas. Dalam mimbar-mimbar akademik, baik secara formal maupun non formal, pandangan Rocky Gerung seringkali digunakan sebagai bahan acuan dalam berdiskusi maupun berdialektika. Namun, seiring dengan hal tersebut terdapat pula kalangan mahasiswa yang mengalami kontradiksi berpikir antara ide dan realitas.
Secara ide mereka ingin seperti Rocky Gerung. Sedangkan pada realitas, tidak ada upaya yang dilakukan, seperti halnya; membaca buku maupun berpartisipasi menghidupkan tradisi intelektual agar terbentuknya pemikiran-pemikiran kritis. Olehnya itu, jika mahasiswa masih tergerus dalam arus digital, maka perubahan sosial hanyalah sebuah angan-angan. Ayo sama-sama merefleksikan diri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H