Sebulan lalu, Manahan masih gemuruh dengan laga terakhir Piala AFF. Laga hidup-mati melawan Filipina. Hasilnya mengecewakan. Timnas kalah oleh gol tunggal pinalti, plus dapat kartu merah.
Saya kebetulan menyaksikan langsung laga tersebut. Bersama teman saya, berangkatlah kami ke kota Solo. Sabtu malam, Manahan penuh dengan suporter timnas. Bukan hanya gerombolan anak muda, ada juga sepasang orang tua dengan anak kecil yang kompak pakai jersey. Suasana stadion terasa hangat.
Kursi manahan hampir penuh. Pukul 19.00, pemain dan staf sudah masuk lapangan untuk pemanasan. Sosok STY masuk lapangan pertama. Suara gemuruh dengan panggilan nama beliau langsung terdengar seluruh stadion.
Akhir laga setelah nyanyian lagu tanah air, pemain, staf dan STY keliling lapangan. Nama beliau masih diteriakkan. Hasil kekalahan tidak membuatnya dihujat karena suporter tahu, pemain yang dibawa bukan skuad utama. Ternyata, malam itu adalah terakhir kalinya nama beliau berkumandang di stadion.
Roma tidak dibangun dalam semalam. Sultan Mehmed tidak bisa menembus benteng konstantinopel dalam sehari dua hari. Portugal dan Spanyol butuh berbulan-bulan mengarungi lautan untuk mencapai negeri rempah.
Semua butuh proses. STY membawa ide proses tersebut ke negara ini. Dia datang dari negara yang ia bawa ke piala dunia menuju negara yang timnasnya sekadar untuk umpan saja masih ia ajari.
Ia berani memotong generasi. Mengenalkan bahwa bisa masuk ke Piala Asia itu bukan sekadar mimpi. Masuk ke R3 kualifikasi Piala Dunia juga bukan hal yang tidak mungkin. Bahkan bisa kalahkan Arab Saudi itu hal yang terjadi nyata beberapa bulan lalu.
Tentu saja ia bukan dewa. Kritik ketika lawan Cina sangat layak. Eksperimen taktik, gaya main dan pilihan pemain juga sering dipertanyakan. Itulah proses.
Timnas Indonesia masih medioker. Level Jepang masih jauh. Timnas belum berprestasi di level Asia atau Dunia. Jangan berfikir kita ini jago. Tim ini masih berkembang.