Kabar duka datang dari Bapak Sutopo, kepala pusat data dan informasi BNPB. Beliau banyak dikenal masyarakat karena terdepan mengabarkan ketika terjadi bencana. Dedikasinya yang tinggi akhirnya terpaksa berhenti ketika kanker menyudahi pengabdiannya kepada masyarakat. Setelah beliau meninggal, muncul sebuah gerakan yang dinamakan #SuaraTanpaRokok. Gerakan ini menyebut Bapak Sutopo meninggal karena terkena kanker karena menjadi perokok pasif. Apakah ini momen yang pas untuk menggalakkan kampanye anti rokok?
Kampanye anti rokok sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Orang yang menolak rokok umumnya tidak suka terhadap asap rokok yang bisa membuat mual. Kampanye anti rokok menginginkan orang agar sadar bahaya rokok bagi kesehatan. Kematian orang akibat penyakit kanker menjadi bukti bahaya rokok ini. Tapi apakah rokok selalu berbahaya bagi tubuh?
Sering kita melihat orang tua yang merokok namun secara lahiriyah keadaan fisiknya masih segar bugar. Rokok sepertinya tidak mengganggu kesehatan orang-orang ini. Rumus rokok selalu mengganggu kesehatan rupanya tidak berlaku. Berarti rokok bukan satu-satunya alasan kesehatan orang terganggu.
Bukan berarti rokok tidak mengganggu kesehatan. Tapi menyalahkan rokok sebagai satu-satunya alasan penyakit seseorang menjadi kurang tepat. Premis seorang perokok yang terkena kanker akibat rokok yang dihisapnya dan seorang non perokok yang terkena kanker karena menjadi perokok pasif harus dikaji lagi.Â
Cancer Research UK mengatakan jutaan orang Inggris berisiko terkena kanker karena obesitas. Ada 13 jenis kanker berbeda terkait erat dengan obesitas seperti kanker payudara, kanker usus, kanker pankreas, kanker esofagus, kanker hati, kanker ginjal, kanker perut bagian atas, kanker kantung empedu, kanker rahim, kanker ovarium, kanker tiroid, kanker multipel mieloma (kanker darah) dan meningioma atau kanker otak.
Pola hidup yang serampangan juga bisa menyebabkan kanker. Triyani Kresnawan, DCN Mkes Instalasi gizi RSCM mengatakan makanan cepat saji juga dapat meningkatkan resiko terkena kanker. Dua variabel ini saja yaitu obesitas dan pola hidup ternyata juga menyebabkan penyakit kanker. Rokok tidak berdiri sendiri.
Menolak rokok sambil nyinyir orang yang merokok juga bukan tindakan tepat. Bung Karno pernah bertemu dengan Fidel Castro sambil membawa rokok buatan Inggris. Fidel Castro bertanya, bung kenapa anda membawa rokok asing? Sambil tertawa Bung Karno menjawab mari kita bakar bersama rokok buatan asing ini. Fidel Castro akhirnya ikut tertawa sambil membakar rokok tersebut. Bagi Bung Karno, rokok menjadi alat diplomasi. Sama juga yang ia lakukan kepada Khurchev.
Sujiwo Tejo dan Cak Nun juga sering membakar rokoknya ketika di atas panggung. Cak Nun dalam Maiyah sering menarik dalam-dalam hisapan rokoknya disela-sela gairah masyrakat berkumpul untuk mencari ketenangan. Sudah berapa banyak atlet yang dibuat berprestasi atas bantuan Djarum Foundation ataupun pajak rokok yang turut menyumbang fasilitas umum di sekitar kita.
Melihat tokoh dan lembaga di atas, apakah kita masih bisa nyinyir dan menyama ratakan orang yang merokok itu jahat dan tidak menghargai orang lain?
Asas kemanfaatan dapat dilakukan oleh semua orang. Baik perokok ataupun tidak. Tulisan ini tidak berniat membantah bahwa rokok menyebabkan kanker. Tapi bersikap adillah kepada mereka. Merokok bukan satu-satunya penyebab kanker. Melabeli orang yang terkena kanker karena menjadi perokok atau perokok pasif harus dikaji lagi. Masih ada variabel lain seperti pola hidup dan obesitas. Jangan hanya rokok yang disalahkan.
Salahkan saja perokok yang tidak tau tempat. Merokok di kendaraan umum, merokok dekat bayi ataupun merokok sambil berkendara sangat mengganggu orang lain. Gerakan "suara tanpa rokok" harusnya bisa diganti dengan "suara rokok santun".