Selama hampir empat tahun kuliah, praktis saya jarang melihat acara TV. Kontrakan tidak menyediakan televisi tetapi kami memasang WiFi. Sebenarnya kalau ingin, saya bisa streaming di internet. Tapi itu hanya saya lakukan pada siaran langsung bola, entah itu Liga Eropa ataupun Liga Indonesia. Acara TV Indonesia gitu-gitu aja. Bosen.
Salah satu faktor kesuksesan acara TV adalah rating. Karena semakin tinggi rating, maka peluang iklan yang di dapat akan semakin besar. Sebagai contoh adalah program Super Bowl Sunday yang mendapat rating tinggi di Amerika. Harga iklan di acara ini mencapai 4 juta dolar per 30 detik.
Mau tidak mau acara lain jika ingin sukses harus mengikuti acara yang memiliki rating tinggi. Proses meniru lebih mudah daripada menciptakan sebuah acara baru yang belum tentu memiliki rating tinggi. Contohnya adalah YKS. Acara yang sempat booming beberapa tahun lalu ini ditiru oleh stasiun TV lain dengan beda sedikit dalam pengemasan. Akhirnya semua TV memiliki acara yang serupa. Lagi-lagi bosan.
Saya tidak pernah mengikuti tren menonton acara tersebut. Bisa dibilang dari acara joget, dangdut kemudian acara lawak tidak ada satupun yang menjadi tontonan sehari-hari. Karena semua TV menyediakan acara yang sama, maka solusi saat itu adalah memilih untuk tidak melihat TV.
Pandji Pragiwaksono dalam World Tour "Juru Bicara" pernah membahas tentang rating ini. Menurutnya rating mematikan kekreatifan acara. Program seragam. Setiap program yang memiliki rating tinggi pasti akan ditiru oleh stasiun TV sebelah. Karena yang dikejar adalah rating. Apabila rating tinggi maka uang dari iklan yang masuk juga tinggi.
Â
Rating tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas acara. Acara bagus belum tentu mendapat rating yang tinggi pula. Bisa saja acara yang jelek dan hanya mengandalkan kehebohan mendapat rating yang tinggi.
AC Nielsen adalah satu-satunya Lembaga yang mengukur tingkat rating ini. Metodenya adalah menempatkan alat surveI di beberapa rumah untuk memantau acara yang dilihat oleh keluarga tersebut. Tetapi metode ini dikritik karena jumlah sampel panel TAM di Indonesia hanya 2200 penonton. Bandingkan dengan jumlah populasi televisi yang mencapai 45 juta.
Tetapi tidak semua stasiun televisi berhamba pada rating ini. Net TV dan Kompas TV menjadi contoh. Pangsa pasar mereka adalah anak muda yang bosan dengan acara TV yang monoton dengan menghadirkan acara yang berkualitas. Daripada menyajikan sinetron atau acara joget, mereka lebih memilih dengan membuat acara talkshow dengan format baru dan sitcom dengan tema-tema yang belum pernah ada sebelumnya.
Acara SUCI (Stand Up Comedy Indonesia) yang tayang di Kompas TV mendapat respon positif dari pemirsa. Apalagi anak muda. Belum pernah program seperti ini. Meskipun akhirnya TV mainstream lain ikut-ikutan, tapi belum ada yang dapat menyaingi acara SUCI ini.