Ungkapan Perang Badar, Partai Setan, Kafir sudahkah membuat kalian muak? Semakin mendekati hari pemilihan, ujaran yang disajikan ke publik malah semakin tidak karuan. Disaat pihak lawan melakukan kesalahan, mereka berlomba-lomba menertawakan dan menyerang balik. Demokrasi apakah ini?
Tiba-tiba di tengah keaadan ini muncul beberapa orang yang dipanggil oleh ulama. Banyak yang beranggapan ulama ini akan membuat adem atau setidaknya mengerem politisi yang kebanyakan omong. Suara ulama diharapkan memberi efek santun persaingan antara partai pemerintah dan oposisi.
Tapi nyatanya yang terjadi malah ustad/ulama ini yang malah membuat panas masyarakat Indonesia. Berkali-kali mereka melontarkan pernyataan yang kontroversial. Bukan sekadar khilaf, tapi lebih kepada kurang ilmu atau masuk membicarakan sesuatu hal yang belum dimengerti.
Haikal Hasan contohnya. Oleh sebagian kecil masyarakat dia dipanggil sebagai ustadz. Padahal berkali-kali ia salah mengutip ayat, salah menafsiri bahkan salah mengambil referensi.
Pertama dia salah mengartikan Islam Nusantara. Ia mengatakan bahwa Islam hanya satu tidak perlu ada nusantara. Padahal secara sederhana, Islam Nusantara adalah Islam yang berkembang di Nusantara. Semudah itu. Kedua dia mengatakan Nabi Muhammad bisa membaca dengan mengutip QS Al Bayyinah ayat 2. Dia mengartikan kata yatluw. Secara sembrono ia menafsiri tanpa mengetahui asal kata tersebut.
Kesalahan lagi yang ia buat adalah menyebut perbedaan kata kafir dan kufar. Dia mengartikan bahwa kafir adalah orang non islam yang tidak memusuhi islam, sedangkan kufar adalah yang memusuhi. Padahal jelas, bahwa kufar adalah bentuk jamak dari kafir.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Teungkuzul. Berkali-kali cuitannya di twitter membuat orang panas dengan argument ngawur dan asal jeplak. Dia juga salah mentasrif kata kafir. Selain itu dia juga ikut menyebarkan hoax tentang surat suara 7 kontainer.
Terbaru ia mengatakan RUU PKS mengatur penyediaan alat kontrasepsi oleh pemerintah bagi remaja dan pemuda yang ingin melakukan hubungan seks. Meskipun telah ia cabut ucapannya itu. Di sisi lain ia juga berucap bahwa tidak bisa disebut kekerasan dalam rumah tangga apabila ada suami yang memaksa istrinya berhubungan intim. Walaupun istri tersebut sedang capek. Harus menuruti kata suami.Sekelas orang yang dipanggil ulama bisa ngomong begitu.
Kembali lagi ke Haikal Hasan, referensi kafir-kufar yang ia maksud adalah merujuk pada tulisan gusdur di buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Konteks yang disampaikan gusdur adalah  QS al-Fath [48]:29 yaitu "bersikap keras terhadap orang kafir dan bersikap lembut terhadap sesama muslim (asyidd'u 'all-kuffr ruham baynahum). Gus Dur berkata bahwa yang dimaksud al-Qur'n dalam kata "kafir" atau "kuffar" adalah orang-orang musyrik (polytheis) yang ada di Mekkah, waktu itu. Tidak ada perbedaan makna seperti yang diucapkan Haikal Hasan.Â
Kalau urusan tasrif dan cara pengambilan referensi saja salah, masih bisakah disebut ulama?. Padahal tasrif adalah ilmu alat yang menjadi dasar pemahaman gramatika arab sedangkan pengambilan kesesuaian referensi menentukan kecakapan seseorang mencari, memilih, menyaring dan menentukan data/dalil yang dapat dijadikan referensi suatu masalah. Tasrif tentu juga menentukan tafsir apalagi tafsir sebuah ayat. Kalau tidak menguasai ilmu ini, kok beraninya menafsiri sebuah ayat?
Ternyata pangkal masalah dari kegaduhan ini adalah ketidaksiapan dan terlalu berada di awang-awang ketika ada sebagian masyarakat yang menganggap seseorang sebagai ulama. Salah satu cara mudah menanggapi keinginan masyarakat tersebut adalah berpakaian selayaknya ulama tapi berbicara layaknya orang kesetanan. Ceramah dengan kasar, sebar hoax dan menjelekkan orang lain. Apakah ini ulama yang dimaksud?