Hari selasa kemarin, demo paguyuban supir angkot Kota Malang kembali dilakukan. Alasannya sama seperti demo beberapa bulan yang lalu. Supir angkot merasa pendapatan mereka berkurang gara-gara ojek online yang mulai membanjiri jalan kota Malang. Mereka menuntut larangan operasional ojek online di Kota Malang. Apakah persoalan pendapatan mereka akan terselesaikan?
Saya sendiri bukan pengguna aktif keduanya baik angkutan konvensional maupun online. Selama 3 tahun di Malang, naik angkutan kota sering saya lakukan ketika ingin pulang ke kampong halaman. Itupun terjadi di tahun pertama kuliah di kota ini. Sedangkan angkutan online saya rasakan justru bukan di Malang, melainkan di Surabaya waktu ada kunjungan ke kampus teman.
Jadi bagaimana menyikapi persoalan kedua angkutan ini? Angkutan konvensional di Kota Malang cukup merata, menjangkau hamper seluruh wilayah kota sehingga sangat sering kita lihat angkutan dengan warna biru ini menghiasi jalan jalan besar Kota Malang. Masalahnya, mereka juga sering ngetem sembarangan sehingga banyak yang mengeluh kemacetan di berbagai titik disebabkan angkutan ini. Angkutan ini juga lambat mengikuti perkembangan zaman, upgrade yang saya ketahui hanya sebatas penambahan audio dalam angkot, cat yang baru selain tarif yang naik tentunya. SDM supir angkot juga menjadi keluhan penggunanya. Penarikan tarif diluar ketetapan ketika malam hari yang sepia tau ugal-ugalan.
Angkutan online juga tidak tanpa cela. Kesepakatan demo bulan-bulan sebelumnya sebenarnya mengatur zonasi antar angkot dan ojek online. Sejauh yang saya tahu, angkutan online dilarang mengambil penumpang di sekitar wilayah stasiun, terminal dan pasar. Tapi masih sering ditemui pengemudi ojek online mencuri-curi kesempatan untuk mencari penumpang di wilayah ini. Resikonya tentu besar, muka bonyok sampai kerusakan kendaraan menjadi taruhannya.
Pemerintah Kota Malang jangan sampai membuat kesepakatan yang merugikan salah satunya. Penghapusan ojek online seperti tuntutan paguyuban supir angkot bukan solusi yang tepat. Ojek online terbukti membantu pendatang maupun wisatawan yang tidak mengerti jalur angkot maupun yang masih merasa takut untuk menggunakan transportasi konvensional ini. Pekerjaan besar buat angkot untuk memperbaiki sisi kenyamanan dan keamanan.
Pembagian zonasi seperti yang sebelumnya juga belum dapat menyelesaikan persoalan ini. Demo kedua menjadi bukti nyata. Zonasi ini belum sepenuhnya dipatuhi oleh keduanya. Berbeda lagi apabila dalam aplikasi angkutan online ada sebuah fitur yang membuat pengguna tidak dapat memesan ketika berada di zona terlarang. Tentu anggaran untuk merubah dan mengupgrade fitur ini tidak murah.
Angkutan kota juga harus ada perubahan. Zonasi seperti contoh di atas dilakukan dengan upgrade juga di sisi angkutan konvensional. SDM supir diperbaiki, penambahan fasilitas keamanan dan kenyamanan serta pengawasan tarif yang lebih ketat. Â Saya sebenarnya juga berfikir bagaimana jika angkotan kota di online kan? Tapi pertanyaan tersebut belum dapat menjawab masalah pengguna angkot yang sudah berusia lanjut maupun yang masih gaptek. Beberapa tahun lagi mungkin ide untuk meng-onlinekan angkot dapat terlaksana dengan teknisan yang berbeda pula.
Pemerintah Kota Malang harus segera menemukan solusi yang cepat dan tepat. Aksi persekusi beberapa bulan lalu akibat salah paham diantara kedua angkutan ini jangan lagi terjadi. Apalagi aksi premanisme di beberapa wilayah yang rawan mengancam dua jenis angkutan ini.
Bagaimana dengan ungkapan 'rejeki sudah ada jatahnya sendiri, mengapa harus khawatir kehilangan?'. Karena levelnya adalah pemkot, tidak layak ungkapan ini menjadi jawaban persoalan diantara dua jenis angkutan ini. Pemkot menjawab dengan teknis bukan dengan ungkapan apalagi motivasi. Jika hanya itu jawabannya, lantas apa bedanya dengan jawaban debat kusir di warung-warung kopi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H