Menjadi wanita akhir-akhir ini terasa sulit. Feminisme terasa semakin kuat. Semakin hari pegiat teknologi berlomba-lomba memanjakan dan mengekploitasi wanita terutama soal kecantikan. Sosial media untuk lucu-lucuan sudah ada, untuk merekam aktivitas sehari-hari makin banyak, dan ujung-ujungnya adalah keberadaan yang hanya akan dinilai dengan materialisme.
Wanita disebut ada apabila eksis di sosial media. Mengabadikan momen sehari-hari, upload foto di segala kegiatan, bahkan rela melakukan sesuatu untuk mendapatkan gambar dan video yg uploadable ketika kehabisan stok foto. Arus yang mungkin menyeret sebagian besar wanita.
Instagram menyediakan segalanya. Foto dengan caption yang kadang dipaksakan, snapgram disetiap kesempatan sampai melakukan siaran langsung yang tidak penting sama sekali. Sering didapati siaran langsung yang menampilkan full wajah dan bicara tanpa arah. Ternyata untuk eksis sekarang jadi semudah itu.
Ketika prestasi selain yang disebut diatas tidak ada, maka keruntuhan struktur sosial tinggal menungu waktu. Wanita yang merupakan tiang pengayom telah disibukkan dengan hal yang memabukkan seperti Instagram. Candu yang perlu dikonsumsi lebih dari tiga kali sehari tentunya. Melebihi jumlah makan mereka sendiri.
Prestasi yang berhubungan dengan keilmuan dipandang tidak penting. Membaca buku ditinggalkan karena membaca dan scroll foto di Instagram lebih seru. Foto wanita cantik dengan gincu berwarna-warni lebih segar daripada jejeran tulisan yang membosankan pada buku-buku. Apalagi lebih enak berteman secara dunia maya. Saling tegur sapa di depan rumah membosankan apalagi dengan basa-basinya dengan tetangga. Hidup sendiri, toh teman instagram lebih peduli dengan love dan pujian saat siaran langsung.
Bagaimana dengan laki-laki?Â
Podo wae lah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H