Pada hari ini, Senin tanggal 4 Agustus 2014 yang juga bertepatan dengan tanggal 8 Syawal 1435 H merupakan hari yang paling ditunggu masyarakat Pekalongan dan sekitarnya karena adanya tradisi Syawalan. Tradisi ini memang rutin digelar setelah puasa enam hari di bulan Syawal. Syawalan di Kota Pekalongan, khususnya daerah Krapyak berbeda dengan tradisi Syawalan di daerah lain. Ciri khasnya adalah adanya pemotongan lopis raksasa sehingga tradisi ini juga disebut Lopisan atau Krapyakan. Saat ini Lopisan sudah menjadi agenda pariwisata tahunan Kota Pekalongan. Pemotongan lopis raksasa dilaksanakan di dua tempat, Krapyak Lor Gang 1 dan Krapyak Kidul Gang 8.
Lopis merupakan sejenis makanan rebus yang bahan bakunya berasal dari ketan. Pemilihan ketan sebagai bahan baku lopis sesungguhnya sarat akan makna filosofis. Ketan memiliki makna lengket ini menyimbolkan semangat persaudaraan, persatuan dan perdamaian. Awal pembuatan lopis raksasa di Krapyak ini sudah dimulai sejak 1955 namun upacara pemotongan lopis ini baru dimulai sejak tahun 1956 oleh bapak Rohmat, Kepala Desa tersebut pada saat itu. Dulu pembuatan lopis raksasa memang bertujuan untuk diberikan kepada tamu dan pengunjung.Awalnya masyarakat mengumpulkan jimpitan beras ketan dari masing- masing rumah kemudian dijadikan satu dan dibuat lopis.
Lopis besar pertama yang dibuat hanya berukuran tinggi sekitar 25 sentimenter. Ukuran itu bertahan hingga tahun 1980. Barulah saat itu pemuda setempat berinisiatif untuk memperbesar ukuran lopis dan baru disebut lopis raksasa. Lopis raksasa pertama dibuat tahun 1980 mempunyai ukuran tinggi 80 sentimeter dengan ukuran lingkaran 115 sentimeter. Kini lopis raksasa yang dibuat mencapai ukuran tinggi 213 centimeter dengan ukuran lingkaran 232 meter dan berat 1252 kilogram.
Prosesi lopisan dimulai dengan memotong lopis raksana oleh walikota atau pejabat Forpimda Kota Pekalongan kemudian dibagikan kepada masyarakat yang hadir. Selain menghadiri acara pemotongan lopis, masyarakat juga berkunjung ke rumah sanak kerabat yang telah siap menyambut mereka. Beragam masyarakat dari berbagai etnis berkumpul menjadi satu merayakan lopisan. Ini menyimbolkan semangat persatuan dan persaudaraan diantara beragam etnis, suku dan kelompok sosial masyarakat Kota Pekalongan. Dihari itu mereka menanggalkan perbedaan dan bersatu sebagai sebuah keluarga besar.
Kota Pekalongan menjadi contoh daerah yang dihuni oleh beragam etnis dengan perbedaan budaya dan adat istiadat. Sebagai wilayah di pesisir pantai utara Jawa (Pantura), Kota Pekalongan menjadi jalur perdagangan yang banyak disinggahi berbagai etnis sejak dulu mulai etnis Jawa, Bugis, Arab dan Tionghoa yang kemudian berbaur menjadi satu dalam kemajemukan yang penuh dengan toleransi sehingga selama ini di Kota Pekalongan tidak ada kerusuhan yang mengatasnamakan SARA (suku, agama dan ras).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H