Di suatu malam sekitar pertengahan tahun 2011, saya bertugas piket malam di Lapas Pekalongan. Malam itu bulan bersinar terang dan bintang-bintang berkelap-kelip manja. Suasana kekeluargaan dan kehangatan juga menyelimuti kami yang bertugas menjaga keamanan di Lapas. Seperti biasanya dalam setiap kesempatan tugas piket, saya menyempatkan diri untuk mengobrol santai dan berdiskusi kecil dengan sesama petugas maupun Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Hal itu saya lakukan agar selalu up to dateterhadap informasi keamanan dan pembinaan di dalam Lapas karena tidak setiap saat saya bisa seperti itu, mengingat tugas saya di bidang keuangan, kepegawaian dan pengelolaan barang milik negara banyak menyita waktu kerja saya di siang hari. Maka dari itu bila mendapat tugas piket malam, saya gunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.
Dalam menjalankan tugas piket malam, saya mempunyai kewajiban untuk mengontrol blok-blok hunian sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Kepala Regu Pengamanan (Karupam). Sembari mengontrol blok-blok hunian itulah saya manfaatkan kesempatan untuk berdialog dan berdiskusi dengan WBP. Dari kegiatan itu saya sering mendapat pelajaran kehidupan berharga dari mereka dan mengetahui harapan-harapan mereka dalam menjalani pidana di Lapas. Banyak WBP yang mengungkapkan penyesalan diri dan kerinduan yang tak terperi terhadap anak dan istri di rumah. Mereka sadar bahwa kehidupan di luar sana lebih membahagiakan karena di Lapas penuh dengan keterbatasan.
Meskipun tugas utama saya di bidang kepegawaian dan keuangan, saya tidak menutup diri membantu kegiatan pembinaan WBP di Lapas karena saya senang kegiatan tersebut dan bisa mengaplikasikan ilmu-ilmu pendidikan yang saya dapatkan di kampus. Oleh karena itu sejak tahun 2010 saya mengambil studi Pendidikan Agama Islam di STAIN Pekalongan. Awalnya banyak rekan kerja yang heran saya kuliah disana namun berangsur-angsur mereka mengerti pilihan saya itu. Latar belakang saya sebagai pengurus remaja masjid, pengajar TPQ, guru SD dan pembina ekstrakurikuler Jurnalistik di SMA memudahkan saya beradaptasi terhadap kegiatan pembinaan WBP di Lapas.
Sejak menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Lapas Pekalongan pada tahun 2007, saya sudah niatkan hati untuk ikut membantu kegiatan pembinaan di Lapas. Awalnya ada beberapa petugas di Lapas yang mencemooh karena hal itu bukan bidang tugas saya. Mereka sering mengatakan, “Mas Anang, pegawai yang bertugas di pembinaan WBP saja belum tentu mau untuk melakukan hal itu. Mas Anang kok mau-maunya membantu kegiatan pembinaan?”
“Pak, selaku petugas Pemasyarakatan, kita juga mempunyai kewajiban untuk membina WBP. Kita janganlah mengkotak-kotak diri. Jika kita mampu membantu kegiatan pembinaan WBP, mengapa tidak? Saya tak mengharapkan bayaran. Saya hanya ingin ilmu yang saya punya bermanfaat.”
Seiring berjalannya waktu, akhirnya mereka bisa mengerti niat baik saya itu. Dalam menjalankan tugas di Lapas, memang tidak bisa lepas dari hambatan dan rintangan, baik itu dari sisi petugas maupun WBP itu sendiri. Namun bagi saya, hambatan seperti itu bukanlah penghalang mewujudkan mimpi, melainkan sebuah peluang yang harus ditaklukkan. Beruntung pimpinan dan beberapa petugas di Lapas masih ada yang mendukung langkah-langkah saya sehingga semangat dan cita-cita saya selalu terjaga dengan baik.
Niat baik memang harus dilakukan nyata. Sekitar bulan Juli tahun 2012, untuk menambah koleksi buku di Taman Bacaan WBP Lapas Pekalongan, saya meluncurkan Gerakan Hibah Buku melalui Radio Damashinta FM Pekalongan. Kalapas Pekalongan pada saat itu, Bapak Giri Purbadi, Bc.IP, SH, sangat mendukung kegiatan ini. Segala biaya yang timbul dari proses publikasi tersebut diakomodir dalam DIPA. Saya sangat bahagia, karena buku yang didapat cukup banyak dan beberapa petugas di Lapas ikut menyumbangkan bukunya. Tak lama kemudian, mulai tahun 2013 saya ditunjuk oleh Kalapas Pekalongan saat ini, Bapak Dr. Suprapto, Bc.IP, SH, MH untuk mengelola Taman Bacaan WBP.
Gayung pun bersambut, tak lama kemudian saya ditugaskan mengikuti Bimbingan Teknis (Bimtek) Pengelolaan Perpustakaan Khusus di Semarang yang diadakan oleh Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah (Arpusda) Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah. Dalam bimtek itu saya mendapat pelajaran penting bagaimana mengelola taman bacaan yang baik, mulai dari klasifikasi buku sampai dengan strategi promosi. Pada akhir kegiatan, saya mendapat kesempatan menyampaikan testimoni untuk mewakili peserta dari petugas pemasyarakatan se-Jawa Tengah.
“Terima kasih kepada Badan Arpusda Provinsi Jawa Tengah dan Perpustakaan Nasional yang telah memberi kami kesempatan untuk mengikuti kegiatan ini. Insya Allah setelah kegiatan ini kami akan mengaplikasikannya di UPT kami. Salah satu permasalahan mendasar di UPT Pemasyarakatan dalam mengembangkan Taman Bacaan adalah terbatasnya koleksi buku yang ada. Maka dari itu kami berharap kepada Perpustakaan Nasional untuk mengalokasikan bantuan buku agar kami bisa menarik minat baca warga binaan kami.”
Harapan itu pun akhirnya terwujud, di akhir tahun 2013 kami mendapat bantuan hibah buku sebanyak 1.000 eksemplar dengan 500 judul buku. Bantuan itu seperti oase bagi saya dalam mengembangkan Taman Bacaan. Dengan dukungan penuh dari Bapak Roni Darmawan, Amd.IP, SH., Kepala Seksi Binadik Lapas Pekalongan, kami segera menyusun Tim Pengelola Taman Bacaan yang terdiri dari saya dan tiga orang WBP, yaitu Tofik, Sugi dan Kusbiyanto. Saya bertugas untuk menyusun program kegiatan sedangkan tiga orang WBP tersebut bertugas untuk membantu saya dalam menjalankan roda kegiatan di Taman Bacaan.
Bagi saya, kerjasama adalah elemen penting dalam mengembangkan Taman Bacaan. Jika seorang diri, saya mungkin hanyalah setetes air yang tak berdampak. Dengan bekerja sama, kami adalah samudra raya yang sanggup menampung kapal-kapal besar berlayar. Untuk meningkatkan minat baca WBP, kami menggunakan berbagai macam strategi. Pertama, memasang baliho kalimat inspiratif di tempat yang strategis. Kalimat tersebut, seperti Hidupkan Kembali Semangat Membaca Kita agar Cerdas dalam Berpikir dan Bertindak. Kedua, memutar film edukatif bagi anggota Taman Bacaan yang aktif berkunjung dan meminjam bahan pustaka. Film yang pernah kami putar seperti 5 cm dan SangKyai. Strategi ini cukup berhasil. Salah satu WBP Lapas Pekalongan, Zubaidi menuturkan, “Saya merasa senang sekali setelah menonton film ini. Selain bisa melepas kejenuhan saya di Lapas, saya banyak mengambil nilai positif dari film itu seperti perjuangan hidup dan kehangatan keluarga. Saya berharap pemutaran film ini rutin dilaksanakan setiap bulan.”
Kalapas Pekalongan juga ikut turun tangan mengembangkan Taman Bacaan dengan mewajibkan seluruh WBP yang hendak mengurus hak-haknya, seperti Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), dan Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK) agar mendaftar dan aktif sebagai anggota Taman Bacaan. Strategi ini berhasil dengan baik sehingga anggota Taman Bacaan kami mencapai 400 orang. Sebuah pencapaian yang tidak pernah terpikir sebelumnya.
Tahun 2014 ini kami juga sedang menyusun rencana aksi (action plan) untuk menampung WBP yang mempunyai minat mengembangkan diri di bidang kepenulisan dan sastra dengan membuka Kelas Inspirasi. Ide ini sudah lama hinggap di kepala saya namun baru tahun ini akan direalisasikan. Langkah pertama yang saya lakukan adalah mengajak mereka menulis cerita tentang kehidupan selama menjalani masa pidana. Saya katakan pada mereka, “Beruntung sekali kita tidak mengalami masa penjara. Jika masih dalam masa penjara, mungkin kita tidak bisa seperti ini. Maka di Tahun Emas Pemasyarakatan, mari kita bagikan pengalaman hidup kita kepada orang lain. Semoga inspiratif dan membuat orang yang membaca tulisan kita menjadi lebih baik. Hidup di penjara jangan sampai membuat kita mati gaya. Kita masih bisa produktif. Kita bisa berkaca pada Bung Karno, Bung Hatta, dan Buya Hamka yang produktif menulis ketika masih dipenjara.”
Tak hanya aktif di Taman Bacaan, sejak tahun 2013 saya mendapat kepercayaan untuk ikut mengelola Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Ulum Lapas Pekalongan. Saya merasa bahagia mendapat kepercayaan itu, selain sesuai dengan latar belakang pendidikan saya, hal itu merupakan tugas yang mulia dalam membina mental agama WBP di Lapas. Tugas itu saya awali dengan menyusun program pengembangan Ponpes bersama Kalapas Pekalongan dan Ustadz Yasir, salah satu pengasuh Ponpes Darul Ulum.
Pada tanggal 13 Juni 2013, kami bertiga melakukan diskusi dengan Walikota Pekalongan terkait dengan rencana implementasi model Ponpes berbasis Tahfidhzul Qur’an dalam pembinaan narapidana di Lapas. Pertemuan tersebut juga dihadiri Bapak Dr. H. Imam Suradji, M.Ag selaku dosen pasca sarjana di STAIN Pekalongan. Setelah mendengar penjelasan kami, Walikota Pekalongan tergerak hatinya untuk membantu realisasi program tersebut dengan merekomendasikan kami untuk segera membuat proposal. Hari itu juga kami membuat proposal dan kami ajukan kepada Walikota Pekalongan dan langsung mendapat persetujuan dari beliau.
Melalui surat Walikota Pekalongan nomor : 900/02816, tanggal5 September 2013, perihal Alokasi Dana Hibah P-APBD Kota Pekalongan Tahun Anggaran 2013, kami mendapat alokasi dana hibah untuk Implementasi Model Ponpes Berbasis Tahfidzul Qur’an di Ponpes Darul Ulum sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). Sejak bulan Oktober 2013 kami mulai menjalankan program tersebut dan sampai sekarang kegiatan tersebut masih berjalan lancar.
Pada tahap awal, program tersebut diikuti oleh 40santri Ponpes yang benar-benar niat untuk hafal Qur’an dan memiliki keinginan kuat untuk memperbaiki akhlaknya. Pusat kegiatan program tersebut dilaksanakan di dua tempat yaitu Masjid At-Taubah dan Aula Bimaswat Lapas Klas IIA Pekalongan. Selama program berlangsung, seluruh santri tinggal di Aula Bimaswat dan dibimbing secara bergantian selama 24 jam oleh Pengasuh Ponpes dan Tim Pelaksana dari intern pegawai Lapas Klas IIA Pekalongan.
Saya sendiri mendapat tugas mengasuh ponpes setiap malam Jum’at. Dalam kajian yang disampaikan, saya memadukan unsur ilmu-ilmu keislaman dan pemasyarakatan seperti kewajiban sebagai makhluk Tuhan dan WBP. Pendekatan personal juga saya lakukan agar memudahkan saya memasukkan nilai-nilai yang baik dalam diri mereka. Untuk menghilangkan kejenuhan, sesekali saya putarkan film pendek tentang kejujuran seperti Selamat Siang Risa dan kisah-kisah sahabat Rasululloh.
“Untuk menjadi orang baik dan dapat diterima kembali oleh keluarga, masyarakat, dan lingkungan, bapak-bapak dan mas-mas sekalian harus menunjukkan perubahan diri. Buktikan kepada mereka jika bapak dan mas sekalian sudah berubah menjadi orang baik. Insya Allah lambat laun mereka dapat menerima kembali. Kuncinya ada pada diri bapak dan mas sekalian. Kami di Lapas hanya bisa menunjukkan mana jalan yang baik dan mana yang buruk. Sopirnya adalah bapak dan mas sekalian.” Pesan tersebut sering saya sampaikan pada setiap kesempatan bertatap muka dengan WBP agar mereka termotivasi untuk merubah diri.
Setelah sering terjun dalam kegiatan pembinaan WBP, saya merasa menjadi manusia yang lebih berarti. Ternyata sebagian besar WBP membutuhkan partner dalam menemukan jati dirinya sebagai manusia, mengembangkan kreatifitas dan mengelola emosi dengan baik. Dari itulah saya ingin mewakafkan sebagian diri saya untuk kegiatan pembinaan WBP di Lapas. Betapa bahagia hati ini bila kelak Lapas bisa menjadi Lembaga Pertobatan WBP sebagaimana cita-cita Bapak Dr. Sahardjo, SH, “...Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan ... Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat.”
There is a will, there is a way. Dimana ada kemauan disitu ada jalan. Dalam membina WBP tentunya tidak selalu berjalan mulus. Ada halangan dan rintangan yang harus dihadapi. Pernah suatu ketika, saya menangkap basah salah satu santri ponpes binaan saya menggunakan handphone. Kepercayaan saya seketika itu juga runtuh. Bagaimana tidak, sudah sering saya ingatkan untuk tidak menggunakan handphone di Lapas tapi masih saja ada yang menggunakannya. Apalagi dia adalah salah satu santri di ponpes yang saya percaya. Namun kekecewaan itu tidak berlangsung lama karena ada orang-orang yang membesarkan hati saya. Salah satunya adalah Ustadz Yasir.
“Mas, kita niatkan saja semuanya untuk Allah. Kita bekerja tidak hanya untuk mereka. Yang utama adalah untuk Allah. Biar nanti Allah yang akan menilai. Kita lakukan saja tugas pembinaan ini dengan ikhlas. Mudah-mudahan keikhlasan kita ini membuat WBP binaan kita bertaubat.”
“Benar juga Ust. Saya kemarin merasa kecewa terhadap sama si Fulan. Terima kasih sudah mengingatkan saya. Kini saya semangat lagi untuk meneruskan program-program pembinaan di ponpes Lapas.”
Berbicara mengenaihandphone, lebih dari lima kali saya berhasil menangkap basah WBP yang sedang menggunakannya. Namun keberhasilan itu tidak selalu berbuah manis. Sampai hari ini saya masih terngiang ancaman salah satu WBP yang berniat mencelakakan saya jika masih terus menangkap WBP yang kedapatan memakai handphone. Menghadapi ancaman itu saya tidak gentar. Dengan beberapa rekan kerja saya katakan, “Saya lakukan itu semata-mata menjalankan tugas negara. Tentunya kita juga tahu jika program Anti Halinar sedang kita jalankan di Lapas. Mengenai ancaman itu saya serahkan pada Allah. Hidup dan mati kita tidak di tangan WBP, melainkan di tangan Allah.”
Semua hambatan dan tantangan itu memang harus disikapi secara bijaksana, bila tidak maka akan melemahkan semangat kita. Seperti halnya keterbatasan anggaran di tahun 2014 ini. Jika kita menyerah pada keadaan maka kita tidak akan berbuat apa-apa. Menyikapi hal tersebut, saya memanfaatkan potensi yang ada di Lapas untuk menyelesaikan masalah. Sebagai contoh, ketika anggaran untuk membiayai uang transport penyuluh agama Islam di ponpes tidak ada, maka kami menggunakan sumber dana infak pegawai. Saya percaya jika kita punya niat yang tulus maka akan menarik “magnet kebaikan” orang lain. Hal ini juga berlaku ketika kegiatan Ponpes ingin kami publikasikan, tak lama kemudian pihak Batik TV, salah satu stasiun TV di Kota Pekalongan, mengajak kerjasama dalam program Rohani Islam (Rohis) selama sepuluh episode.
Selalu ada peluang di tengah keterbatasan. Perjuangan kita mewujudkan Pemasyarakatan yang inovatif, bersih dan bermartabat tidak boleh terhenti karena tidak adanya anggaran. Kita bisa menjalin kerjasama dengan pihak ketiga dan memanfaatkan potensi yang kita punya. Keterbatasan itu seharusnya menjadikan diri kita kreatif dan inovatif dalam mencari jalan keluar permasalahan yang ada. Mimpi saya juga belum berhenti sampai disini. Saat ini saya masih bermimpi, minat dan bakat WBP bisa terserap semua di unit-unit kegiatan pembinaan di Lapas. Walau kondisi sekarang belum memungkinkan, tapi saya percaya suatu saat nanti mimpi ini akan terwujud. Seperti kata Walt Disney, If you can dream it, you can do it.Jika kamu dapat memimpikannya, kamu dapat melakukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H