SEPUCUK SURAT DARI MALAIKAT KECILKU
Aku tengah dilanda dilema yang luar biasa, karna bukan hanya aku sekarang terpenjara, tapi dokter juga memvonisku ternfeksi virus HIV/Aids, tak seorangpun bias membuatku tenang, hanya sepucuk surat dari malaikat kecilku yang dapat membuat jiwaku tak terguncang.
Sebut saja namaku Rima (bukan nama asli). Lewat kesempatan membuat cerpen ini, ingin ku ungkapkan kisah nyataku kepada pembaca, tentang kenyataan pahit yang harus ku hadapi, yang selama ini menyesakkan dada.
Masalahku bermula dari perceraianku dengan mantan suamiku, Romi, yang sudah hampir berpisah dengannya 1 tahun. Mahligai rumah tanggaku dulu bersama Romi bahagia, hingga kami dikaruniakan buah hati seorang anak perempuan yang cantik dan lucu yang kami namai Nayla tetapi kebahagiaan rumah tanggaku bertahan 5 tahun saja bersama Romi.
Banyak ribuan jari telunjuk menyalahkanku kalau aku ini perempuan bodoh dan egois. Karena aku pergi membawa Nayla, putriku yang saat itu berumur 4 tahun dari rumah, dan ketika Romi dating ke rumah orang tuaku untuk menjemputku pulang bersamanya tetapi aku lebih meminta Romi menceraikanku.
Waktu itu Romi mengalami PHK dari tempat kerjanya, dan berstatus pengangguran, hampir 2 tahun setelah Romi diberhentikan bekerja, walau selama 2 tahun berstatus pengangguran. Saat itu Romi juga sering melamar ke berbagai perusahaan, tapi hasilnya belum juga satupun perusahaan yang mau menerimanya, yah… maklum di jaman sekarang ijazah SMA, sangat rendah dan sulit untuk bertaruh nasib di ibu kota Jakarta, sebagai kota metropolitan, dan mau tidak mau aku harus mempertahankan pekerjaanku sebagai sales girl di showroom mobil di kawasan Jakarta Utara tempatku bekerja, yang sudah aku bekerja hampir 3 tahun, ketika Nayla anakku berumur 1 tahun. Karena harus membantu Romi mencari kekurangan kebutuhan hidup kami, belum lagi tuntutan keinginanku yang ingin membantu ibuku, karena ayahku hanya seorang pegawai sipil dengan golongan rendah. Dan kelamaan kejenuhanku mendalam pada Romi karena kerap kali aku yang lelah setelah bekerja. Ketika di rumah kontrakanku tak ada Romi dan Nayla anakku, padahal aku lelah yang teramat ingin merebahkan segala rasa cape, dan rasa jenuhku seharian bekerja, ketika sampai di rumah tak kudapatkan Nayla dan Romi, juga rumah kontrakanku pun terkunci. Padahal keinginanku ketika setelah pulang kerja ingin menghilangkan rasa cape dan lelahku bermain bersama Nayla, keinginanku di hati mungkin sama seperti ibu rumah tangga lainnya yang selalu setiap saat dapat mengurus rumah tangganya. Tapi harus bagaimana lagi, karena Romi sudah tidak bekerja lagi. Belum lagi aku yang lelah dan rindu pada Nayla, harus menjemput Nayla di rumah orang tua Romi yang hanya beberapa km jaraknya dari rumah kontrakanku dan juga harus pula mengambil kunci rumah yang dititipkan Romi pada ibunya. Sedangkan yang membuatku tambah kesal pada Romi, aku sering mempergoki Romi di poskamling dekat rumahnya bersama teman-temannya sedang asyik bermain kartu bahkan tak segan-segan berjudi. Itulah yang membuatku kesal pada Romi dan untuk yang kesekian kalinya perlakuan Romi seperti itu dan pada suatu saat meninggalkannya pergi ke rumah orang tuaku, dan setiap kali Romi datang ke rumah orang tuaku, aku lebih meminta Romi menceraikanku, hingga akhirnya pada suatu saat Romi yang bosan dan kesal bukan berhasil ingin membawaku pulang ke rumah kontrakan kami, Romi mengabulkan permintaanku agar menceraikanku.
KEBAIKAN AGUS TERNYATA ADA MAKSUD TERTENTU PADAKU
“Bagaimana pak … apa bapak sudah pastikan kondisi semua mobil yang akan bapak beli?” tanyaku pada seorang pria berparas tampan, tinggi kurus, dan kurasa umurnya pun tidak terpaut lebih sedikit tua di atasku. “Em… kalau saya suka dan pasti akan membelinya, kalau menurut mba sendiri gimana… Apa mba suka dengan mobil ini?” kata pria itu, yang sesekali memandangi kembali mobil CRV warna hitam yang akan dibelinya, membuatku bingung mengapa lelaki itu melontarkan pertanyaan seperti itu padaku. “Kalau saya suka banget pak, karena bukan hanya body mobilnya yang bagus, tapi memang sudah teruji mesinnya dalam kondisi fixed, bagus sekali.” jawabku pada pria itu, berusaha agar pria itu tidak mengurungkan niatnya yang sudah bulat ingin membelinya. Segala jurus rayuku keluar sebagai seoran sales girl, yang bekerja untuk menawarkan mobil yang disediakan di showroom mobil tempatku bekerja kepada customer, dan tentu saja merayu customer adalah keahlianku, sampai bos pemilik showroom mempertahankanku bekerja di showroom-nya hampir selama 6 tahun di perusahaannya, dan setelah pria itu beberapa jam melunasi pembayarannya dan mengurus surat-surat mobil CRV warna hitam yang dibelinya, dari ruangan teller ia tiba-tiba saja menghampiriku, “Oh… iya mba ini uang tips buat mba, sebagai terima kasih saya membantu memilih mobil yang bagus buat saya, dan karena mba suka juga mobil ini, dan akhirnya saya memutuskan membelinya.” sapa pria tampan itu sambil menyodorkan amplop coklat yang di dalamnya uang untukku. “Bener ini buat saya pak?” balasku. “Iya bener buat mba… selera kamu sama seperti saya, makanya saya bayar cash mobil ini, karena mba juga suka.” kata pria itu sambil mengambil tanganku agar menerima amplop yang berisi uang tips itu. Tentu saja kata-kata pria itu membuatku tersipu malu. Lalu pria itu mengambil sepotong lembar kartu nama dari dompetnya dan memberikan padaku sambil berkata, “Oh… iya jangan panggil saya bapak dong, apa tampang saya udah kaya bapak-bapak apa, panggil nama saya Agus… em… nama saya Agus, kalau nama mba siapa?” “Rima… namaku Rima, mas Agus terima kasih untuk uang tipsnya.” balasku. “Kalau Rima ada waktu nanti malam hubungi saya, sekiranya kalau Rima berkenan… karena aku berharap besok bias jemput Rima pulang kerja pakai mobil pilihan kita yang baru, bagaimana?” katanya lagi yang membuatku tersenyum kecil, sambil mengerutkan dahiku karena kata-katanya. “Kita… Ini kan mobil pilihan mas Agus. Saya menyukainya karena emang kondisinya sangat fixed kok.” balasku sambil tersenyum kecil. “Tapi bener lho… Rima karena ini pilihan kamu, pokoknya aku menunggu telepon dari kamu ok… Rima… please jangan ga.” kata Agus lagi sambil melangkahkan kakinya dan melambaikan tangannya padaku.
Malam itu aku mengambil handphone-ku yang sedang ku-charge dan kulihat sudah full batre di handphone-ku. Lalu aku mengambil sepotong kertas kartu nama yang tadi siang Agus memberinya padaku, mencoba menghubunginya karena rasa ucap terima kasihku padanya ternyata uang tips yang diberikannya padaku begitu besar setara dengan uang bayar kontrak rumahku sebulan, karena memang sehabis perceraianku dengan Romi 5 bulan aku memutuskan kontrak rumah dekat rumah ibuku, karena aku lebih mempercayai ibuku sendiri untuk menitipkan Nayla saat kutinggal bekerja, dan kebetulan sekali ibuku memang sangat menyayangi anakku Nayla, dan ketika aku pulang kerja aku habiskan waktuku bersama Nayla, bermain bersama, mengajari Nayla tentang pelajaran di sekolahnya, makan bersama Nayla. Rasa lelahku seharian sehabis bekerja terasa hilang jika sudah di rumah dan bersama Nayla. “Malam… ini mas Agus ya?” sapaku setelah ku tekan nomor yang tertera di kartu nama yang Agus berikan tadi siang. ”Ya… malam, benar ini saya sendiri. Ini siapa?” jawab Agus padaku. “Ini aku Rima…mas, sales yang di showroom siang tadi.” kataku. “Oh… iya Rima, aduh… kenapa baru hubungi aku, dari tadi aku menunggu telepon dari cewe cantik yang berambut panjang hitam.” kata Agus seolah-olah keluar jurus rayuan gombalnya padaku. “Maaf mas aku baru bisa telepon karena anakku baru saja tidur.” jawabku lagi. “Oh… kamu punya anak, berapa anakmu.. Rima?” tanyanya lagi padaku. “Anakku satu, perempuan mas.” jawabku. “Waw.. pasti cantik seperti kamu, berapa umurnya sekarang?” tanya Agus lagi kepadaku. “Sekarang umur 7 tahun.” kataku. “Siapa nama putrimu Rima?” “Em… aku baru tahu kenapa kamu baru bisa hubungi aku sekarang karena anakmu baru bobo, kamu juga nunggu papahnya bobo juga ya… Rima?” kata Agus sambil menyeringas tertawa meledekku. “Ups… gimana aku bisa kelonin papahnya, kalau aku sendiri udah ga pernah lihat dia hampir 2 tahun, mas.” kataku sambil menghampiri Nayla yang tertidur pulas. “Lho… kok bisa? Memang kemana bapaknya?” tanya Agus yang nadanya agak sedikit terdengar bingung. “Aku ga tau mas… karena sejak perceraian aku dan dia, aku dan Nayla anakku, tidak pernah bertemu lagi, entah kemana dia hilang begitu saja seperti musnah ditelan bumi.” kataku sambil menatap Nayla yang tertidur, dan sesekali kuusapkan telapak tanganku pada rambut Nayla. Tiba-tiba saja aku meneteskan air mata, karena teringat pada Romi yang tega terhadap Nayla anakku. Sejak perceraian dengan Romi, anakku tidak lagi berjumpa dengan ayahnya Romi, mungkin bila Romi membenciku karena perceraian itu, tapi mengapa Nayla sampai menjadi korbannya, hingga pada suatu saat dulu pernah Nayla yang sedang sakit, demam tinggi memanggil-manggil nama ayahnya, dan aku yang sama sekali tidak pernah menghubungi Romi sama sekali sejak perceraian itu, ternyata membuat dendam Romi kepadaku, saat Nayla sakit karena memanggil namanya, aku pun menghubungi Romi, tetapi Romi bukan datang melihat Nayla, tapi Romi malah memakiku karena kata Romi aku telah mengganggu rumah tangganya dengan istrinya yang baru. Dan Romi tidak akan menemui Nayla, kalau Nayla masih bersamaku, Romi akan melihat Nayla dengan catatan membawa Nayla bersamanya, tentu saja aku tidak akan melakukan itu. Karena buatku adalah semua yang kulakukan untuk Nayla. Aku tau walau perbuatanku dulu salah karena meninggalkan Romi dan meminta menceraikanku, tapi bukan harus tega kepada Nayla. Jangankan memberi kebutuhan Nayla, melihat saja pun tidak. Mungkin Romi punya alasan tersendiri, tapi mengapa Romi juga harus menyimpan dendam kepada Nayla yang hampir 2 tahun Romi sendiri sudah tidak melihat darah dagingnya sendiri padahal aku mengijinkan jika saja Romi meminta waktu entah seminggu sekalikah, atau sebulan sekalikah bertemu dengan Nayla. Tapi dengan berjalannya waktu Nayla sudah terbiasa dengan keadaannya yang tanpa seorang ayah, walau kadang Nayla sering bertanya padaku, kapan Nayla punya ayah baru.
“Rima… Rima… Rima… Halo Rima, apa kamu masih di situ? Rima, mengapa kamu menangis?” suara teriak Agus memanggilku, akupun panic tak tersadarkan aku sedang menatap wajah Nayla dan menangis mengingat kejadian itu, lalu kupencet tombol off pada handphone-ku, lalu kupeluk Nayla yang tertidur pulas dengan boneka teddy bear yang tadi sore sempat kubeli sepulang kerja. Sesekali kucium pipi Nayla yang halus sambil berbisik, “Nayla maafkan bunda sayang.” Hingga aku tak mempedulikan handphone yang berbunyi hampir beberapa kali me-missedcall-ku, ketika kulihat handphone-ku ternyata Agus menghubungiku hampir 25 kali dan untuk yang ke-26 kalinya, aku mengangkat kembali telepon dari Agus. “Ya… mas Agus, maafin aku mas.” “Rima kamu baik-baik saja kan, Rima maafin aku kalau pertanyaanku tadi membuat kamu menangis.” kata Agus. “Ngga mas… aku yang minta maaf karena aku mematikan handphone-ku tadi.” jawabku. Lalu menceritakan tentang kesedihanku pada Agus, tapi syukurlah Agus mau mengerti dan mengatakan akan menjemputku besok setelah sepulangku bekerja, sesekali Agus mencandaiku dengan kata-katanya yang akan menjemputku besok dengan mobil CRV hitam pilihan kita. Sebagai perempuan normal, tentu saja aku terbuai dengan kata-katanya dan rayuannya.
Dan sejak awal pertemuanku dengan Agus 3 hari yang lalu di showroom mobil tempatku bekerja, Aguspun sering menghubungiku lewat handphone nya. Entah mengapa ada sisi lain di hatiku dengan setiap ucapan-ucapan Agus kerap kali berkata padaku, walau aku belum bertemu dengannya lagi, tapi seakan bayangan wajah Agus samar-samar kuingat sedang menari-nari di kelopak mataku, apakah karena aku yang sudah hampir 2 tahun tidak mendengar rayuan manis lagi dari perceraianku dan Romi dulu, hingga aku merasa terbuai dengan kata-kata Agus, karena rayuan gombalnya.
“Hallo… ya Mas Agus, sebentar lagi saya keluar, mas di mana?” tanyaku pada Mas Agus saat meneleponku, karna hari ini mas Agus mau menjemputku dengaan mobil CRV-nya yang 3 hari lalu mas Agus membelinya di showroom tempatku bekerja,”Iya Rima, saya ada di depan parkiran showroom, ya.. udah saya tunggu kamu, jangan lama yah sayang.” balas Agus yang keluar lagi rayuan gombalnya.
Akupun mempercepat langkah kakiku setelah selesai sudah membereskan brosur-brosur yang tadi para costumer membolak-balik membaca saat jamku kerja.
Sesampainya di luar, aku melihat Agus tengah asyik memainkan tombol handphone-nya sambil menyandarkan badannya di pintu depan mobil CRV-nya, dan Aguspun melihat kedatanganku yang berlari-lari kecil ke arahnya, “Hai Rima..” sapanya, ketika aku sampai di hadapannya. “Hai mas… maaf sudah lama menunggu, soalnya aku baru selesai menyelesaikan pekerjaanku.” kataku yang membalas sambutan jabatan tangannya. Dan Agus membukakan pintu kiri mobilnya dan mempersilahkan aku masuk ke dalam mobilnya, dan Aguspun menyusul masuk dan duduk, lalu menyalakan mesin mobilnya. Di tengah perjalanan menuju rumahkum aku dan Agus berbincang-bincang tentang perubahan yang ada pada mobil CRV-nya, “Rima em gimana kalau kita makan dulu, dari siang sampai sore ini aku belum makan, cuma tadi doang sarapan di rumah.” kata Agus yang sedang mengendarai CRV-nya. “Emang dari mana aja mas Agus belum sempat makan, sibuk sekali kelihatannya,” jawabku. “Aku dari pagi mengurus plat mobil ini di Polsek, dan juga memperpanjang SIM-ku. Selesai dari Polsek aku mampir ke toko aksesoris sound system mobil, terus telepon kamu berkali-kali, teleponnya ga diangkat-angkat, dan langsung aja aku ke tempat kamu kerja, soalnya semalam aku sudah janji mau jemput kamu pulang kerja,” penjelasan Agus padaku. “Iya maaf mas, soalnya handphone aku taruh di loket pribadiku, karena memang sudah aturan tata tertib para pekerja di showroom itu, kalau lagi melayani costumer dan bekerja kami dilarang membawa handphone,” kataku, ”Kenapa sih mas Agus nyengir-nyengir gitu?” tanyaku pada Agus yang sesekali menatapku tersenyum sambil mengendarai mobilnya, “Enggak, aku lagi gak abis pikir aja kenapa sampai aku memutuskan untuk mengambil mobil CRV ini, padahal tadinya aku cuman mau lihat-lihat doang, karena kata temanku Doni, di showroom tempat kamu bekerja, semua mobil yang ditawarkan mesinnya paten punya, eh..pas lagi liat dan baca brosur tentang CRV ini, yang nawarinnya bikin aku tertarik, jadi bukan hanya aku tertarik pada mesin mobil ini, tapi tertarik juga pada sales yang menawarkannya.” rayuan gombal Agus keluar lagi dari mulutnya. “Ah.. mas Agus bisa saja, aku menawarkan mobil ini karena mesinnya sangat fixed banget,” kataku yang membalas perkataan Agus, yang melempar rasa maluku, mungkin kalau aku bisa mengaca wajahku, pasti pipiku merah karena tersipu malu, karena aku yang sibuk karena bekerja hanya memikirkan bekerja selama ini, ternyata sudah lama juga aku tak mendengarkan rayuan gombal dari laki-laki, karena saat perceraikanku dengan Romi, yang kupikir sejak saat itu hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan Nayla dan juga membantu ibuku. Karena cita-citaku dulu ingin sekali memberikan kebahagiaan kepada ibu, dengan bekerja di perusahaan bonafid, tapi karena kebodohanku setelah tamat SMA, aku malah memilih lamaran Romi untuk menjadi istrinya, ketimbang memikirkan masa depanku.
Kamipun akhirnya singgah di sebuah resto yang terbilang mewah dan mahal menunya. Setelah aku dan Agus menikmati menu pesanan kami, Aguspun memesan beberapa menu yang dikemas untuk Nayla dan ibuku, entah mengapa aku jadi terkesan dengan Agus karena selain tampan Aguspun sangat baik padaku, walaupun Agus baru mengenal Nayla dari ceritaku, tapi sepertinya Agus sangat peduli sama Nayla. Dan semenjak perkenalanku dengan Agus hampir 2 bulan, Agus sering menjemputku. Pada suatu hari Agus menyampaikan kata hatinya, kalau Agus ingin menjadikanku sebagai kekasihnya, sebagai wanita yang sudah menjadi single parent alias janda tentu saja aku bodoh jika menolak cintanya, karena bukan saja seorang Agus yang tampan tapi juga selama perkenalanku dengan Agus yang sudah hampir 2 bulan, Agus sangat menonjolkan rasa sayangnya pada Nayla. Singkat cerita akupun menjadi kekasih Agus,dan sikap Agus membuatku terpesona, karena perhatiannya padaku dan kepada Nayla, Agus sudah menganggap Nayla seperti anak kandungnya sendiri, semua keperluan Nayla dipenuhi oleh Agus bahkan urusan sekolah Nayla. Sampai hubunganku dengan Agus tidak terasa sudah jalan 8 bulan, Agus menyuruhku untuk berhenti bekerja, bahkan Agus menyewakan sebuah apartemen untuk aku dan Nayla tinggal yang letaknya di Kemayoran Jakarta.
Cintaku pun semakin bersemi kepada Agus dan sayang padanya, bahkan Agus dan aku sering melakukan hubungan intim layaknya hubungan seorang suami istri, padahal aku dan Agus belum menikah, tapi beberapa kali ucap Agus menjanjikan untuk menikahiku. Padahal dari segi ekonomi, Agus sudah terbilang mapan dalam bisnisnya, yang sering katanya dalam bisnis ekspor pakaian ke luar negeri, tapi mengapa buat urusan berumah tangga ia tidak memikirkannya, padahal aku yakin, sekali lirik saja pada wanita, tentu wanita akan jatuh cinta padanya.
Pada suatu malam Agus datang ke apartemen tempatku dan Nayla tinggal, entah mengapa dengan Agus saat itu terlihat berbeda tidak seperti hari-hari sebelumnya, malam itu Agus mengeluh seluruh badannya sakit semua dan tergesa-gesa langsung ke dalam toilet. Entah hampir berapa puluh menit bahkan hampir satu jam Agus di toilet, saat itu aku yang terbangun dari selesai menidurkan Nayla, agak sedikit curiga dengan kelakuan Agus, akupun beranjak ke kamar tidurku, aku meliht ternyata Agus belum selesai dari kamar mandi, kecurigaanku mengalahkan rasa penasaranku apa yang Agus lakukan berlama-lama di kamar mandi. Baru saja ingin aku ketuk pintu toilet tapi pintu toilet kamar mandi terbuka sedikit, Agus lupa menguncinya, kuintip dari balik pintu, kulihat Agus sedang duduk di atas kloset yang tertutup dengan sebuah jarum suntik yang melekat di tangannya. Serentak aku kaget. “Astaga… Apa yang kau lakukan mas… Ada apa denganmu?” tanyaku yang terkaget pada Agus. “Ah… ngga… ini… Cuma obat, kenapa kamu belum tidur Rima?” jawab Agus yang sangat terkejut melihat keberadaanku di hadapannya.
Awalnya Agus mengaku padaku sejak kejadian itu, Agus mempunyai sakit diabetes, tapi aku tidak begitu percaya begitu saja, dan kelamaan Agus mengakui, kalau ia pecandu narkoba jenis putaw dan dengan cara menyuntikkan jarum suntik. Awalnya aku sangat terkejut, tetapi rasa cintaku mengalahkan menerima Agus apa adanya, awalnya pun aku sering menasehati Agus agar tidak menggunakan narkoba, tapi Agus malah mengancamku agar tidak mengganggu kecanduannya itu daripada memutuskanku sebagai kekasihnya, dan aku tidak mau itu terjadi karena aku sudah sangat mencintainya, dan tidak itu saja. Akhir-akhir hubunganku dengan Agus sering bertengkar karena Agus sering menyimpan barang haram itu di apartemen tempat tinggalku dan Nayla. Aku yang sama sekali tidak menduga ternyata Agus bukan hanya pengguna narkoba jarum suntik, tetapi Agus juga menjualnya, “Mas kenapa kamu lakuin ini semua?” tanyaku. “Sayang, aku lakuin ini semua karena sayang sama kamu dan Nayla. Kamu pikir dong, mana mungkin aku bisa sewa apartemen ini dan sekolahin Nayla di sekolah ternama, kalau aku ga sampingan sebagai penjual narkoba. Udah deh… kamu diam aja. Cuma kamu dan aku yang tahu ok… aku cuma simpan barang ini di sini, kamu ga bakal aku bawa-bawa, nanti kalau aku udah dapat untung besar, kita nikah terus beli rumah sayang.” kata Agus yang merayuku. Dan saat itu pun aku tahu apa yang Agus kerjakan di salah satu ruangan di kamar tidurku.
“Om… om… Jangan bawa bunda Nayla, om polisi, Nayla mohon…Bunda… Bunda…” isak tangis anakku Nayla, pada suatu hari kamar apartemenku tiba-tiba digerebek polisi. Aku yang sedang saat itu terkaget karena banyak sekali polisi dating ke kamar apartemenku, semua barang-barang yang ada di setiap ruangan digeledeh, dan saat beberapa polisi masuk ke kamar tidurku, mereka menemukan narkoba yang sering Agus menaruhnya, yang aku panikkan saat itu, Agus tidak ada bersamaku, dan akhirnya polisi membawaku ke Polda Metro Jaya.
“Rima… Di mana Agus sekarang?” tanya seorang polisi padaku. Blak…!!! Hentakan suara meja membuatku tersadar dari lamunanku dan tangisku. “Rima, kamu jujur, di mana Agus? Kamu tahu Agus seorang buronan yang sudah lama kami cari? Karena dia pengedar narkoba.” desak seorang polisi yang berpakaian preman memarahiku. Dan 2 orang polisi yang berseragam masih saja berusaha menghubungi ponsel Agus, tetapi tetap saja nomor Agus masih tetap tidak aktif. Lagi-lagi rasa cintaku pada Agus mengalahkan kebodohanku untuk tetap tidak bicara apapun pada polisi, memang pada saat itu aku sama sekali tidak mengetahui keberadaan Agus, sampai hampir 12 jam polisi memperbalku dan tak mendapatkan informasi apa-apa dariku, akhirnya mereka membawaku ke sebuah sel yang di atas pintunya bertuliskan karantina. Tiba-tiba aku teringat Nayla, “Ibu…ibu…ibu… tolong lepaskan saya, saya mau pulang. Saya tidak bersalah, Bu.” teriakku memohon kepada kedua polwan yang membawaku memasukkan ke ruang sel itu. ”Bu… tolong bukakan, saya mau pulang. Anak saya Nayla menunggu saya.” teriakku meronta-ronta dan air mataku pun tidak terbendung lagi. Dan sudah hampir 3 hari aku berada di dalam sel tahanan Polda, aku hanya terdiam dan bingung juga menangis. Kenapa Agus tega melakukan ini semua padaku, di saat aku benar-benar mencintaiku, dan kebaikan Agus padaku ternyata ada maksud dan tujuan tertentu padaku.
SEPUCUK SURAT NAYLA YANG MEMBUATKU BERTAHAN HIDUP SAAT PENYAKIT MEMATIKAN MENYERANGKU.
“Dengan ini Saudari Rima Setiani, dijatuhkan vonis hukuman penjara selama 9 tahun dengan subsider Rp 10 juta rupiah dengan masa hukuman 5 bulan penjara. Tok…tok…tok…!!! Suara keputusan seorang hakim dan ketukan palunya membuatku terdiam membisu, sedih tapi entah mengapa tak mengeluarkan air mata. Terdiam aku bagai tak ada suara-suara di sekitarku. Bagaikan disambar petir di tengah hari. Karena barang haram narkoba jenis heroin sebanyak 50 gram, akupun harus mendekam di penjara 9 tahun. “Oh Tuhan…mengapa Agus begitu tega padaku. Jika memang ini rencana-Mu, aku pasrah. Tapi bagaimana dengan Nayla anakku?” doaku dalam hati kepada Tuhan. “Rima… sabar nak… sabar. Tuhan pasti membalas semua perbuatan Agus pada-Mu.” peluk ibuku menangis saat menghadiri siding terakhirku juga isak tangis saudara perempuanku erat memelukku. “Nayla, Nayla… di mana Nayla, bu?” tiba-tiba aku menangis ketika ibu memelukku, aku teringat Nayla. “Nayla baik-baik saja nak, izinkan Nayla bertemu denganmu, karena sudah enam bulan selama dipenjara belum kamu mengizinkan bertemu denganmu, kasihan Nayla ingin bertemu bundanya.” Permohonan ibuku agar aku mau bertemu pada Nayla. Bukan aku tega tak bertemu Nayla, tapi aku belum sanggup bertemu Nayla di dalam penjara, walau aku sendiri sangat-sangat merindukannya. Selama 6 bulan aku mendekam di dalam penjara, aku hanya mendengarkan suaranya lewat wartel yang disediakan di Rutan (Rumah Tahanan) di Jakarta.
Tidak terasa sudah hampir 3 tahun 6 bulan aku mendekam di dalam penjara, karena perbuatan Agus yang kejam padaku, dan sampai sekarangpun aku tidak pernah mendengarkan kabar Agus lagi. Kerinduanku kini semakin mendalam dan mencekam kepada anaku Nayla, aku hanya dapat memandangi foto-foto yang dibawa ibu ketika datang membesukku, walau rindu aku tetap bertahan untuk tidak bertemu Nayla di dalam penjara. Kini Nayla sudah 11 tahun menjadi gadis yang cantik. “Nayla..Nayla..Nayla… maafin bunda sayang, bunda kangen Nayla, Nayla… Nayla.. Nayla..” teriakku tersadar ketika temen-temen sekamarku membangunkanku, ternyata aku sedang mengigau memanggil-mangil nama Nayla anakku. “Rima.. Rima.. minum air putih ini dulu, ya ampun Rima, badan kamu demam tinggi badanmu panas sekali.”seorang temanku, kepala kamar memberikanku segelas air, dan memegang badanku yang tidak kuat kudirikan. Dan beberapa menit kemudian beberapa sipir penjara datang ke kamarku dan membawaku ke klinik yang disediakan di Lapas, entah ada apa denganku, sejak hampir 3 bulan ini memang aku sudah tidak di Rutan lagi, tapi di over di Lapas Bandung. Aku hanya berfikir mungkin karena di Bandung cuacanya dingin dan aku belum beradaptasi dengan cuaca di Bandung, dan aku sering demam tinggi. Selang infusan pun menancap di tanganku. Dokterpun mengambil sampel darahku untuk diperiksa di laboratorium dan akupun dirawat inap di klinik.
3 hari sudah aku berada di ruang rawat inap yang disediakan Lapas. “Rima apakah kamu seorang pemakai narkoba jarum suntik?” tanya seorang dokter klinik yang membawa amplop putih hasil sampel darahku 3 hari yang lalu. “Tidak bu Dokter, aku bukan pengguna narkoba jarum suntik” kataku. “Rima, dari hasil tes darahmu atau VCT 3 hari yang lalu, kalau kamu terinfeksi virus HIV.” kata dokter yang membuka amplop putih dan menerangkannya padaku. “Apa? Tidak.. tidak mungkin bu Dokter!!!” teriakku sambil menarik infusan di tanganku. “Rima.. sadar kamu Rima..” Dokter berteriak, dan menenangkanku, dan beberapa sipir datang dan memborgol tanganku, “Lepaskan.. bu, biarkan saya mati, aku sudah tidak berguna lagi.” teriakku yang saat itu ingin bunuh diri karena tidak bisa menerima kenyataan kalau aku terinfeksi virus HIV.
Beberapa hari kemudian keadaanku semakin parah, bahkan CD4 ku hanya tinggal 24. Aku hanya menangis dan mengingat Agus, yang ku tahu penularan virus ini bukan hanya bisa tertular dari pemakai narkoba jarum suntik yang tidak steril, tapi salah satunya bisa melalui hubungan seks yang tanpa menggunakan kondom, sedangkan Agus pengguna narkoba jarum suntik dan akupun sering melakukan hubungan intim dengan Agus tanpa menggunakan alat kontrasepsi. Dan aku merasa aku tertular virus HIV ini dari Agus, karena dulupun Agus pernah bercerita padaku saat menggunakan jarum suntiknya kalau sudah sakaw seringan/bergantian dengan temannya. Akhirnya dokter juga petugas Lapas memutuskan menghubungi keluargaku, karena keadaanku yang semakin memburuk, dan yang terlintas dibenakku hanya mati dan mati.
“Rima sayang harus sabar menerima kenyataan ini, kamu harus kuat nak, lihat Nayla sayang, hidupmu belum berakhir dengan kamu terinfeksi firus HIV, kamu harus serahkan semua pada Tuhan, Tuhan punya rencana baik untukmu nak, ibu sayang kamu, Nayla butuh kamu, apapun penyakit kamu, Rima tetep anak ibu, Dokter telah menjelaskan semua tentang virus HIV ini pada ibu, nak” isak tangis ibuku yang memeluk aku dan menguatkanku. “Rima..kamu tau nak? Beberapa hari lalu ibu melihat berita di televisi bahwa Agus meninggal dunia dalam keadaan mengenaskan sedang memakai narkoba jarum suntik yang masih melekat di tangannya, Agus meninggal over dosis sedangkan beberapa temannya tertangkap oleh polisi, itulah kekuasaan Tuhan pada setiap umat-Nya. Jadi kamu ga usah menyalahkan Agus atau siapapun, yang terpenting kamu harus kuat, dan dekatkan diri kamu kepada Tuhan, kamu harus memohon ampun selagi kamu masih diberikan kesempatan oleh-Nya. Dan lihat ini sayang… Nayla memberimu hadiah, bukalah nak.” ibuku terus membujukku yang terdiam hanya menangis, dan ibu memberikan hadiah dari Nayla dan menyuruhku untuk membukanya. “Ibu… maafkan Rima.” kataku memeluk ibuku. Ibuku begitu tegar dan selalu memberikan kekuatan padaku. Akupun lalu membuka hadiah dari Nayla. Setelah kubuka, ternyata Nayla memberikanku hadiah sebuah mukena dan sajadah berwarna biru, warna favoritku. Lalu ada sepucuk surat dari Nayla. Kubuka dan kubaca isi dari surat Nayla.
Teruntuk: Bundaku sayang
Assalammualaikum…
Bunda sayang, bunda ga boleh sakit. Nayla sedih. Bunda kan udah janji sama Nayla kalo Bunda akan selalu sehat dan nanti bersama lagi sama Nayla. Nayla sayang bunda. Nayla ga mau kehilangan Bunda lagi. Bunda adalah kekuatan Nayla, bunda adalah denyut jantung Nayla. Janji ya Bunda harus sehat. Nanti kalo bunda pulang, yang ambil rapor Nayla bunda. Nayla iri sama teman-teman Nayla kalo ambil rapor sama bundanya. Kalo Nayla sama nenek terus. Nayla janji ga nakal, Nayla akan rajin belajar biar nilai rapornya bagus. Oh… iya bunda, ini hadiah buat bunda, dipake yah, Nayla yakin walau kita berjauhan, tapi kalo bunda pake mukena dari Nayla pasti kita sedang berjamaah. Dan nanti kalo bunda udah pulang, bunda jadi imamnya yah. Kita sholat berjamaah. I love you bunda.
Hormat Ananda,
Nayla
“Nayla… Nayla… maafkan bunda sayang, bunda janji akan sehat sayang. Ibu… maafkan Rima bu, Rima ga pernah dengar nasehat ibu selama ini. Ibu… aku rindu Nayla. Maukah ibu membawa Nayla untukku?” tangisku memohon maaf pada ibu dan memeluk ibu agar membawa Nayla yang sudah 3 tahun 8 bulan aku tak melihatnya. “Tentu nak… ibu akan bawa Nayla besok sayang.” balas ibuku yang memeluk erat tubuhku.
“Tuhan, ampunkan hamba-Mu yang lupa akan nikmat-Mu. Aku selama ini tidak bersyukur kepada-Mu bahwa engkau telah memberikan seorang ibu yang baik padaku, dan seorang anak yang pintar seperti Nayla, berikan kekuatan padaku unruk menerima cobaan ini. Amin.” doaku yang kupanjatkan pada Tuhan setelah selesai sholatku.
Akupun akhirnya bertemu Nayla yang sudah hampir 4 tahun selama aku di dalam penjara tidak berjumpa dengannya. Sejak kehadiran Nayla, akupun melewati masa dropku yang tadinya kekebalan tubuhku hanya tinggal 24, sejak kehadiran Nayla beberapa bulan saja, kekebalan tubuhku naik drastic menjadi 500. Akupun akhirnya aktif di komunitas ODHA (Orang Dalam HIV Aids) yang didirikan oleh aku dan temanku yang berada di lapas, dan dari berbagai ilmu dan materi yang diberikan oleh dokter, juga para perawat-perawat klinik Lapas, juga dari komunitas yang bekerja sama dengan pihak Lapas, hingga aku kuat menghadapi ini semua, dan dokter klinik dan ibu KALAPAS pun memberikan kepercayaan kepadaku sebagai coordinator KDS (Kelompok Dukungan Sebaya), dan menjabat sebagai sekretaris di peer educator yang memberikan penyuluhan kepada teman-teman yang ada di Lapas. Semua tugas itu kujalani dengan ikhlas karena sangat bermanfaat untuk diriku dan teman-teman. Bahwa dampak dari narkoba bukan hanya merusak masa depan bangsa, tetapi sangat merusak sistem organ di seluruh tubuh kita. Dan itupun berkat ibuku, dan seluruh petugas di Lapas Wanita Kelas IIA Bandung ini, juga Nayla anakku yang selalu memberi dukungan agar aku tetap sehat. Terima kasih untuk anakku dan ibu yang selalu sayang padaku, juga para petugas yang membimbingku.
Penulis asli : Karin (Lapas Wanita Klas IIA Bandung)
Juara III Lomba Penulisan Cerita Unik dan Kemanusiaan Kategori WBP
Dalam rangka Hari Bhakti Pemasyarakatan Ke-50 Tahun 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H