Mohon tunggu...
Anang Fathoni
Anang Fathoni Mohon Tunggu... Lainnya - Long-Life Learner

IG : @anang_fathoni Email : ananglight@gmail.com https://linktr.ee/anang_fathoni

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyelami Urgensi Persahabatan pada Remaja

13 Desember 2021   10:24 Diperbarui: 13 Desember 2021   10:51 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada 2 karakteristik dari persahabatan umum. Keakraban pada persahabatan diartikan secara sempit sebagai pengungkapan diri atau membagi hal-hal yang pribadi. Kesamaan diartikan dalam umur, jenis kelamin, etnis, dan faktor lainnya. Dalam hal ini sesuai dengan yang penulis bahas sebelumnya, bahwa nilai kesamaan ini yang akan mengantarkan pada ketertarikan. Pada kenyataannya, kita sering cenderung lebih membantu orang yang kita sukai atau kita sering kali menyukai seseorang karena dia "seperti kita" atau memiliki kesamaan tertentu dengan kita (Lieberman, 2006: 99-100). Sebagian besar dari kita yang memiliki sahabat akan memilih teman yang sangat mirip satu sama lain dan hal tersebut dipandang membantu memperkuat kepribadian dan mengembangkan sifat stabil (Kloep, M et al., 2016: 36). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada juga teman yang memiliki karakteristik kepribadian yang sangat berbeda dan saling melengkap satu dengan yang lainnya. Adanya hubungan antara introvert dan ekstrovert yang memberikan warna lingkungan yang berbeda satu sama lain, mendukung gagasan konvergensi dalam persahabatan yang saling menguntungkan (Kloep, M et al., 2016: 36).

Dari sudut pandang persahabatan dengan lawan jenis, sebelumnya penulis mempercayai bahwa persahabatan antar lawan jenis biasanya tidak didasarkan pada kemurnian. Artinya potensi untuk menjadi suka yang mengarah pada cinta lebih tinggi dan hal tersebut tentunya akan mempengaruhi status persahabatan mereka. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh Sullivan (1953) dimana pada masa remaja muncul pergeseran fokus pada hubungan yang tadinya berfokus pada hubungan antar sesama menjadi hubungan "nafsu" dengan teman sebaya yang berlawanan jenis selama remaja  (Kerig, Schulz & Hauser, 2012: 93). Walaupun tidak secara eksplisit hubungan sahabat dengan lawan jenis, namun penulis melihat adanya keterkaitan bahwa potensi yang lebih apabila hubungan tersebut berubah dari hanya sebatas sahabat menjadi saling menyukai. Namun hal tersebut masih diperbolehkan. Kedekatan pertemanan remaja dengan lawan jenis yang masih pada batas wajar atau dalam kontrol moral yang baik dari orang tuanya maka masih menjadi sesuatu yang wajar dan diperbolehkan. Artinya bahwa orang tua tidak boleh berasumsi bahwa jenis kelamin yang berbeda akan menimbulkan masalah pada anaknya (Lam et al., 2014 dalam Berger, 2015: 519). Karena realita yang muncul seringkali juga remaja memiliki anggota jenis kelamin lain sebagai teman dekatnya.

Dari sudut pandang teknologi, bahwa teknologi biasanya menyatukan teman-teman atau meningkatkan keakraban dimasa remaja (Mesch & Talmud, 2010 dalam Berger, 2015: 521). Skala teknologi yang dimaksud luas, yaitu meliputi sosial media seperti Whatsapp, Line, Telegram, Instagram, ataupun dari video game. Banyak game sekarang mengadu satu pemain melawan yang lain atau membutuhkan kerja sama di antara beberapa pemain (Collins & Freeman, 2013). Remaja yang sering berkomunikasi online dengan teman mereka merasa lebih dekat daripada mereka yang tidak (Valkenburg & Peter, 2007). Hal tersebut tentu karena mereka merasa lebih bebas dalam berbagi informasi penting tentang diri mereka secara online. Seperti yang diketahui bahwa pengungkapan diri, seperti topik jatuh cinta, ketakutan, kekhawatiran, hal yang membuat malu ataupun kesenangan menjadi penentu utama persahabatan yang lebih dalam dan komitmen yang kuat (Shaffer & Kipp, 2010: 638). Namun pada dasarnya kebutuhan remaja untuk koneksi sosial untuk bersahabatannya atau bagi teman-temannya selalu kuat, seperti hanya kekhawatiran orang tua tentang hal tersebut.

Hal yang perlu dipahami oleh orang tua, bahwa secara umum teman sebaya memberi peluang tentang ikatan dan dorongan untuk apa yang cenderung dilakukan oleh remaja tersebut (Berger, 2015: 522). Sehingga dalam hal ini, peran orang tua sebagai penasehat, pemantau dan pemberi motivasi kepada anaknya ketika remaja sangat diperlukan. Orang tua perlu tahu dengan siapa saja dia bersahabat atau berteman dekat. Pertemanan seperti apa yang ada di dalamnya. Apakah memberikan perilaku destruktif atau konstruktif. Mayoritas publikasi tentang pertemanan di masa remaja berkaitan dengan efek negatif, namun prespektif persahabatan yang positif biasanya diperoleh dari teman-teman yang diterima ataupun karena orang tua yang menerima rincian persahabatan secara terbuka dari anaknya (Kloep, M et al., 2016: 35). Kemudian ketika berada di sekolah, menjadi tanggung jawab guru untuk memberikan teladan yang baik kepada siswanya, termasuk menjalin komunikasi dengan orang tua sebagai kolaborasi positif yang terus memberikan kebermaknaan hidup remaja tersebut, baik dari segi pergaulan, prestasi ataupun hal lainnya.

REFERENSI
Berger, K.S. (2015). The Developing Person: Through Childhood and Adolescence. New York: Worth Publishers.
Berndt, T.J. (2004). Children's freindships: Shifts over a half-century in perspectives on their development and their effects. Merrill-Palmer Quarterly, 50(3), pp 206-223).
Collins, E. & Freeman, J. (2013). Do problematic and non problematic video game players differ in extraversion, trait empathy, social capital and prosocial tendencies?. Computer in Human Behavior, 29(5) pp. 1933-1940.
Damon, W. & Lerner, R.M. (2008). Child and Adolescent Development An Advanced Course. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Kerig, P.K., Schulz, M.S. & Hauser, S.T. (2012). Adolescence and byond: family processes and development. New York: Oxford University Press.
Kholid, Setia Furqon. (2015). Jangan kuliah Kalau gak Sukses. Sumedang: Rumah Karya.  
Kloep, M. et al. (2016). Development from Adolescence to Early Adulthood. Newyork: Psychology Press Taylor & Francis Group.
Lieberman, D.J. (2006). Get Anyone to Do Anything / Agar siapa saja mau melakukan apa saja untuk Anda Terjemahan Kurniawan Abdullah. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Navarro, Joe. (2007). What Every Body is Saying. Florida: HarperCollins.
Pelkonen, M., Marttunen, M., & Aro, H. (2003). Risk for depression: A 6-year follow-up of Finnish adolescents. Journal of Affective Disorder, 77, pp 41-51.
Santrock, John. W. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja (Terjemahan Adelar, S.B.). Jakarta: Erlangga.
Shaffer, D.R. & Kipp, K. (2010). Developmental Psychology: Childhood and Adolescence, Eighth Edition. Canada: Wadsworth Cengage Learning.
Valkenburg, P.M. & Peter, J. (2007). Preadolescents and adolescents online communication and their closeness to friends. Developmental Psychology, 43, pp 267--277.
Wilmshurst, Linda. (2017). Abnormal Child and Adolescent Psychology: A Developmental Perspective. New York: Routledge.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun