Penulis : Anang Fathoni, Amandariella Samahita Prasetyo, Linda Islamiati, Isna Nailul Fakhati, Lulu Soimatul Ghaniyah, Winarsih
Pendidikan tentu menjadi salah satu akar berkembangnya peradaban suatu bangsa. Melalui pendidikan, kualitas hidup manusia terus berkembang dalam segala aspek kehidupan yang sifatnya multidimensional.Â
Salah satu perwujudan nyata perkembangan pendidikan dapat ditelusuri melalui catatan-catatan sejarah yang terabadikan. Telaah kritis perkembangan pendidikan suatu bangsa tentu dapat menjadi kajian reflektif yang memperlihatkan komparasi sisi positif dan negatif yang menjadi bagian dari peradaban itu sendiri.
Melalui artikel ini, penulis akan flashback dan melihat kembali sejarah perjalanan pendidikan pada zaman kolonialisme di Indonesia. Penulis akan melewai babak perjalanan pendidikan dengan basis pondok pesantren yang dipelopori Syeikh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M, dan pendidikan di masa Portugis.
Pada masa pemerintahan kolonialisme, faktor politik sangat berpengaruh bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia (Riska & Hudaidah, 2021). Pendidikan pada masa kolonialisme dapat dipetakan menjadi dua periode besar yaitu 1) pada masa berperannya Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC), dan 2) pada masa pemerintah Hindia-Belanda (Nederlands Indiesh) (Nasution, 2020).Â
Pada masa VOC, kondisi pendidikan tidak lepas dari kepentingan komersial VOC yang mana hanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari pribumi. Pada awal abad ke-18, VOC mengalami kebangkrutan dan akhirnya pemerintahan diserahkan pada kerajaan Belanda di tahun 1816 (Nasution, 2020).Â
Beberapa prinsip kerjaan Belanda yang dijadikan kebijakan dalam pendidikan di Indonesia seperti yang dijelaskan Nasution (2020) yaitu 1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; 2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan, sehingga anak didik kelak mampu mandiri guna mendukung kepentingan colonial; 3) Sistem pendidikan diatur berdasarkan perbedaan lapisan sosial, terkhusus yang ada di Jawa; 4) Pendidikan diukur dan diarahkan dalam rangka melahirkan kelas masyarakat elit yang dapat digunakan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah Kolonial.
Pada umumnya, ciri dari politik pendidikan pada zaman belanda yaitu gradualisme, dualism, control sentral, keterbatsan tujuan, prinsip konkordinasi, dan tidak adanya rencana pendidikan (Riska & Hudaidah, 2021). Hal ini berkorelasi dengan apa yang disampaikan oleh Nasution (1983, p. 20) bahwa terdapat 6 karakteristik sistem pendidikan zaman Belanda, yaitu 1) terbatasnya penyediaan pendidikan bagi anak Indonesia; 2) kontradiksi dualism antara pendidikan untuk keturunan Belanda dengan pribumi; 3) control pendidikan tersentralisasi; 4) Pembatasan tujuan pendidikan bagi pribumi dan penggunaan sekolah untuk menghasilkan tenaga kerja kelas bawah; 5) prinsip pembelajaran di Indonesia sama dengan yang ada di Belanda; 6) kurangnya rencana pendidikan yang sistematis untuk pribumi.
Pada tahun 1817 di Batavia telah didirikan sekolah umum atau grammar school untuk orang Eropa, Lager Onderwijs en Lagere Scholen voor Europeanen, yang menjadi pelopor berdirinya Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah dasar pada zaman Belanda (Suratminto, 2013). Kebijakan yang dipegang oleh pemerintah Belanda menyebutkan bahwa peserta didik dari ELS merupakan semua anak Eropa dan mereka yang legal disamakan dengan orang Eropa (Saputra, 2022).Â
Walaupun demikian, Suratminto (2013) menjelaskan bahwa pelaksanaan pendidikan bagi masyarakat pribumi baru dapat dilaksanakan setelah Raja Belanda mengeluarkan Certificate Law No. 95 tanggal 30 September 1848 dan pada tahun 1849, terbentuklah 20 sekolah yang ada di setiap ibu kota provinsi.