Rangkaian ledakan bom di bulan suci Ramadhan tahun ini (1437 H), yang susul menyusul dari Istanbul Turki, Baghdad Irak, 3 kota di monarki Saudi, dan terakhir di Solo sehari menjelang lebaran kemarin, sungguh membuat kita berduka, miris dan sangat prihatin. Para teroris berjubah agama (Islam) itu sama sekali sudah tidak menghormati kesucian bulan Ramadhan yang kehadirannya selalu dinanti penuh harap oleh seluruh umat Muslim sedunia. Kalau sudah tidak menghormati sesuatu yang dihormati oleh setiap orang yang beragama Islam, apakah masih pantas para teroris itu mengaku sebagai pemeluk Islam dan mengatasnamakan aksinya demi Islam? Jawabannya sangat jelas dan harus ditulis dengan huruf kapital: TIDAK!
Namun bila kita menengok sejarah, seharusnya kita tidak perlu heran dengan perilaku para teroris Salafi-Wahabi yang tidak menghormati dan tidak mempedulikan akhlakul karimah, prinsip nilai-nilai Islam yang bersifat  universal seperti persamaan derajat kemanusiaan, perdamaian, toleransi maupun simbol-simbol yang disucikan dan ritual-ritual Islam.Â
Karena orang pertama yang menyandang gelar teroris berjubah (agama) Islam pun sudah melakukan pelanggaran dan pelecehan seperti para teroris masa kini. Bahkan teroris pertama ini tercatat dalam sejarah telah melakukan 3 pelanggaran berat yang pada saat itu terbilang musykil.
Siapakah teroris pertama berjubah Islam ini? Dialah si terkutuk yang bernama Abdurrahman bin Muljam. Manusia durjana pengikut sekte Khawarij ini merupakan segelintir orang yang selamat saat sekte takfiri ini mengalami kekalahan dan kehancuran dalam perang Nahrawan. Penjahat tidak bernurani ini telah melakukan 3 pelanggaran berat saat melakukan aksi terorismenya yang membuat seluruh dunia tersentak dan larut dalam duka yang begitu mendalam.
Pertama, Ibnu Muljam melakukan aksinya di bulan suci Ramadhan, tepatnya 19 Ramadhan tahun 40 H. Kedua, lokasi aksi terorisme itu dilakukannya di rumah Tuhan, masjid, tepatnya masjid Kufah. Dan ketiga, yang diserangnya dengan sabetan pedang beracun itu -- sehingga mengakibatkan kesyahidan sang korban -- adalah pemimpin kaum mukminin, Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib, manusia pilihan yang atasnya Nabi Muhammad SAW bersabda, "Kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa."
Tragedi di masjid Kufah ini terjadi pada waktu subuh tatkala Imam Ali bin Abi Thalib sedang khusyuk bermunajat di mihrabnya. Mendadak Ibnu Muljam muncul dari dasar kegelapan hatinya dan dengan kuat langsung menghantamkan pedang beracunnya ke arah kepala Sang Imam. Akibat kerasnya hantaman pedang itu, kepala panglima perang terbesar Islam itu mengalami luka yang sangat parah dan banyak mengucurkan darah. Sang Pintu Ilmu Nabi itu rubuh bersimbah darah sembari berteriak, "Demi Tuhan pemilik Ka'bah, aku telah menang!"
Motif pembunuhan Imam Ali kemudian terungkap, ternyata bersumber dari paham takfiri sekte Khawarij yang dianut Ibnu Muljam. Secara sepihak dan sewenang-wenang, kaum yang lepas dari agama ini mengkafirkan orang yang atasnya Nabi SAW bersabda, "Tidak mencintaimu kecuali mukmin dan tidak membencimu kecuali munafik." Dengan mengkafirkan Imam Ali, berarti secara terang benderang kaum Khawarij telah menentang Nabi Muhammad SAW yang telah bersabda, "Ali selalu bersama kebenaran dan kebenaran selalu bersama Ali."
Vonis takfiri kaum Khawarij terhadap Imam Ali ini bermula dari peristiwa arbitrase pada perang Shiffin yang terjadi sebelumnya. Ketika itu pasukan Muawiyah sudah terdesak hebat di medan peperangan. Untuk menghindari kekalahan, secara licik dengan menggunakan mushaf Al Qur'an yang ditancapkan di ujung-ujung tombak para prajuritnya, anak Abu Sufyan -- salah satu musuh Islam yang paling gigih -- itu menyerukan dilakukannya arbitrase.Â
Menyadari bahwa arbitrase itu hanyalah tipu daya Muawiyah, Amirul Mukminin sejak awal sudah menolaknya dan memerintahkan pasukannya untuk tetap berperang dan memperhebat serangan. Namun sebagian pasukannya yang beriman lemah dan mempunyai loyalitas rendah pada Imam Ali menolak perintah beliau. Dengan senjata-senjata terhunus, mereka bahkan mengancam keselamatan jiwa Amirul Mukminin agar menerima tawaran arbitrase musuh. Arbitrase akhirnya dilakukan dengan cara-cara yang sudah direkayasa Muawiyah sehingga hasilnya merugikan pihak Imam Ali.
Atas kejadian ini, mereka yang semula getol mendukung arbitrase tiba-tiba malah berbalik arah menyalahkan sang Amirul Mukminin. Mereka menganggap Imam Ali tidak menggunakan hukum Allah. Bahkan dengan arogan dan lancang, orang-orang ini yang ilmunya pun tidak ada seujung kuku sang Imam akhirnya mengkafirkan Imam Ali. Dengan segala kejumudan berpikir yang mereka derita, mereka berlaku pongah dengan menganggap ilmu mereka lebih tinggi dari ilmu manusia yang atasnya Nabi Muhammad SAW bersabda, "Akulah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Siapa yang ingin mendapatkan ilmuku hendaklah melalui pintunya."
Orang-orang yang mengkafirkan Imam Ali dan pengikut beliau ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan kaum Khawarij. Sebagai salah satu bukti kenabiannya, Rasulullah SAW pernah bersabda mengenai sepak terjang kaum yang sesat ini di masa depan. Nabi bersabda, "Kelak akan datang suatu kaum yang membaca Al Qur'an tetapi hanya sampai tenggorokan saja. Mereka lepas dari agama (Islam) sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya."