Mohon tunggu...
Anang Wicaksono
Anang Wicaksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menjadikan menulis sebagai katarsis dan sebentuk kontemplasi dalam 'keheningan dan hingar bingar' kehidupan.

Mengagumi dan banyak terinspirasi dari Sang Pintu Ilmu Nabi. Meyakini sepenuhnya Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, pembawa kedamaian dan kesejahteraan bagi semesta alam. Mencintai dan bertekad bulat mempertahankan NKRI sebagai bentuk negara yang disepakati para founding fathers kita demi melindungi dan mengayomi seluruh umat beragama dan semua golongan di tanah tumpah darah tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

God Bless Benar, Para Politisi Senayan Hanyalah Segerombolan Badut Jaman (Refleksi Politik Nasional 2015)

29 Desember 2015   11:10 Diperbarui: 24 Februari 2016   13:23 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Cover album Semut Hitam. Album ketiga grup rock legendaris God Bless ini dirilis pada tahun 1988. Sumber: wikiwand.com"][/caption]

Ada badut-badut jaman
Dengan wajah transparan

Bermain-main kata
Gila dihormati
Cari posisi
Penuh ambisi

Lupakan diri
Sampai yang paling hakiki
Kau tak perduli

(Penggalan syair lagu "Badut-badut Jakarta" karya God Bless)

Grup rock God Bless memang begitu melegenda di Indonesia. Ditukangi para musisi jenius pada jamannya seperti Achmad Albar, Ian Antono, Donny Fattah, Yockie Suryoprayoga dan Teddy Sujaya, banyak lagu-lagu ciptaan mereka menjadi karya fenomenal yang tidak lekang oleh gerusan jaman. 

Seperti lagu mereka yang berjudul "Badut-badut Jakarta" dari album "Semut Hitam" yang dirilis 27 tahun yang lalu itu misalnya. Bila kita hayati baris per baris penggalan syair yang saya kutip diatas, sangat terasa kebenaran yang disampaikan God Bless. Sangat kontekstual dengan kondisi perpolitikan Indonesia sekarang. God Bless sangat jitu membidik perilaku para politisi Senayan saat ini yang sangat jauh dari yang namanya etika.

"Badut-badut jaman", narasi yang sangat pas untuk para politisi Senayan kita. Betapa tidak, bukankah perilaku mereka memang konyol tak ubahnya tarian tanpa arti para badut? Bukankah di bulan penghabisan tahun ini, kita telah disuguhi drama politik konyol berjudul "Papa (Novanto) Minta Saham" yang dimainkan dengan penuh penjiwaan oleh tiga pemeran utamanya, yakni Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Setya Novanto (SN), dan Partai Golkar (PG)?

Barangkali karena kekonyolannya, jalannya sidang MKD menjadi begitu banyak menyedot perhatian dan energi bangsa Indonesia. Dari satu sidang ke sidang selanjutnya, dosis kekonyolan MKD bukannya semakin menurun, tapi malah semakin menggila. Dari logika konyol para anggota MKD pembela SN yang memperlakukan pelapor dan saksi seperti seorang pesakitan sampai dengan sikap 'ada udang dibalik batu' mereka yang pada awalnya terlihat gigih membela SN tiba-tiba berbalik 180 derajat dengan menyatakan terlapor SN melakukan pelanggaran etika berat pada sidang-sidang terakhir MKD.

Yang konyolnya pula, maksud mereka dengan menjatuhkan sanksi berat pada SN ternyata adalah agar dibentuk sebuah panel etik yang anggotanya terdiri dari unsur anggota MKD dan unsur masyarakat. Nah, inilah "akal bulus" nan konyol anggota MKD pendukung SN untuk memperpanjang waktu menyelamatkan sang Ketua DPR. Karena sesuai aturan DPR yang mereka buat sendiri, hasil panel etik itu pun masih harus dilempar lagi ke sidang paripurna DPR. Disinilah terbuka celah lebar bagi para anggota DPR pendukung SN untuk kembali mementahkan hasil panel etik -- seandainya hasil panel etik itu memvonis SN bersalah -- demi membebaskan SN.

Drama konyol itu pun akhirnya ditutup pula dengan konyol. MKD menerima pengunduran diri SN dari kursi Ketua DPR dan tidak menjatuhkan sanksi apa-apa pada terlapor. Sudah, begitu saja. Padahal sebelumnya, 10 anggota MKD menyatakan SN melakukan pelanggaran etik sedang dan 7 anggota MKD lain -- yang sebelumnya membela SN -- menyatakan SN melakukan pelanggaran berat. Dan secara konyol pula, Surahman Hidayat, Ketua MKD dari FPKS, bahkan menyatakan akhir drama politik konyol ini sebagai happy ending.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun