[caption caption="Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (Sumber : Republika.co.id)"][/caption]
Kesepakatan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, pada tgl 22 Februari 2016 kemarin, mengenai gencatan senjata dalam konflik di Suriah, bagaikan sebuah hembusan angin segar di tengah terik mentari yang menyengat. Sesuai kesepakatan, gencatan senjata akan dimulai pada tgl 27 Februari 2016 dini hari besok.Â
Namun demikian, gencatan senjata ini tidak berlaku bagi para pentolan teroris pemberontak seperti ISIS dan Front Al Nusra serta kelompok pemberontak lain yang masuk dalam daftar teroris DK PBB. Aliansi operasi militer pemerintah Suriah-Rusia dengan dukungan Iran dan Hizbullah akan tetap berlanjut untuk menumpas dan membersihan semua anasir mereka dari seluruh wilayah Suriah.
Tujuan utama dari gencatan senjata ini adalah untuk penyaluran bantuan kemanusiaan bagi penduduk yang telah sekian lama terjebak dalam wilayah konflik. Bantuan obat-obatan dan makanan diharapkan dapat distribusikan dengan baik dan lancar tanpa mendapatkan gangguan dari para pemberontak.Â
Sudah bukan rahasia lagi, berulang kali kelompok-kelompok pemberontak menyabotase bantuan-bantuan kemanusiaan yang dikirimkan untuk rakyat sipil Suriah. Mereka merampas bantuan tersebut dan menggunakannya untuk mereka sendiri. Jadi tidak perlu heran dengan pemandangan yang memperlihatkan badan para pemberontak yang kekar dan sehat, namun sebaliknya para penduduk sipil Suriah di wilayah konflik terlihat kurus kering dan sakit-sakitan.
Tujuan berikutnya dari gencatan senjata adalah untuk memberikan landasan bagi terlaksananya gencatan senjata permanen guna menuju solusi diplomatik seutuhnya. Diharapkan gencatan senjata pembuka ini bisa berlangsung mulus sehingga dapat dijadikan pintu pertama untuk menapaki jalan perdamaian berikutnya.
Dalam perspektif lain, gencatan senjata ini merupakan sebuah barometer yang akan mengungkap dan mengukur komitmen pihak-pihak yang bertikai di Suriah untuk menyelesaikan konflik melalui jalur perdamaian dan diplomatik. Dengan persetujuannya untuk melakukan gencatan senjata, pemerintah Suriah dibawah Presiden Bashar Al Assad telah menunjukkan komitmennya yang besar untuk memilih solusi diplomatik. Ini merupakan indikator positif bahwa Al Assad mengutamakan jalur perdamaian dan diplomatik untuk menyelesaikan konflik Suriah.Â
Sebaliknya di pihak lain, Turki, salah satu pemain regional -- disamping Saudi dan Qatar -- yang berada di garis depan kubu Amerika cs pendukung pemberontak Suriah, terlihat menyikapinya dengan canggung dan dilematis. Bila Ankara menyetujui gencatan senjata itu sepenuhnya, ia akan kehilangan kesempatan untuk terus memerangi kelompok-kelompok Kurdi di Suriah utara yang dianggapnya telah mengganggu keamanan Turki. Tapi bila gencatan senjata itu ditolak, kesan Ankara sebagai provokator konflik Suriah akan semakin kuat.
Karena itulah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mencoba untuk melepaskan diri dari dilematis buah simalakama itu. Dia memformulasikan langkahnya dengan menuntut supaya kelompok-kelompok Kurdi seperti Partai Uni Demokratik Suriah (PYD) dan Unit Perlindungan Rakyat (YPG) -- yang mempunyai andil cukup besar dalam memukul mundur ISIS dari kawasan Suriah utara -- dimasukkan kedalam daftar perkecualian agar Turki bisa terus memerangi mereka.Â
Namun usulan Erdogan ini nampaknya tidak mendapat tanggapan yang memadai dari Kremlin dan Gedung Putih. Langkahnya malah menguatkan kesan publik bahwa Turki yang merupakan pendukung teroris pemberontak memang tidak menginginkan cara-cara damai untuk menyelesaikan konflik Suriah, dan jeleknya lagi, kini malah berdalih untuk menggagalkan upaya gencatan senjata itu. Erdogan kini terjepit dalam situasi yang penuh dilematis.
Â