Dalam kisah-kisah kitab suci, diceritakan ada seseorang yang dibangkitkan Tuhan setelah dimatikan selama 100 tahun. Dalam kitab yang sama, diceritakan pula ada sekelompok orang beriman dibangunkan Tuhan setelah ditidurkan di dalam gua selama 300 tahun. Peristiwa tertidur kemudian dibangunkan selalu menjadi sebuah fenomena yang emosional dan kadang bersifat spiritual seperti dalam kisah kitab suci tadi.
Beberapa hari yang lalu, saya juga merasa dibangunkan setelah "tertidur "selama 4 tahun. Saya bukan merasa sebagai orang beriman seperti dalam kisah kitab suci tersebut. Saya hanya merasa dibangunkan. Ya, persamaannya hanyalah "sama-sama merasa dibangunkan."
Tidur selama 4 tahun, hoakskah? Bukan. Maksud saya di sini adalah tidur dari aktivitas tulis menulis di Kompasiana. Saya terakhir kali menulis di Kompasiana menjelang penghujung tahun 2016. Saat itu hiruk pikuk politik sedang menuju klimaksnya dalam rangka Pilgub DKI 2017. Setelah memposting tulisan tersebut, saya tiba-tiba merasa lelah dan amat mengantuk. Kemudian tertidur panjang hingga kembali terbangun pada akhir tahun 2020 ini.
Rangkaian tahun 2017, 2018 dan 2019 memang saya rasakan sebagai tahun-tahun yang berat dan sulit. Banyak kejadian yang tak terduga terkait dengan pekerjaan saya. Langkah-langkah normatif yang selama ini tahap demi tahap saya lakukan, tiba-tiba menjadi buyar karena beberapa hal yang di luar perkiraan.
Akibatnya posisi saya menjadi semakin sulit dan akhirnya, bagaikan permainan catur, saya kena skak mat yang membuat saya terpaksa menggulingkan raja catur saya. Bisa dikatakan, inilah faktor utama yang membuat saya tertidur panjang dari aktivitas tulis menulis di Kompasiana.
Namun hiruk pikuk dan kerumunan berisik selama seminggu terakhir ini tiba-tiba membangunkan insting menulis saya. Membawa saya kembali membuka Kompasiana, membuka akun Kompasiana saya. Eh password akunnya lupa (maklum 4 tahun tidak diakses), sampai harus reset password segala. Untung saja password emailnya tidak lupa.
Dan akhirnya akun berhasil saya buka kembali. Begitu terbuka, saya menjadi terkaget-kaget. Ada predikat "fanatik" yang disematkan ke akun saya. Fanatik? Fanatik terhadap apa? Saya selama ini tidak pernah merasa menjadi orang yang fanatik. Agak deg-degan juga, jangan-jangan konten artikel saya selama ini dimonitor pihak tertentu dan dicap sebagai "fanatik". GR. Hadeh, jadi teringat dengan isu radikalisme. Keringat dingin terasa mengalir di kuduk.
Namun setelah saya pelajari, hahaha, itu ternyata kategorisasi Kompasiana terhadap warganya terkait dengan jumlah poin yang diperoleh. Ya bolehlah, tidak apa-apa, itu hak Kompasiana untuk memberi nama pada masing-masing kategori. Namun jujur saja, bagi saya pelabelan "fanatik" ini amat menggelitik.
Habis bangun tidur. Saya mau menggeliat dulu. Apalagi tadi sudah kena gelitik dari label "fanatik". Salam bangun tidur, salam damai untuk kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H