[caption caption="(Screenshot dari: Merdeka.com)"][/caption]
Saya sedikit merasa surprise tatkala beberapa hari yang lalu membaca sebuah berita terkait konflik Suriah pada salah satu media online nasional sebagaimana terlihat pada screenshot di atas. Surprise? Ya, karena pemberitaan konflik Suriah oleh media-media kita selama ini lebih banyak dengan membebek media barat yang menggiring opini publik untuk berpihak pada koalisi Amerika-Israel-Saudi-Qatar-Turki dan selalu menyalahkan Presiden Suriah Bashar Al Assad beserta pemerintahan dan pendukungnya.
Pemberitaan di atas secara frontal bisa jadi akan menjungkirbalikkan asumsi yang sudah terlanjur tertanam di benak publik bahwa Al Assad adalah sosok pemimpin yang kejam pada rakyatnya maka karenanya harus diperangi dan dijatuhkan. Fakta (lama) yang baru-baru ini diungkapkan media online di atas seharusnya menyadarkan kita semua untuk memahami duduk perkara konflik Suriah yang sebenarnya. Hal ini juga merupakan pertanda baik bahwa sebagian media kita mulai meninggalkan sikap pembebekannya pada media barat.
Karena seperti kita ketahui selama ini, dalam menyikapi konflik Suriah, alih-alih bersikap obyektif dan netral, media nasional kita malah secara 'sukarela' menjadikan diri mereka sebagai corong kepentingan Amerika dan sekutunya. Dan konyolnya pula, media-media takfiri berpaham Salafi-Wahabi yang selama ini mengaku anti Barat, ternyata bertindak seiring sejalan dengan media barat dalam pemberitaan konflik Suriah. Dengan demikian, dalam hal pemberitaan konflik Suriah di Indonesia, terjalinlah 'kolaborasi' tiga kelompok besar media: media barat, media nasional dan media takfiri. Kolaborasi 3 kelompok media inilah yang selama ini secara timpang dan tidak adil telah memberitakan konflik Suriah, terutama dengan propaganda-propaganda batil mereka untuk menyudutkan Presiden Bashar Al Assad dan pemerintahannya.
Akibat pembebekan yang amat masif selama ini, banyak pembaca dan penerima berita di Indonesia yang terpengaruh. Apalagi bagi mereka yang berdaya kritis rendah dan suka menelan berita mentah-mentah tanpa melakukan 'cover both side' atau pembandingan dengan sumber berita lain yang berbeda kutub. Karena terpengaruh pemberitaan sepihak, para penganut paham radikal Salafi Wahabi kemudian berbondong-bondong mendatangi negeri Suriah untuk bergabung dengan kelompok-kelompok pemberontak bersenjata untuk meneror pemerintah dan rakyat Suriah dalam kungkungan ilusi dan buaian mimpi-mimpi indah mereka tentang jihad.
Bahkan ironisnya presiden ke-6 kita, SBY, sampai larut dalam irama gendang tarian komplotan Amerika-Saudi dan para sekutunya sehingga pada tahun 2013 silam ikut-ikutan mereka menyuarakan pengunduran diri Presiden Bashar Al Assad dari jabatannya. Blunder politik SBY ini telah menciderai prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif sekaligus menjadi sebuah catatan kelam politik luar negeri kita.
Yusril Ihza Mahendra, yang akhir-akhir ini getol mempromosikan diri sebagai bakal cagub DKI 2017, juga termasuk salah seorang yang gagal paham mengenai duduk perkara konflik Suriah. Lucunya lagi, dia bahkan mempersamakan posisi Bashar Al Assad dengan posisi Soeharto menjelang kejatuhannya pada medio 1998 yang lalu. Secara serampangan, Yusril menyamakan konteks keadaan di Suriah dengan konteks keadaan Indonesia pada tahun 1998.Â
Di mata Yusril, gerakan pemberontakan bersenjata yang dilakukan para teroris dukungan komplotan Amerika-Saudi untuk menjatuhkan Bashar Al Assad ini sama dengan gerakan rakyat Indonesia yang menuntut pengunduran diri Soeharto. Padahal 80% lebih para teroris pemberontak Suriah berasal dari luar Suriah, sedangkan penuntut mundur Soeharto di Indonesia adalah rakyat Indonesia sendiri. Lalu bagaimana bisa Yusril menyamakan keduanya?
Lagi, menurut politisi kawakan itu, presiden ke-2 RI itu lebih patut diapresiasi dibanding Al Assad karena  bersedia mundur dari jabatannya atas desakan rakyat Indonesia. Sedangkan Presiden Suriah yang didukung mayoritas rakyatnya itu tetap bersikukuh pada kedudukannya kendati Amerika, Saudi, Qatar, Turki dan sekutunya yang lain terus menekannya untuk mundur. Disinilah semakin tampak nyata kegagalan paham Yusril. Entah kenapa, dia terlihat sulit untuk membedakan antara 'didesak mundur rakyat' dengan 'didesak mundur pihak asing'.
Namun untunglah kini ada sebagian media nasional kita yang mulai sadar diri dan memahami realitas konstelasi konflik Suriah. Semoga ini akan menjadi secercah harapan untuk menyadarkan 'orang-orang yang telah gagal paham' dalam memandang konflik Suriah. Dan harapan kita selanjutnya, 'orang-orang yang telah berubah menjadi paham' ini akan bangkit menumbuhkan kekuatan besar yang mampu menekan komplotan Amerika-Israel-Saudi-Qatar-Turki agar menghentikan dukungan dan bantuannya pada para teroris yang telah mengacak-acak Suriah dan Irak. Komplotan Amerika-Saudi cs harus bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan yang amat memilukan dan telah merenggut lebih dari 400 ribu jiwa, sementara jutaan yang lain harus terlunta-lunta mengungsi ke negeri lain.
Pertanyaan berikutnya yang menggelitik: Lalu bagaimana tanggung jawab media-media kita yang selama ini hanya membebek media barat sehingga mengakibatkan banyak orang menjadi gagal paham dan tentunya secara otomatis akan menyebabkan orang tersebut bertindak salah dalam menyikapi konflik Suriah?