Aku melakukan sebuah perjalanan. Ya karena memang aku menyukainya. Bentuk perjalanan itu adalah naik gunung. Sebenarnya aku melakukan perjalanan ini sudah lama, sekitar tahun 2019. Biasanya aku cuma menulis di story, tapi kali ini aku menulis disini karena ada dorongan, mungkin lebih tepatnya sebuah tuntutan. Aku mendaki gunung bersama teman-temanku. Tepatnya mendaki di gunung Prau via Patak Banteng.
Aku menyukainya, melihat menakjubkannya kehidupan dari sudut ketinggian. Bintang di hamparan langit yg hitam sempurna, menyaksikan matahari terbit diujung subuh, lalu nampaklah panorama yang Subhanallah. Semilir angin riuh menggoyangkan pucuk-pucuk daun dan rerumputan dalam damai dan lembut. Mungkin lebih tepatnya aku sedang kabur sih. Melarikan diri sejenak dari hiruk pikuk kehidupan yang semakin menjadi-jadi. Karena mendaki gunung mengajarkanku untuk selalu berdoa dan bersyukur. Berdoa agar baik baik saja. Bersyukur bisa menikmati semuanya betapa maha besar Alloh telah memberikan nikmat yang tidak terhitung, serta keindahan yg tidak mampu disangkal.
Aku dan teman-temanku memulai pendakian pada pukul 8 pagi. Pada saat itu cuaca sudah terlihat berkabut, tapi tidak mengurungkan niat kami untuk mendaki. Kami membutuhkan waktu dua belas jam perjalanan dari rumah untuk sampai ke gunung prau. Jadi sayang kalau sudah sampai disini tapi tidak jadi mendaki. Walaupun cuacanya berkabut pendakian masih kami jalani. Sebelum memulai pendakian kami belum sarapan, hanya makan beberapa gorengan yang kami beli di terminal. Hal itu membuat salah satu dari kami kepalanya pusing. Akhirnya kami memutuskan untuk berhenti untuk memasak agar bisa sarapan. Memang itu kesalahan kami yang tidak mempersiapkan dengan baik. Awalnya kami menganggap itu bukan sebuah masalah karena kami belum merasa lapar.
Setelah sarapan dan istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Pendakian kami juga tidak begitu cepat, kami berjalan dengan pelan-pelan. Sambil menikmati pemandangan yang diselimuti kabut. Sesampai di pos dua kami istirahat lagi sambil memijat kepala temanku yang pusing. Setelah dirasa cukup istirahat kami melanjutkan perjalanan kami.
Lagi-lagi perjalanan kami tidak begitu mulus, dipertengahan perjalanan harus berteman dengan hujan. Aku dan teman-temanku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mantel kresek. Karena memang tidak ada tempat untuk berteduh. Hujan yang menemaniku dan teman-temanku cukup membuat medan menjadi licin, apalagi kebanyakan pijakan adalah akar-akar besar. Hal itu memaksaku untuk sangat hati-hati dalam memijak. Bagiku setiap pijakan adalah pilihan. Memilih pijakan yang tidak rapuh agar tidak jatuh dalam keputusasaan.Â
Berjalan dengan pelan-pelan dan sangat hati-hati, akhirnya aku dan teman-temanku sampai juga di area camp. Ternyata masalah baru pun muncul lagi. Tenda yang kami bawa ternyata ritseletingnya rusak, membuat tenda tidak bisa ditutup. Suasana pun menjadi keruh. Disaat ingin berteduh di dalam tenda, ternyata tendanya tidak bisa ditutup, sehingga air ikut berteduh. Apakah ini salahku, salah temanku, salah yang meminjami tenda, atau salah siapa? Mungkin ini bukan waktunya untuk saling menyalahkan. Percuma juga mencari siapa yang salah. Yang terpenting mencari solusi dari masalah ini. Akhirnya kami memasang peniti untuk menutup tenda. Peniti ini kami dapatkan dari pendaki lain, karena aku dan teman-temanku adalah laki-laki, sangat tidak mungkin jika kami membawa peniti.
 Walaupun tidak bisa tertutup rapat sebagaimana mestinya, setidaknya masih bisa tertutup. Pintu tenda yang hanya dijepit dengan peniti membuat tenda memiliki banyak celah yang membuat angin ikut masuk ke dalam tenda yang membuat udara di dalam tenda menjadi dingin dan membuat kami kedinginan.
Namun perjalanan ini cukup bagiku untuk ingin mengulanginya lain kali. Walaupun tidak sesuai dengan ekspetasiku. Lautan awan yang bergelombang, panorama indah dari sudut ketinggian, semua itu tidak bisa aku dapatkan karena cuaca yang tidak mendukung. Kabut tebal menutupi pandanganku, sehingga membuat pandanganku terbatas. Tapi tidak masalah, perjalanan ini cukup menjadi tanda bagiku bahwa aku butuh tempat untuk kabur, dan aku menyadari selama kita bernafas akan selalu mengalami kesulitan. Karena usia bukan hanya sekedar angka, tapi juga berpikir dan berlaku.
Di Gunung Prau aku bertemu dengan ibu berusia tiga perempat abad. Beliau mendaki gunung bersama keluarga besarnya, anaknya, menantunya, bahkan cucu-cucunya pun ikut mendaki. Hal itu membuatku iri. Membuatku ingin mendaki bersama keluarga besarku suatu hari nanti. Beliau mengajarkanku dengan pribadinya. Beliau mengajarkanku bahwa potret diri semasa muda adalah hadiah untuk anak-anak ketika menua, tapi menua yang bagaimana yang dihargai kehidupan? Tua yang bisa dihargai kehidupan adalah tua yang fisiknya bukan jiwanya, keriput yang kulitnya bukan hatinya, lemah yang tulangnya bukan otaknya. Lalu aku minta didoakan oleh beliau agar tidak menua dan mati dalam sia-sia.
Terima kasih untuk semuanya: Guru, Ibu, bapak, saudara, teman, dan siapa saja yangg telah membantuku menjadi dewasa dan mendoakanku. Mungkin maaf saja tidak cukup, tapi semoga segala yang terbaik bagi semuanya. Semoga Alloh selalu memudahkan, melapangkan, dan merahmati jalan kita. Amin
Dariku yang sudah lebih seperempat abad hidup di dunia walaupun aslinya masih ingin jadi kanak-kanak.