Sekolah tempatku mengajar terletak di tengah-tengah perkampungan nelayan. Sehingga selalu ramai oleh ragam kegiatan masyarakat. Namanya saja perkampungan nelayan, otomatis sebagian besar masyarakat sana bermatapencaharian yang berhubungan dengan hasil laut. Mulai dari jnelayan, pedagang sampai mereka yang mengolah hasil laut seperti terasi dan petis.
Seperti kampung nelayan lain, putus sekolah dan perkawinan usia muda adalah sesuatu yang banyak terjadi. Alasannya lagi-lagi masalah ekonomi dan kebiasaan  yang telah berlangsung secara turun temurun.
Seorang anak laki-laki lebih memilih untuk ikut bekerja sebagai nelayan yang menghasilkan uang daripada bersekolah. Yang perempuan cenderung segera menikah karena kultur masyarakat yang telah mentradisi.
Sehingga si laki-laki lebih banyak diluar rumah karena pekerjaan sebagai nelayan yang menuntut demikian. Yang perempuan lebih banyak mengurus rumah tangga termasuk mengantar bahkan menunggui anak-anak mereka yang masih kelas rendah.
Seperti hari itu, tampak seorang perempuan  muda yang menggendong anaknya yang masih bayi sedang mengantar anaknya yang lain yang duduk di kelas satu. Wajahnya biasa, tetapi karena pembawaan yang anggun, menjadikannya dia tampak luar biasa.
Sering kucuri pandang, kemudian lamunanku melayang sampai langit ketujuh yang kemudian terhempas gara-gara bel sekolah berbunyi nyaring.
Pernah pula kami saling ketemu pandang dan akhirnya kami sama-sama tertunduk malu.
Suatu hari anak perempuan tadi memuiku di kelas dan berkata dengan keras, "Pak, ada salam dari ibuku."
"Waalaikum salam," jawabku, "Salam apa katanya?" tanyaku sekenanya.
Anak tersebut menjawab dengan polos, "Salam I love you ........." disambut dengan sorak sorai muridku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H