Awal kami bertatapan ada getaran aneh didada. Semacam ada aliran deras di dada. Apakah .............. "Ah jangan," batinku. Dengan tidak terlalu menghiraukan getaran tadi kami melanjutkan aktifitas menyapu.
Waktu terus berjalan. Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Seiring berjalannya waktu pertemuan kami semakin intens. Sering kami ngobrol walau dibatasi pagar tanaman, berbagi cerita sampai joke-joke segar. Tatapan mata kami semakin dalam.
Suatu hari aku tak melihatnya menyapu. Halaman yang biasanya kotor oleh dedaunan kering kini telah bersih. "Mungkin sedang ada keperluan yang lain," pikirku. Lamunanku buyar ketika mendengar gemercik air dari kamar mandi yang tak jauh dari tempat biasanya menyapu. Aktifitas menyapu tetap kulanjutkan sampai kulihat dia keluar kamar mandi hanya terbalut sehelai handuk kemudian menjemur baju yang sebelumnya dia cuci atau sengaja mencuci baju di kamar mandi.
Untuk beberapa saat kupandangi tubuhnya. Sempurna. Segera kubuang pikiran yang tidak-tidak. Seolah jin putih di otaktu menampar dengan keras sambil berkata, "Hei cung, awas jangan macam-macam ya." Seketika lamunanku buyar.
Aku hanyalah seorang anak rantau dari luar daerah yang sengaja mencari pekerjaan. Secara kebetulan ada seorang rekan yang mengajak meraantau ke daerah ini. Aku sendiri adalah pemuda tanggung dengan seorang istri dan seorang anak yang sengaja kutitipkan di rumah orangtuaku. Sementara aku sendiri mencari penghasilan dengan bekerja di luar daerah. Rencananya tiap bulan aku akan mengirimi sebagian dari hasil jerih payahku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H