Bapakku dilahirkan pada tahun 1950 di sebuah dusun kabupaten paling selatan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lahir dan dibesarkan di lingkungan pertanian menjadikannya pola hidup sederhana sebagai motto hidupnya.Â
Lahir sebagai anak tertua dari empat bersaudara membuatnya harus mampu mengayomi dan melindungi adik-adiknya. Ditinggal ayah pada kelas lima SD menjadikannya sebagai pribadi yang tangguh.
Ditinggal sang ayah pada usia yang sangat belia dan sang simbok tidak berkenan untuk menikah lagi menjadikan sang simbok menjadi singel parent. Kecuali dituntut untuk mencari nafkah, Sujiyo kecil dituntut untuk bisa menggantikan peran bapak serta melindungi adik-adiknya. Bagi simbok pendidikan adalah sesuatu yang paling penting.
Saya adalah anak tertua dari 3 bersaudara. Pola asuh yang cenderung keras dan disiplin betul-betul terasa. Disamping itu, profesinya sebagai guru selalu memberi kesempatan kepada anak-anaknya untuk senantiasa belajar, melakukan perubahan sedikit demi sedikit serta menghargai proses yang terjadi dalam diri anak-anaknya.
Hidup prihatin, itulah yang selalu ditanamkan kepada anak-anaknya. Tujuannya satu, apabila suatu saat berada dalam situasi yang serba terbatas, maka tidak akan kaget lagi karena sudah terbiasa mengalaminya. Namun apabila mengalami situasi yang serba kecukupan, maka tidak akan menjadikan diri kita sombong.
Serba bisa
Mungkin bapak adalah salah seorang yang serba bisa. Tentunya membuat atau melakukan sesuatu yang sederhana.Â
Misal membuat mainan, perabot rumah tangga ataupun yang lainnya. Kami juga diajari untuk bisa melakukan pekerjaan rumah  tangga.Â
Walaupun kami laki-laki, memasak sederhana, mencuci perabot, mencuci pakaian, menyapu, mengepel adalah pekerjaan sehari-hari kami.Â
Menguasai ilmu pertukangan juga merupakan kehausan bagi kami. Menyemen, mengecat, menggergaji dan lainnya merupakan keterampilan yang harus kami kuasai.
Tidak perlu ngoyo