Mohon tunggu...
Anandyta Gabriela
Anandyta Gabriela Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tanggapi Ancaman Negara Barat, Rusia Gelar Latihan Senjata Nuklir dalam Waktu Dekat

10 Mei 2024   23:08 Diperbarui: 15 Mei 2024   22:28 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rudal balistik Rusia RS-24 Yars. AP/ALEXANDER ZEMLIANICHENKO 

Konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina kini semakin memanas setelah bertahun-tahun melakukan sengketa hingga adu kekuatan militer yang turut melibatkan banyak pejabat pro Ukraina sekaligus para aliansinya. Pihak-pihak pendukung Ukraina yang saat ini telah diketahui tidak lain dan tidak bukan adalah para pejabat negara Barat serta Uni Eropa. Pihak Barat dinilai telah menghasut Ukraina dan memancing negara tersebut untuk keluar dari jangkauan kekuasaan Rusia melalui perubahan identitas negara yang dahulunya sama-sama menjadi bagian dari federasi Uni Soviet. 

Latihan senjata nuklir taktis di dekat Ukraina merupakan suatu kode yang ditujukan kepada pejabat Barat mengenai kesiapan Rusia jika sewaktu-waktu negara Barat semakin banyak meluncurkan ancaman yang dapat membuat Rusia merasa posisinya berada dalam bahaya seperti melakukan intervensi dan melibatkan diri dalam perang dengan mendukung Ukraina. Latihan ini bukan semata-mata untuk menggertak pejabat negara Barat karena persiapan penggunaan senjata nuklir mengikutsertakan distrik militer wilayah selatan serta angkatan laut negara Rusia. Di sisi lain, Rusia merasa semakin terganggu dengan pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron yang bersedia untuk mengirim pasukan ke Ukraina jika invasi Rusia tetap dilanjutkan. Rusia hingga saat ini masih mencurigai Amerika Serikat beserta sekutu sebagai pihak yang memprovokasi terjadinya perang nuklir dunia karena terus-menerus mendukung Ukraina secara aktif untuk menanggapi serangan Rusia. Amerika Serikat dengan berani menggandeng Ukraina dan menjadi rival Rusia bukan tanpa sebab, Amerika Serikat sendiri termasuk negara super power yang memiliki kekuatan nuklir terbesar di dunia sama seperti negara yang dipimpin oleh Putin selama lima periode terhitung pada tahun ini. Tidak heran jika salah satu negara adikuasa tersebut lebih dikenal khalayak umum sebagai negara dengan intervensionisme yang tinggi.

Pada 24 Februari 2022, operasi militer khusus pertama oleh Rusia berhasil dikerahkan. Invasi ini menarik berbagai perhatian negara-negara di dunia karena dikhawatirkan akan memicu Perang Dunia ketiga dan tentunya dapat menyebabkan kekacauan di sejumlah negara baik itu yang terlibat langsung dalam konflik maupun negara yang bahkan tidak pernah ikut campur dalam konflik ini. Krisis ekonomi, kekacauan dunia, dan ledakan korban jiwa sudah dapat dipastikan akan terjadi sebagai konsekuensi dari perang apabila tidak berhasil diselesaikan. Serangan udara berupa peluncuran rudal disusul dengan invasi secara besar-besaran melalui serangan darat dari berbagai arah pada tahun 2022 tercatat telah memakan banyak korban. Berdasarkan hasil statista, terdapat sebanyak 10.582 korban jiwa dan 19.875 korban luka-luka akibat invasi negara Rusia. Apabila perang ini terus berlanjut maka dampak yang lebih besar dan berkelanjutan akan menjadi mimpi buruk bagi negara-negara tetangga.

Konflik ini telah menggoyahkan kestabilan hubungan kerjasama yang terjalin antara kedua negara dengan beberapa negara di dunia, mengancam perdamaian dan stabilitas benua Eropa termasuk mengundang keterlibatan negara luar hingga ancaman terhadap jalur logistik pangan dunia. Pemimpin dunia seperti Presiden AS, Joe Biden telah mensinyalir negara Rusia akan adanya sanksi ekonomi Barat jika tetap meluncurkan serangan terhadap Ukraina, mengingat banyaknya maklumat yang diterima mengenai militer di perbatasan negara. Beberapa pemimpin Eropa seperti Presiden Prancis, Emmanuel Macron serta Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan juga turut mengambil tindakan berupa negosiasi antara negara Rusia dan Ukraina. Selain itu, Indonesia melalui diplomasi Presiden Jokowi memutuskan untuk menjadi mediator dalam penyelesaian konflik Rusia-Ukraina. Indonesia sebagai negara yang menganut politik luar negeri bebas-aktif tentu tidak tinggal diam dalam menghadapai konflik sekelas dunia yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan seluruh negara. Upaya mediasi terhadap penyelesaian konflik yang terjadi juga serta-merta dilakukan oleh berbagai pemimpin negara, PBB, dan lembaga-lembaga internasional. Proses negosiasi dapat dimulai dan dianggap berhasil jika Rusia menyetujui dan memutuskan untuk menyelesaikan konflik secara diplomasi atau tanpa serangan senjata, diukur dari Rusia sebagai negara super power dunia yang tentu segala keputusannya berpengaruh besar bagai situasi dunia kedepannya.

Uni Eropa saat ini juga sedang digadang-gadang akan memutus hubungan dengan Presiden Putin. Setelah kemenangan Putin atas Pemilu bulan Maret lalu disiarkan, Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan beberapa negara Uni Eropa menolak mengirimkan perwakilan untuk menghadiri pelantikan Putin dan sejauh ini hanya perdana menteri Hungaria yang memberikan selamat atas kemenangannya. Beberapa waktu setelah pelantikan Putin, Majelis Parlemen Dewan Eropa (PACE) menyarankan untuk mengakhiri hubungan dengan Rusia kecuali menyangkut kerjasama terkait kemanusiaan atau upaya perdamaian. Padahal, sebelumnya Uni Eropa menjalin hubungan baik bersama Rusia dalam berbagai sektor ekonomi, perubahan iklim, hingga penyelesaian konflik Timur Tengah. Uni Eropa juga menjadi pendukung setia Rusia saat melakukan aksesi ke World Trade Organization sampai proses tersebut rampung. Meskipun demikian, hubungan Uni Eropa dan Rusia perlahan meregang akibat penyebaran propaganda, campur tangan, serta pelanggaran hak asasi manusia. Disusul dengan tindakan Putin yang menginvasi Ukraina secara besar-besaran dan berakhir membuat keduanya menjadi rival.

Kabar Ukraina yang berencana akan bergabung dengan Uni Eropa dan NATO, kini seolah menjadi masa depan suram bagi Rusia karena dikhawatirkan Ukraina akan berdiri sebagai garis terdepan NATO untuk menyerang negara federasi tersebut. Perluasan wilayah kekuasaan NATO dianggap mengabaikan sekaligus mengucilkan eksistensi dan kapabilitas Rusia di mata dunia. Pemikiran yang terlalu kritis inilah yang mendorong Rusia untuk terus menggertak negara Eropa Barat melalui latihan senjata nuklir yang terukur ditambah Presiden Putin yang selalu menilai segala pernyataan yang berasal dari mulut pejabat negara Barat sebagai ancaman bagi kedaulatan wilayah Rusia seperti pernyataan Prancis dan Inggris yang telah memasok senjata ke Ukraina. Kini Rusia turut dinilai telah melanggar hukum internasional, menciptakan ketegangan antara Rusia dan negara Uni Eropa Barat, melanggar wilayah teritorial negara tetangga serta membatasi kedaulatan Ukraina yang mana Ukraina sendiri sudah lama menjadi anggota PBB dan secara paten telah diakui kemerdekaannya serta berdaulat penuh atas negaranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun