Mohon tunggu...
Ananda Raisya Assyifa
Ananda Raisya Assyifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, UPN "Veteran" Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Buntut Keluarnya Filipina dari ICC: Perang Narkoba dan Genosida

25 April 2023   12:00 Diperbarui: 25 April 2023   12:02 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak kenal dengan Rodrigo Duterte? Presiden Filipina yang telah menjabat lebih kurang enam tahun tersebut terkenal dengan sederet kontroversi baik tentang kehidupan personal maupun terkait kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan Presiden Duterte yang sempat menuai pro dan kontra baik dalam skala domestik maupun internasional adalah kebijakan Perang Narkoba yang diimplementasikannya selama ia menjabat sebagai presiden.


Jika melihat kembali ke sejarah filipina, negara bekas jajahan spanyol ini tidak pernah lepas dari keterlibatan narkotika dalam perjalanannya. Narkotika telah digunakan dan terkenal dikalangan masyarakat Filipina bahkan sejak tahun 1521. Narkotika jenis Opium digunakan oleh suku Moro dari Mindanau untuk mengatasi rasa takut mereka dalam melawan penjajah Spanyol pada tahun 1631. Seiring berjalannya waktu, penggunaan narkotika dilingkungan masyarakat Filipina berkembang dengan signifikan. Obat-obatan seperti heroin, ganja, kokain, dan obat-obatan terlarang lainnya mulai menunjukkan eksistensinya. Dikarenakan tidak adanya aturan yang ketat terkait jenis obat-obatan tersebut, akhirnya masyarakat Filipina dengan bebas memakai narkotika.


Rodrigo Duterte lahir pada 28 Maret 1945 (78 tahun) merupakan seorang politikus dan pengacara, sebelum ia menjabat menjadi Presiden Filipina pada tahun 2016. Duterte naik menjadi Presiden Filipina ke-16 menggantikan Benigno Aquino III. Tidak lama setelah ia dilantik pada tahun 2016, dengan segera Presiden Duterte menepati janji kampanyenya dimana ia berjanji akan membasmi narkotika di Filipina. Ia kemudian kembali memberlakukan 9 Republic Act 9145 dimana tertulis bahwa hukuman bagi penyalahguna narkoba adalah penjara seumur hidup hingga hukuman mati dan denda sebesar lima ratus ribu hingga sepuluh juta peso. Namun pemberlakuan kembali undang-undang ini tidak begitu memberikan dampak yang signifikan sehingga Presiden Duterte kemudian memerintahkan unit kepolisian untuk membunuh siapa saja yang melawan ketika ditangkap dan memberikan imbalan sebesar $300 bagi polisi yang berhasil membunuh penyalahguna narkotika tersebut. Namun pada pelaksanaannya, penembakan tetap terjadi walaupun para pelaku narkoba telah menyerahkan dirinya untuk diadili. Akibat dari kebijakan ini setidaknya sekitar 5000 orang telah tewas dalam peristiwa baku tembak antara unit kepolisian dan para pengedar. Hal ini kemudian menimbulkan krisis kemanusiaan di Filipina.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Duterte ini bertentangan dengan hukum internasional Art 3 United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psyochotropic Substances 1998 yang menyebutkan bahwa pelaku narkoba harus diberikan rehabilitasi, perawatan, edukasi, dan sosialisasi. Peraturan tersebut sama sekali tidak ada menyebutkan adanya hukuman mati bagi para pengguna narkoba.

Pembunuhan massal diluar hukum ini kemudian menarik perhatian Amnesty International dan International Criminal Court (ICC). ICC sendiri merupakan suatu mahkamah yudisial permanen, bersifat mandiri dan berskala internasional untuk mengadili kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. ICC mengklaim bahwa Presiden Duterte telah melakukan tindakan kejahatan HAM kelas berat berupa pembantaian besar-besaran (genosida). Berdasarkan alasan tersebut juga ICC melakukan penyelidikan terhadap presiden Filipina Rodrigo Duterte tepatnya pada bulan Februari 2019, tetapi nampaknya Filipina tidak ingin ICC mengganggu Presidennya. Filipina kemudian mengancam akan keluar dari Pengadilan Pidana Internasional dengan menarik diri dari Statuta Roma 1998. Melihat tidak ada efek dari ancaman tersebut, pada 19 Maret 2019, Filipina menarik diri dari Statuta Roma 1998. Presiden Duterte kemudian menyatakan bahwa ICC tidak akan dapat melakukan penyelidikan dan pengadilan baik kepada Filipina maupun dirinya.
Namun, walaupun Filipina menarik diri dari Statuta Roma 1998, tidak lantas menghentikan penyelidikan yang dilakukan oleh ICC, sebagaimana tertulis Statuta Roma mengenai penarikan diri yaitu pasal 127 ayat (1) dan (2) Statuta Roma 1998 yang menjelaskan bahwa Penarikan diri sebuah negara tidak mempengaruhi setiap kerja sama dengan Pengadilan dalam hubungan dengan investigasi dan penuntutan pidana yang mengenai hal itu dan negara yang menarik diri sebelumnya mempunyai kewajiban untuk bekerja sama. Maka dari itu berdasarkan ketentuan penarikan diri dalam statuta Roma 1998 ini Yuridiksi ICC atas kasus ini tidak semata-mata hilang dengan adanya penarikan diri Filipina, ICC tetap dapat melakukan pemeriksaan terhadap kasus ini dalam kurun waktu paling lama satu Tahun hingga menjatuhkan putusan, tetapi yang menjadi permasalahannya adalah Filipina sama sekali tidak mau bekerja sama.

Dapat disimpulkan bahwa perang narkoba yang dideklarasikan oleh Presiden Rodrigo Duterte dalam upaya pembasmian narkotika dan obat-obatan terlarang di Filipina telah menyebabkan tewasnya kurang lebih lima ribu jiwa dalam pelaksanannya. Hal ini sudah jelas merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat sebagaimana diatur dalam DUHAM. Walaupun Filipina menarik diri dari Statuta Roma 1998, tidak semata-mata mengehentikan penyelidikan yang dilakukan oleh ICC terhadap genosida tersebut sebagaimana dijelaskan bahwa sebuah negara dapat benar-benar menarik diri dari Statuta Roma 1998 satu tahun setelah lembar penarikan diri diserahkan kepada Sekretaris Jendral dan walaupun Filipina telah keluar dari Statuta Roma 1998, Filipina tetap wajib bekerja sama atas nama kemanusiaan terhadap ICC. Alih-alih menggunakan kekerasan dalam membasmi penyalahgunaan narkoba, Filipina sebaikan tetap mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan hukum HAM yang berlaku, sehingga kebijakan ini kemudian tidak menjadi pisau bermata dua yang kemudian dapat berbalik kepada pemerintahan Filipina itu sendiri, terutama Duterte sebagai presiden terpilih yang mengeluarkan kebijakan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun