Semua berawal dari kedatanganku ke kota ini. Dari sinilah cerita dimulai, di bawah langit mendung dan awan kelabu. Begitu turun dari pesawat, rasa tak nyaman mulai muncul di benakku. Maklum, kedatanganku ke sini bukan untuk berlibur ataupun berwisata. Cape Town memang kota yang indah dan cantik, tapi kali ini terasa berbeda.
Perjalanan begitu panjang dan melelahkan. Kutarik koper besarku dan membetulkan letak tas ransel di pundakku yang terasa begitu berat. Gersang dan panas sangat menggambarkan kota ini saat ini. Namaku Raindra Majaya Saswanto, seorang warga negara Indonesia yang bekerja di salah satu organisasi dunia. Tidak terbayangkan bukan? Tapi mari bercerita secara perlahan.
Baru dua hari aku tiba, dunia berubah menjadi neraka. Virus mematikan menyebar dengan cepat, mengubah manusia menjadi makhluk haus darah. Cape Town yang indah kini menjadi kota mati.
Di tengah kekacauan itu, aku bertemu Imelya atau Imel. Dia peneliti muda yang sedang melakukan riset di Afrika Selatan. Kami bertemu di bandara dan sejak itu berjuang bersama untuk bertahan hidup.
Kini, kami berlari sekuat tenaga. Kugenggam tangan Imel erat-erat agar kami tidak terjatuh. Kami bersembunyi di belakang tangki-tangki besar. Nafasku tak beraturan, muka Imel begitu pucat pasi. Dia sangat ketakutan, bibir kecilnya gemetaran. Aku pun merasakan hal yang sama.
Lorong itu sempit, gelap, dan remang-remang. Dalam hati kecil kami berdoa agar para zombie itu tak ada yang merasakan keberadaan kami. Namun tanpa sengaja, kaki Imel menyenggol kayu yang ada di samping tangki. Suara itu menyebabkan makhluk beringas itu dapat mengetahui keberadaan kami.
Tak lama kemudian, dari jauh tampak beberapa sosok tubuh yang berjalan terseok-seok menghampiri kami. Tanpa berpikir panjang aku berbisik pada Imel, "Mel, sepertinya kita harus berlari lagi dan pergi dari tempat ini. Di sebelah sana ada truk besar, kita akan berlari ke sana. Aku akan terus memegang tanganmu. Ingat, jangan lepaskan tanganmu dariku apa pun yang terjadi."
Imel mengangguk, matanya memancarkan ketakutan sekaligus tekad. "Aku mengerti, Rain. Ayo kita lakukan."
"Dalam hitungan ketiga, kita berdiri dan langsung berlari," kataku. "Satu... dua... tiga!"
Kami melesat dari persembunyian. Belum sampai pada truk itu, seorang mayat hidup sudah menghadang. Dengan cepat kuhantam wajahnya menggunakan satu tangan. Kami berhasil mencapai truk, namun kejutan menanti. Dari dalam truk, mayat-mayat hidup bermunculan. Sepertinya mereka baru saja terkena virus.