Pemilihan Umum atau biasa disebut dengan “ PEMILU “ adalah pesta demokrasi terbesar di Indonesia yang mengimplementasikan dari sila ke-4 pancasila yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan”. Pemilu di Indonesia merupakan peristiwa dimana masyarakat kesulitan dalam membedakan mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah. Pesta demokrasi yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali ini sering menyebabkan konflik antar masyarakat, salah satu penyebabnya adalah adanya berita palsu maupun disinformasi yang tersebar luas dikalangan masyarakat yang ikut serta dalam pesta demokrasi.
Pada ajang pesta demokrasi 2024 di bulan Februari kemarin diikuti oleh 3 kontestan. Kontestan yang pertama adalah pasangan Anis dan Cak Imin atau pendukungnya biasa menyebutnya AMIN. Kontestan yang kedua adalah pasangan Prabowo dan Gibran atau pendukungnya biasa menyebutnya dengan kata “ GEMOY “. Lalu kontestan terakhir adalah pasangan Ganjar dan Mahfud MD yang diusung oleh partai pemenang pesta demokrasi 5 tahun lalu yaitu PDIP Perjuangan atau dikenal dengan partai banteng.
Layaknya pertandingan sepak bola, setiap tim memiliki strategi yang berbeda dalam meraih kemenagan untuk mendapatkan peringkat nomer satu. Setiap kontestan memiliki cara yang berbeda dalam menarik perhatian masyarakat. Ada yang menggunakan cara diskusi bersama membicarakan untuk masa depan bangsa. Ada juga yang menggunakan cara psikologi masyarakatnya dengan memberikan rasa tenang dan nyaman dengan jogetan - jogetan maupun gimmick yang sudah dipersiapkan. Ada juga yang mengundang band ternama untuk turut hadir memeriahkan panggung kampanye guna manarik perhatian masyarakat. Masih banyak strategi yang lainnya yang dilakukan untuk memikat perhatian masyarakatnya.
Sama - sama kita ketahui bersama bahwa disetiap pesta demokrasi yang dilakukan setiap 5 tahun sekali ini masih terdapat beberapa oknum yang menggunakan strategi yang menghalalkan segala cara, salah satunya adalah dengan membuat informasi ataupun menyebarkan informasi yang mengandung unsur kebohongan dengan sengaja yang bertujuan untuk menjatuhkan kontestan lainnya. Berita palsu menurut Chen ( 2014 ) adalah berisikan informasi sesat dan berbahaya karena menyesatkan persepsi manusia dengan menyampaikan informasi palsu sebagai kebenaran. Pesta demokrasi tahun ini masih terdapat oknum - oknum yang melakukan hal tersebut untuk menjatuhkan kontestan lainnya.
Masyarakat umum biasanya menyebutnya dengan sebutan buzzer. Konteks buzzer di dalam pesta demokrasi ini adalah seseorang yang ditugaskan untuk memperbagus salah satu kontestan. Buzzer ini layaknya seperti tukang cukur yang ditugaskan untuk memperganteng rambut sesuai dengan kemauan raja atau pelanggan. Tidak menjadi masalah ketika buzzer ini berada di jalur yang lurus. Menjadi masalah ketika buzzer ini terlalu memperganteng raja nya dengan melakukan penggiringan opini yang didasarkan dengan kebohongan sehingga dapat memengaruhi masyarakat. Target utamanya adalah para pengguna aktif sosial media.
Sudah tidak lazim lagi bahwa penyebaran berita palsu atau disinformasi selalu meningkat ketika adanya pesta demokrasi. Menurut Unesco (2019), disinformasi adalah informasi yang salah atau palsu, tetapi orang yang menyebarkan atau membuat informasi mengetahui kesalahan tersebut dan tetap menyebarkannya sebagai kebenaran. Hal ini seperti penyakit diabetes yang susah disembuhkan kalau bukan dari kemauan diri kita sendiri. Agar dapat sembuh dari penyakit diabetes adalah mengurangi gula dan juga menjaga serta menyaring makanan yang masuk ke dalam tubuh kita. Peristiwa seperti ini harus dapat disembuhkan agar demokrasi yang sudah tertuang pada sila ke-4 tidak mengalami kematian. Selain akan mengalami kematian, penyakit ini juga dapat menghilangkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap pesta demokrasi berikutnya. Perpecahan antar masyarakat juga dapat terjadi apabila berita palsu ini terus menerus dilakukan dan disebarluaskan. Hal yang dapat kita lakukan adalah meningkatkan literasi digital agar kita dapat menyaring mana berita palsu dan mana berita yang didasarkan pada kebenaran. Pemerintah juga harus ikut andil dalam penyembuhan penyakit ini dengan memperketat regulasi serta melakukan edukasi terhadap masyarakat dengan mengadakan pelatihan mengenai pencegahan berita palsu.
Pesta demokrasi yang berlangsung setiap lima tahun ini, merupakan wujud nyata dari demokrasi berdasarkan sila ke-4 Pancasila. Namun, pelaksanaannya sering kali diwarnai oleh tantangan masyarakat dalam membedakan informasi yang benar dan yang salah. Setiap peserta pemilu memiliki strategi tersendiri untuk meraih simpati masyarakat, walaupun terdapat beberapa oknum yang menggunakan cara haram untuk memikat perhatian masyarakat.
Penyebaran berita palsu layaknya seperti penyakit diabetes, yang memerlukan penanganan serius dan kesadaran bersama dari masyarakat dan pemerintah untuk mengatasinya. Jika terus dibiarkan, hal ini akan merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dan meningkatkan potensi perpecahan sosial. Solusi utama adalah dengan meningkatkan literasi digital masyarakat agar mampu menyaring informasi, serta pemerintah perlu memperketat regulasi dan memberikan edukasi tentang bahaya disinformasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H