Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Inilah isu hangat yang menyelimuti masyarakat Indonesia beberapa minggu belakangan. BBM ibarat oksigen bagi manusia. Zaman yang semakin maju, dan penggunaan teknologi yang tinggi membuat bahan bakar menjadi unsur pokok setiap aktifitas social manusia. Mari bertanya betapa tidak efektif dan efisiennya setiap aktifitas kita jika tidak ditunjang modatransportasi yang memadai? Apa kita mau kembali ke zaman purba? BBM telah menjelma menjadi salah satu dari kebutuhan dasar manusia.
Senin kemarin, gedung Dewan yang terhormat melaksanakan Paripurna membahas APBN-P Pemerintahan SBY-Boediono untuk tahun 2013. Poin utama sebenarnya ada pada penyesuaian harga BBM yang diserahkan kebijakannya kepada pemerintah. Ada dua fakta utama seputar alasan penyesuaian harga BBM bersubsidi. Kata “penyesuaian” bisa saya indentikkan sebagai kata halus dari bahasa ‘menaikkan’.
Tahun 2012 kemarin, saat pembahasan APBN-P 2012, saya ingat alasan utama penyesuaian harga BBM waktu itu karena harga minyak dunia melambung tinggi, dan APBN disinyalir akan bobol jika dipertahankan harga Rp.4500 untuk bahan bakar jenis premium. Keputusan waktu itu adalah memilih opsi penyesuaian harga bias dilakukan dengan melihat dan memantau harga minyak dunia per Juli 2012. Jika harga minyak dunia stabil, maka kewenangan pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga menjadi gugur.
2013, pemerintah kembali ingin menyesuaikan harga BBM. Tapi penyesuaian pembanding ini saya pikir tidak masuk akal. Alasan utama pemerintah adalah BBM bersubsidi yang dijual tidak tepat sasaran. Menurut akal sehat saya, dan bisa dicermati dengan mata telanjang, ini adalah alasan kuno yang sangat tidak masuk akal. Semua rakyat Indonesia pun sudah mengetahui konsumen BBM bersubsidi juga termasuk sebagaian besar masyarakat kelas menengah yang mampu, dan bahkan juga kalangan ekonomi atas. Lantas mengapa pemerintah menjadikan ini sebagai alasan menaikkan harga BBM bersubsidi? Mungkin pemerintah ingin tidak berbelit membuka data impor minyak jadi, dan biaya yang dikeluarkan untuk membeli BBM dari negara produsen minyak.
Jika pada 2012 lalu pemerintah gagal menaikkan harga BBM dengan dasar rasionalitas naiknya harga minyak dunia, harusnya alasan penyesuaian harga BBM pada 2013 ini hanya merupakan dagelan belaka. Tapi nyatanya, tak ada opsi apapun di DPR. Setuju dan tidak setuju. Hanya itu opsi di paripurna Senin kemarin, dan seperti dugaan, partai-partai setgab meyetujui APBN-P tersebut. Hasilnya, pemerintah mempunyai wewenang menaikkan harga BBM sampai Rp.6500 rupiah untuk premium dan Rp.5.500 untuk jenis solar. Sungguh logika terbalik. Ibarat kata, setahun yang lalu, dengan uang 10 juta, tidak sanggup membeli sebuah sepeda, tapi di tahun ini, dengan uang seratus ribu malah bisa membeli sepeda motor, tak logis.
Gugur, pemerintah tidak bisa menaikkan harga BBM dengan alasan yang sangat umum seperti itu.
Masuk ke pengganti pengurangan subsidi harga BBM. Pemerintah menyediakan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) untuk 4 bulan kepada masyarakat miskin senilai Rp150.000. Logic? I’don’t thin so. Ini salah satu indikasi pemerintah tidak bisa mengelola isu dan program. Mana bisa uang segitu mengganti inflasi yang terjadi dan naiknya harga bahan pokok yang beriringan dengan wacana kenaikan harga BBM bersubsidi.
Alasan pemerintah yang menilai BBM bersubsidi dikonsumsi oleh kalalangan yang mampu atau dengan kata lain tidak tepat sasaran sebenarnya bisa dialamatkan juga untuk program BLSM ini. Tidak ada yang bisa menjamin BLSM akan tepat sasaran kepada yang membutuhkan, dan tidak ada yang bisa menjamin bantuan langsung sementara itu akan meningkatkan daya beli masyarakat miskin sesuai dengan naiknya harga seluruh kebutuhan pokok. Tidak ada keberimbangan antara tingginya inflasi yang akan terjadi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Ingat beberapa tahun lalu? Ada program yang sama dengan nama yang berbeda? Dulu namanya BLT (Bantuan Langsung Tunai). Apakah dulu BLT tepat sasaran? Hanya orang buta yang mengatakan demikian. Jelas-jelas kerusuhan dan ketidak jelasan peyaluran BLT membuat orang yang mampu pun menerima uang sebesar 300 ribu tersebut. Sistem distribusi yang tidak jelas membuat masyarakat hanya diajarkan untuk menengadahkan tangan. Program BLT bukan menumbuhkan pemahaman dasar kepada masyarakat untuk membeli bahan pokok, tapi bantuan tersebut hanya dianggap sebagai uang “dapat” saja. Artinya pemanfaatan BLT itu juga bebas dipergunakan baik untuk hal positif ataupun negatif. Tidak ada yang mengawasi.
Sekarang pemerintah mengganti jubah BLT menjadi BLSM. Tetap dengan mekanisme pendistribusian yang tidak jelas, maka sudah bisa dipastikan, Indonesia dibawa ke jalur yang sama, dan akan terjerembab ke dalam lubang yang sama. Gugur, dengan kompensasi BLSM ini pun penyesuaian harga BBM bersubsidi seharusnya tidak bisa disahkan.
Masih ingat dengan stiker di mobil plat merah yang melarang mobil tersebut menyedot BBM bersubsidi? Pemerintah saja tidak bisa menjamin mobil plat merah dan mobil keluaran 2005 ke atas untuk tidak mengonsumsi premium, sekarang pemerintah seakan-akan yakin BLSM bisa tepat sasaran. Logika macam apa ini?
Saya secara pribadi sebenarnya tidak mempermasalahkan harga BBM bersubsidi apakah dinaikkan atau diturunkan, atau berapa pun kebijakan pemerintah, tapi tentunya dengan catatan-catatan tegas. Jika memang harga premium di Negara seputaran Asia Tenggara berada jauh di atas harga premium di Indonesia, pertama pemerintah harus bisa menjaga stabilitas harga dan mengendalikan inflasi. Tapi sepertinya dengan kondisi realistis saat ini, hal tersebut mustahil di lakukan.
Pemerintah harus bisa meningkatkan daya beli masyarakat sebelum menaikkan harga BBM. Terhitung sejak Maret kemarin, telah beberapa kali wacana kenaikan harga BBM di keluarkan pemerintah, tapi tetap saja tidak jadi naik, namun, ongkos transportasi dan sembako telah curi start dulu dengan naiknya harga komoditas. Tentu bagi masyarakat yang kurang mampu dan berdaya beli rendah, menyebabkan dapur mereka tidak bisa “ngebul”.
Salah satu cara meningkatkan taraf hidup masyarakat dan menaikkan daya beli adalah, mudah dan tertatanya sistem infrastruktur dengan baik. Seandainya transportasi masal di Indonesia telah menjamin kebutuhan migrasi masyarakat, baik dari kota ke desa, atau pun sebaliknya, otomatis peredaran sembako dari produsen ke pasar kemudian ke konsumen akan efektif dan efisien. Mahalnya harga sembako salah satu penyebabnya adalah mahalnya biaya distribusi dan transportasi. Pecahkan dulu masalah semrawut moda transportasi, baru harga sembako dan lainnya bisa stabil.
Indonesia yang terdiri dari jajaran pulau dari Sabang sampai pojok Papua sana sudah seharusnya terkoneksi dengan baik. Kemacetan akan menciptakan kerugian. Jangankan di jalan raya yang notabene transportasi darat, saat ini di bandara Internasional Soekarno-Hatta pun, pesawat terbangnya saling tunggu satu per satu. Hal ini menyebabkan pending dan delay berjam-jam untuk masing-masing penerbangan. Bisa dibayangkan untuk kelas transportasi eksklusif yang dihuni mereka yang memiliki kepentingan tinggi masih dirugikan oleh waktu yang terbuang karena kesalahan manusia, bukan alam. Inilah pentingnya efisiensi dan efektifitas dalam migrasi.
Moda transportasi masal dan jalur-jalur transportasi harus dibenahi telebih dahulu, TransJakarta, MRT, Monorail, semua harus ada sampai tak ada jeda masyarakat yang menunggu trasportasi umum untuk bisa manaikinya, barulah BBM bisa dstandarkan dengan harga negara lain.
Intinya, hari ini naiknya harga BBM belum menunjukkan tingkat urjensi dan cwordid yang tinggi dan belum tepat waktunya karena daya beli dan kesejahteraan masyarakat serta infrastruktur di Indonesia belum mendukung hal itu. Jika tetap harga BBM naik, maka yang timbul adalah jurang kesenjangan sosial yang semakin melebar. Indonesia butuh presiden berani mengambil resiko dengan konsep-konsep dan terobosan baru yang tegas dan berpihak kepada kehidupan realitas sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H