Pada sebuah momen, aku dan kawan-kawanku duduk.
Membicarakan kehidupan, mengira-ngira masa depan dan saling mendengarkan pembacaan naskah sifat diri dari salah satu orang yang dapat mencerahkan kami.
Salah satu dari mereka, biasa.
Mereka semua, biasa.
Sampai ia menghapus dinding kepalsuannya.
Ya, dia beberapa menit lalu kulihat sebahagia yang lainnya.
Sampai dibongkar kepalsuannya.
Ia tertawa, dengan memikul pukulan lara.
Ia tersenyum, mengaku itu semua tidak apa-apa.
Ia tak pernah membahas kesedihannya, tanpa semua tahu hal itu ia hadapi dan alami tanpa ada kata "bagian akhir".
Ia seolah kuat, demi menutupi lemah nya yang selalu hadir.
Hidup tanpa ampun.
Luka tanpa maaf.
Sepalsu apa keaslianmu?
Tak ada pribadi yang selamanya bahagia.
Tawanya sedih.
Senyumnya lirih.
Semua orang selalu menyembunyikan bagian orisinil dari dirinya, dari lukanya, dari bebannya, dari hidupnya.
Aku pikir ia bahagia.
Tapi ternyata tidak, itu hanya kamuflase.
Hanya bingkai untuk menutupi foto duka lara dan kesedihan yang ia simpan.
Untuk dirimu yang selalu palsu, selalu tegar untuk menutupi keaslian itu.
Tegarlah. Kuatlah.
Tetaplah palsu jika itu yang menguatkanmu.
Tetapi jangan lupa, buanglah kepalsuan itu pada orang yang tepat.
Curahkanlah keaslian itu pada orang yang jika kau mengingatnya,
Kau akan berkata "aku percaya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H