Jean-Francois Lyotard lahir di Versailles Pada tanggal 10 Agustus 1924, Ia belajar di Universitas Paris dengan fokus pada sastra dan filsafat. Setelah Perang Dunia Kedua dan menyelesaikan pendidikannya, Lyotard mengajar di sebuah sekolah menengah di Aljazair pada tahun 1950. Ia pernah mengajar di Prayante Militaire di La Flche, sebuah sekolah untuk anak-anak dari kalangan militer.
Istilah "postmodernisme" berasal dari konteks perubahan dramatis  gaya arsitektur  pada awal tahun 1970-an. Pada tahun 1950-an,  gaya arsitektur modern yang diimpikan oleh Gropius dan van der Rohe, yang mengekspresikan kekuatan geometris sederhana, telah menyebar ke seluruh dunia. Dominasi ini memicu reaksi balik terhadap gaya arsitektur postmodern. Charles Jencks, seorang pendukung postmodernisme dalam arsitektur, menyatakan bahwa arsitektur modern telah mati di St Louis. Bagi Jencks, ini adalah kelahiran hegemoni modern dan awal  perlawanan terhadapnya.
Dengan membandingkan arsitektur modernis dan postmodern, kita dapat melihat bagaimana perbedaan tema dominan tercermin  dalam pemikiran poststrukturalis Perancis. Mungkin yang paling universal  adalah perlawanan terhadap otoritas yang menindas dan perayaan kebebasan individu, seperti yang terlihat dalam filsafat kebebasan Sartre, individualitas Camus, mitologi Barthes, dekonstruksi Derrida, dan silsilah sejarah Foucault. Sebagian besar perkembangan teori postmodern di Perancis dapat ditafsirkan dalam konteks sejarah  perjuangan hidup dan mati Perancis melawan totalitarianisme Jerman selama Perang Dunia II. Perjuangan kemerdekaan ini terjadi bersamaan dengan gerakan subversif Freudian dan Surealis, yang berfokus pada pembebasan masyarakat dari kekuatan penindasan yang ada dalam diri individu.
Lyotard kemudian menulis karya  berjudul ``The Postmodern Situation'' untuk memberikan gambaran tentang situasi sosial saat ini. Untuk memahami tempat karya ini dalam perkembangan intelektual Lyotard, penting untuk diketahui bahwa dia tidak menganut pandangan ini  sepanjang kariernya. Sebelumnya, Lyotard cenderung melihat bahasa sebagai kekuatan represif yang mendasar, seperti yang  dipahami  Barthes.
Namun, sebagaimana diakuinya kemudian, pandangan yang berpusat pada estetika bahasa tersebut tidak dapat secara efektif menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan politik, dan oleh karena itu ia meninggalkan pandangan-pandangannya sebelumnya dan akhirnya mendukung pandangan yang lebih berguna sebagai dasar pertimbangan masalah. Dari sinilah asal mula ketertarikannya terhadap bahasa dan berbagai wacana di dalamnya yang mewakili kekuasaan politik. Dengan cara ini, Lyotard  menjauh dari posisi yang diungkapkan Barthes dalam The Pleasures of Texts dan mendekati pendekatan Foucault yang memandang mode diskursif sebagai manifestasi struktur kekuasaan institusional.
Lintasan intelektualnya juga konsisten dengan cara Foucault berpindah dari konsepsi kekuasaan yang negatif atau represif ke konsepsi kekuasaan yang lebih positif atau independen dan konstruktif pada periode yang sama. Namun, bukan pandangan Barthes atau Foucault yang memberikan dasar yang lebih memadai bagi analisis Lyotard tentang postmodernisme. Sebaliknya, pengaruh terbesar Lyotard saat itu adalah filsuf Austria Ludwig Wittgenstein. Hubungan Lyotard dengan ketiga pemikir ini memberikan konteks bagaimana ia menggunakan konsep narasi sebagai sarana utama untuk menjelaskan spiritualitas postmodern. Lyotard menjelaskan hal ini dalam kata pengantar The Postmodern Situation, dengan menyatakan bahwa fokusnya adalah pada wacana legitimasi pengetahuan ilmiah.
Ia tertarik pada bentuk-bentuk pengetahuan dalam masyarakat postmodern, cara-cara di mana pengetahuan memperoleh otoritas, dan bentuk-bentuk spesifik yang diambil pengetahuan dalam  bentuk  yang sesuai dengan teknologi komputer. Sebagai dasar untuk mendefinisikan modernitas sebagai lawan dari postmodernisme, Lyotard pertama-tama berpendapat bahwa semua bentuk legitimasi melibatkan penyampaian  atau penceritaan sebuah cerita.
Narasi legitimasi ini berfungsi untuk mendefinisikan konteks global yang lebih besar, bermakna, dan tampaknya tak terbantahkan di mana aktivitas tertentu memperoleh makna positif  dan dengan demikian melegitimasi aktivitas tersebut. Menurut Lyotard, setiap aktivitas yang mengklaim mengungkapkan kebenaran memerlukan legitimasi dalam bentuk sebuah cerita, semakin besar,  komprehensif, kompleks, dan universal sebuah cerita, semakin banyak maka semakin kuat legitimasinya, Hal ini membuatnya fokus pada meta-narasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H