Film berjudul "99 nama cinta" yang mengusung tema casual romance ini disutradarai oleh Danial Rifki ,ditulis oleh Garin Nugroho,dan di produksi oleh MNC Pictures yang telah dirilis pada 14 November 2019. Film tersebut dimainkan oleh Acha Septriasa,Deva Mahenra, Chiki Fawzi, Adinda Thomas, Susan Sameh, Robby Purba, Donny Damara, Ira Wibowo dan Dzawin.
Film ini menceritakan seorang Talia (Acha Septriasa) sebagai presenter acara gosip sekaligus produser di sebuah acara infotainment populer yang memiliki rating tinggi berjudul "Bibir Talia", prinsip Talia yaitu "Semua cuma bisnis,jangan dibawa perasaan".Menurutnya kesuksesan program menjadi hal yang utama,dan mengenyampingkan sisi kemanusiaan dan juga moralitas.Talia tidak ragu menjebak para narasumber,dengan mengadakan acara tanpa persetujuan hanya demi rating.Talia tidak melangkah di jalan Allah itu pasti.
Suatu hari Talia kedatangan tamu ustadz muda yang mengaku diperintah oleh ibunya Talia (Ira Wibowo) agar mengajari Talia mengaji.Kiblat (Deva Mahendra) nama sang ustadz ternyata ia putera Kiai Umar (Donny Damara), yang merupakan kawan lama orang tua Talia, yang dahulu menerima bantuan kala mendirikan pondok pesantren. Kedatangan Kiblat didasari atas janji Kiai Umar membalas budi dalam bentuk pembagian ilmu dan memenuhi amanat dari ayah Talia sebelum meninggal.
Hubungan Talia dan Kiblat tidak langsung berjalan mulus mengingat sikap keduanya amat berlawanan. Talia membawakan acara gosip, sedangkan Kiblat mengajarkan buruknya aktivitas bergosip kepada para murid di pondok pesantren. Di film lain, saya yakin Kiblat bakal mengonfrontasi Talia, terang-terangan menghakimi profesinya.Tapi tidak di sini. Kiblat adalah sosok toleran ia menghargai profesi Talia.Menyuarakan itu di kelas merupakan bentuk pelaksanaan kewajiban selaku guru agama, namun di depan Talia, ia enggan melarang, meski tak membenarkan juga. Dan baik Kiblat maupun Kiai Umar tak sekalipun menyuruh Talia beribadah.
Namun suatu hari Talia harus berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa penayangan acaranya itu harus dihentikan karena tersandung oleh masalah hukum. Tidak berhenti disana, Talia juga dialih tugaskan untuk menjadi produser bagi acara religi yang tayang di pagi hari dan dikenal sebagai program yang paling tidak diminati di stasiun televisi tempatnya bekerja.
Namun Talia tidak menyerah begitu saja. Usahanya untuk menghidupkan acara religi tersebut kemudian membawa sosok Kiblat sebagai narasumber di program acaranya . Meskipun dengan sejarah persahabatan diantara mereka serta hubungan akrab yang terjalin antara orangtua keduanya, perbedaan jalan sekaligus pandangan hidup di masa dewasa membuat Talia dan Kiblat sama-sama terasa tidak pernah akur. Tetap saja, cinta selalu dapat menemukan jalannya untuk mencuri hati setiap insan yang diincarnya.
Program acara kuliah subuh Talia pun sukses menjadi acara top subuh dengan rating tinggi berkat mengiring Kiblat di program nya sebagai narasumber.Hingga akhirnya Talia naik jabatan menjadi eksekutif produser dan ditawarkan kembali menjadi presenter di program acara nya dulu yaitu bibir Talia ,namun Talia ragu-ragu dengan tawaran tersebut mengingat Talia sudah sadar bahwa acara gosip yang ia bawakan dulu itu tidak baik.Namun akhirnya ia kembali pada acara program nya dulu dan dengan cerdas nya Talia ia mengubah acara yang awalnya notabene nya gosip menjadi acara sharing yang bermutu.Semua perubahan yang terjadi pada Talia murni terjadi atas kesadaran Talia sendiri, yang bermula saat Talia dialih tugaskan mengurus kuliah subuh yang punya rating buruk dan dipandang sebagai acara buangan akibat sebuah kasus.Â
Sekilas film 99 Nama Cinta tak ada bedanya dengan film religi kebanyakan. Dua sejoli berlawanan sikap saling jatuh cinta, lalu akhirnya si alim mampu menggiring si biang maksiat menemukan hidayah. Naskah buatan Garin tetap bermuara ke sana, namun proses beserta segala pernak-perniknya jadi pembeda. Melihat penggambaran Kiblat sebagai ulama muda berparas rupawan berpenampilan modis, Garin ingin menjauhkan dakwah Islam dari kekakuan.
Terkait unsur religi,film 99 Nama Cinta tampil dengan memuaskan, bahkan termasuk salah satu yang terbaik dalam beberapa tahun terakhir.Film ini mengalun dengan lancar dan membiarkan setiap penonton untuk memberikan reaksi mereka sendiri terhadap berbagai pilihan sikap yang diambil oleh setiap karakter.Banyak pesan moral yang kekinian contohnya Talia yang begitu ambisius menjalani karirnya dan seringkali melupakan kehidupan personalnya sampai di satu titik merasakan kekosongan dalam jiwanya merupakan cerminan sebagian orang saat ini dalam mengejar dunia hingga lupa akan Tuhannya.
Namun meskipun begitu, film ini tidak sepenuhnya luput dari beberapa kelemahan.Contohnya saja sejumlah konflik yang tampil dengan tingkat kematangan yang kurang memuaskan di pemaparan tentang bencana alam di paruh ketiga film,terasa terlalu monoton dalam penyampaiannya. Ritme pengarahan Rifki juga agak tampil terbata-bata. Banyak elemen kisah yang disajikan terburu-buru sehingga kurang mampu untuk mendapatkan sentuhan emosional yang lebih mendalam. Terkait dramatisasi, terdapat momen yang mengganggu, menggelikan alih-alih menggugah akibat pengadeganan berlebihan, walau untuk hal ini, naskahnya ikut bertanggung jawab karena terburu-buru ingin menjabarkan bahwa Talia adalah individu berperasaan. Sementara romansanya justru hambar, sewaktu kecanggungan serta perbedaan Talia dan Kiblat mengurangi quality time keduanya. Sulit memedulikan keberlangsungan percintaan mereka.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H