Keuangan publik merupakan dimensi penting dari manajemen negara, yang mencakup proses pengumpulan pendapatan, manajemen sumber daya, dan alokasi dana publik yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di negara-negara lain, sebagian besar penduduknya menganut kepercayaan Islam, integrasi prinsip-prinsip Islam ke dalam keuangan publik menjadi semakin relevan dan penting untuk pembentukan kerangka ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Tujuan dasar keuangan publik Islam pada dasarnya berusaha untuk mengelola sumber daya negara dengan efisiensi, transparansi, dan kesetaraan, sehingga menegakkan nilai-nilai yang dianjurkan dalam Syariah. Prinsip-prinsip inti yang mengatur pengelolaan keuangan publik Islam meliputi keadilan sosial, larangan riba (bunga), transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan. Namun demikian, terlepas dari kejelasan teoritis dan validasi empiris dari prinsip-prinsip ini, penerapan praktisnya dalam kerangka ekonomi kontemporer menghadapi hambatan besar yang memerlukan pendekatan inovatif, pemahaman mendalam, dan upaya berkomitmen untuk menyelaraskan paradigma ekonomi Islam dengan tuntutan dan dinamika ekonomi global yang berkembang.
Prinsip dasar yang mengatur keuangan publik Islam adalah konsep keadilan sosial. Dalam kerangka ini, keadilan melampaui distribusi sumber daya yang adil; itu juga mencakup upaya untuk memberantas kesenjangan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Prinsip-prinsip Islam menggarisbawahi pentingnya distribusi kekayaan yang adil, memungkinkan setiap individu untuk mengambil bagian dalam manfaat yang diperoleh dari sumber daya yang tersedia. Mekanisme yang digunakan dalam tradisi Islam untuk mewujudkan keadilan sosial adalah sistem zakat, yang mengamanatkan bahwa individu yang memiliki kekayaan melebihi ambang batas tertentu menyumbangkan sebagian dari aset mereka untuk membantu mereka yang membutuhkan. Dalam konteks ini, negara juga ditugaskan dengan tanggung jawab untuk memastikan administrasi zakat yang efektif untuk memenuhi tujuannya, yang meliputi pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketidaksetaraan sosial. Selain itu, pajak yang dikenakan pada penduduk harus adil dan sepadan dengan kapasitas individu untuk membayar, dengan pendapatan yang dihasilkan dari pajak tersebut dialokasikan untuk kesejahteraan kolektif, terutama di bidang-bidang yang berkaitan dengan kepentingan publik, seperti pendidikan, perawatan kesehatan, dan pembangunan infrastruktur. Gagasan tentang keadilan sosial ini menyatakan bahwa tujuan utama kegiatan ekonomi dalam kerangka Islam melampaui pencapaian keuntungan maksimal belaka; hal ini juga mencakup keharusan bahwa setiap individu menerima hak-hak mereka yang sah, dengan demikian memfasilitasi realisasi kesejahteraan sosial.
Selain prinsip keadilan sosial, prinsip dasar kedua di ranah keuangan publik Islam adalah larangan eksplisit riba (bunga). Riba dianggap sebagai bentuk eksploitasi ekonomi, karena menimbulkan kesenjangan dan distorsi dalam interaksi ekonomi antara peminjam dan pemberi pinjaman. Dari perspektif Islam, riba dianggap sebagai praktik yang merusak, karena memungkinkan satu pihak untuk mendapatkan keuntungan yang tidak adil tanpa berkontribusi secara berarti pada bidang ekonomi atau proses produksi. Dalam paradigma keuangan Islam, modalitas pembiayaan dan investasi harus menghindari mekanisme berbasis bunga dan sistem utang yang berat. Sebaliknya, Islam telah memperkenalkan instrumen keuangan seperti sukuk (obligasi yang sesuai dengan Syariah) yang tidak memiliki bunga, di samping mudharabah dan musyarakah, yang keduanya mematuhi prinsip pembagian keuntungan. Akibatnya, sistem keuangan Islam bercita-cita untuk membangun keterlibatan ekonomi yang lebih adil, di mana risiko dan keuntungan dibagi secara kolaboratif di antara pihak-pihak yang terlibat, sehingga menghalangi keuntungan sepihak apa pun. Di ranah keuangan publik, larangan riba mengharuskan negara menahan diri dari terlibat dalam pembiayaan berbasis bunga untuk utang publik, sementara secara bersamaan berusaha untuk mengoptimalkan instrumen keuangan yang mematuhi prinsip-prinsip Syariah. Implementasi sukuk sebagai mekanisme pembiayaan negara, misalnya, telah muncul sebagai alternatif yang lebih selaras dengan nilai-nilai keadilan dan keberlanjutan yang melekat dalam ajaran Islam.
Prinsip utama ketiga yang mengatur administrasi keuangan publik Islam adalah keharusan transparansi dan akuntabilitas. Islam menggarisbawahi pentingnya kepercayaan dalam pengelolaan sumber daya, yang mencakup aset keuangan negara. Dalam orkestrasi keuangan publik, pemerintah, sebagai pengelola dana publik, memikul tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa dana ini digunakan dengan cara yang efisien, adil, dan akuntabel. Pemerintah berkewajiban untuk menjaga keterbukaan mengenai alokasi anggaran dan untuk menyediakan laporan komprehensif kepada masyarakat yang merinci pemanfaatan dana publik. Selanjutnya, dalam perumusan kebijakan fiskal, penting bahwa pemerintah melibatkan publik secara transparan untuk memfasilitasi pemahaman yang komprehensif tentang kebijakan dan untuk mengurangi potensi erosi kepercayaan. Transparansi dan akuntabilitas tersebut merupakan komponen integral dari kerangka tata kelola yang ditandai dengan keunggulan, dan dalam lingkup keuangan publik Islam, elemen-elemen ini sangat penting untuk memastikan bahwa manajemen keuangan tidak hanya efisien tetapi juga tanpa korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Pengawasan keuangan nasional yang transparan dan akuntabel juga akan meningkatkan kepercayaan publik pada entitas pemerintah dan merangsang keterlibatan sipil aktif dalam pembangunan nasional.
Prinsip keempat yang sangat penting dalam keuangan publik Islam adalah keberlanjutan. Pengelolaan keuangan negara harus dilakukan dengan bijaksana untuk menjamin umur panjang sumber daya negara dan kapasitasnya untuk menghasilkan manfaat bagi generasi mendatang. Islam menganjurkan penggunaan sumber daya alam yang bijaksana dan menghindari degradasi lingkungan. Akibatnya, dalam administrasi keuangan publik, prinsip-prinsip keberlanjutan mencakup manajemen fiskal yang bijaksana, pemanfaatan sumber daya alam yang bijaksana yang melindungi lingkungan, dan pengelolaan utang negara yang tidak membebani generasi berikutnya. Selain itu, dalam manajemen ekonomi jangka panjang, negara juga harus menyadari keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan pelestarian lingkungan alam, memastikan bahwa kemakmuran dapat dialami oleh semua segmen masyarakat tanpa membahayakan kelangsungan hidup generasi mendatang.
Namun demikian, terlepas dari fondasi kuat yang mendasari prinsip-prinsip keuangan publik Islam, penerapannya dalam konteks global kontemporer menimbulkan tantangan yang signifikan. Hambatan utama dalam realisasi prinsip-prinsip ini adalah kurangnya pemahaman ekonomi Islam di antara para pemangku kepentingan utama, termasuk pembuat kebijakan, eksekutif keuangan, dan masyarakat yang lebih luas. Secara dominan, kerangka ekonomi yang lazim di banyak negara dicirikan oleh paradigma konvensional yang didasarkan pada kepentingan, kekuatan pasar yang tidak diatur, dan prinsip-prinsip kapitalis. Kerangka seperti itu sangat kontras dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam, yang menganjurkan larangan riba dan distribusi kekayaan yang lebih adil. Ketergantungan pada struktur ekonomi tradisional inilah yang menimbulkan komplikasi dalam integrasi prinsip-prinsip ekonomi Islam ke dalam strategi fiskal dan moneter. Selain itu, tidak adanya infrastruktur pasar yang sesuai dengan syariah yang kuat telah muncul sebagai hambatan signifikan bagi implementasi keuangan publik Islam yang efektif. Meskipun negara-negara tertentu telah mengeluarkan instrumen keuangan yang sesuai dengan syariah, seperti sukuk, pasar global terus mendukung instrumen keuangan konvensional yang sudah mapan. Kecenderungan ini membatasi kapasitas negara-negara mayoritas Muslim untuk mendapatkan pembiayaan yang menganut prinsip-prinsip syariah.
Tantangan penting lainnya adalah dampak mendalam dari globalisasi dan integrasi ekonomi nasional dengan sistem keuangan internasional. Dalam era kontemporer yang ditandai oleh globalisasi ini, banyak negara, termasuk negara-negara mayoritas Muslim, menemukan diri mereka saling berhubungan dalam kerangka ekonomi global yang didasarkan pada doktrin ekonomi kapitalis dan konvensional. Akibatnya, sementara negara-negara ini berusaha untuk menerapkan dan menegakkan prinsip-prinsip Islam keuangan publik, mereka sering menghadapi tekanan yang berasal dari lembaga internasional dan pasar global yang menunjukkan preferensi untuk instrumen keuangan berbasis bunga. Pengaruh ekonomi global yang meluas ini mengharuskan negara-negara Muslim melakukan adaptasi yang bijaksana untuk mempertahankan daya saing di pasar internasional, sementara secara bersamaan mematuhi prinsip-prinsip syariah dalam tata kelola keuangan publik.
Terlepas dari adanya tantangan berat ini, prinsip-prinsip keuangan publik Islam mempertahankan relevansi yang cukup besar dalam konteks kontemporer. Keuangan publik Islam, yang ditandai dengan fokusnya pada kesetaraan sosial, penghindaran riba, transparansi, dan keberlanjutan, menghadirkan alternatif yang layak dan adil untuk administrasi ekonomi suatu negara. Negara-negara yang telah memulai penggabungan prinsip-prinsip ini, seperti Malaysia dan Arab Saudi, mencontohkan bahwa implementasi keuangan publik Islam yang efektif layak bahkan di tengah-tengah lanskap ekonomi global yang menantang. Melalui peningkatan berkelanjutan pengetahuan yang berkaitan dengan ekonomi Islam, memperkuat infrastruktur pasar yang sesuai dengan syariah, dan mengadaptasi kebijakan yang selaras dengan kebutuhan ekonomi global, prinsip-prinsip keuangan publik Islam dapat membangun fondasi yang kuat untuk menumbuhkan ekonomi yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan di masa depan.
Singkatnya, meskipun realisasi prinsip-prinsip keuangan publik Islam di era modern menghadapi segudang tantangan, potensi untuk melahirkan sistem keuangan yang lebih adil, berkelanjutan, dan transparan tetap substanial. Oleh karena itu, sangat penting bagi negara-negara Muslim untuk bertahan dalam upaya mereka untuk memasukkan prinsip-prinsip syariah dalam strategi fiskal dan moneter mereka, sementara secara bersamaan menyeimbangkan tuntutan dan dinamika kerangka ekonomi global yang lebih luas. Keuangan publik Islam menawarkan pendekatan yang lebih inklusif dan adil, dengan fokus pada kesejahteraan masyarakat yang holistik, dan dapat berfungsi sebagai alternatif yang tangguh untuk membangun ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan di masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI